Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberi sinyal akan mencabut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi jika penambahan kasus Covid-19 terus meningkat signifikan. Namun, rencana pencabutan PSBB transisi atau disebut dengan istilah rem darurat dinilai tidak efektif.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai pembatasan ruang gerak sepatutnya diberlakukan terhadap tempat-tempat yang terkonfirmasi positif Covid-19. Misalnya saja perkantoran, yang saat ini disebut sebagai tempat dengan risiko tinggi penularan Covid-19.
Advertisement
"Enggak usah rem darurat, karantina saja kantornya," ucap Trubus, Rabu (22/7).
Menurutnya, akan menjadi masalah yang kompleks terhadap sektor ekonomi jika seluruh perkantoran ditutup seluruhnya untuk sementara waktu. Di samping Pemprov harus menjaga keselamatan warga Jakarta, Pemprov juga dituntut agar perekonomian tidak mati.
Untuk itu, imbuh Trubus, seharusnya Pemerintah Provinsi DKI segera melakukan pemetaan kantor-kantor yang terdapat kasus konfirmasi positif Covid-19. Jika kantor yang ditutup merupakan jasa pelayanan publik, harus dicari alternatif pelayanan, misalnya saja pelayanan perpanjangan SIM secara daring.
"Jangan juga asal tutup, loh terus pelayanan publiknya gimana? Harus pikirkan itu juga," tuturnya.
Selain itu juga, Trubus meminta agar Pemerintah Provinsi DKI dan Pemerintah Pusat saling bersinergi dalam menerbitkan aturan hukum kala virus Corona masih belum terkendali. Sebab ia menilai aturan atau kebijakan yang dikeluarkan antara Pemprov dan pemerintah pusat acap kali saling kontradiksi.
Belum lagi aturan Pemprov yang disebut Trubus kerap kali tumpang tindih seperti Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) kemudian digantikan dengan CLM.
"Kemarin SIKM sekarang udah enggak perlu. Masyarakat jadi bingung. Tapi selalu saja masyarakat yang dikejar dan dituntut mengikuti aturan," tandasnya.
Trubus juga mengkritisi peningkatan jumlah kasus di Jakarta seiring dengan masifnya pelacakan kasus oleh Pemprov. Baginya, pernyataan tersebut tidak lain sebagai alibi ketidakmampuan Pemprov mengendalikan virus yang menyerang pernafasan tersebut.
"Itu hanya alibi, kalimat pembenaran karena Pemprov lemah dalam kebijakan preventif," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kasus Covid-19 Meningkat
Sebelumnya, Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Ani Ruspitawati memaparkan, terdapat penambahan jumlah kasus positif sebanyak 441 kasus.
Jumlah kasus baru terdistribusi berdasarkan domisili pasien di sejumlah wilayah DKI Jakarta, yaitu Jakarta Pusat sebanyak 50 kasus, Jakarta Utara sebanyak 45 kasus, Jakarta Barat sebanyak 73 kasus, Jakarta Selatan sebanyak 49 kasus, Jakarta Timur sebanyak 46 kasus, dan yang masih dalam proses identifikasi domisili sebanyak 178 kasus.
Adapun sumber pelaporan kasus baru yaitu RS sebanyak 261 kasus (59%), Puskesmas / komunitas sebanyak 167 kasus (38%), Wisma Atlet sebanyak 11 kasus (2,5 %), dan Perkantoran sebanyak 2 kasus (0,5%). Jumlah 167 kasus yang dilaporkan Puskesmas tersebut adalah hasil Active Case Finding / ACF dan penelusuran kasus / tracing (137 dari ACF dan 32 dari tracing kasus).
"Data kasus yang dilaporkan hari ini semuanya dilaporkan oleh Laboratorium sesuai tanggal pelaporan 20 dan 21 Juli. Artinya, tidak ada data rapelan pada kasus yang dilaporkan hari ini," ujarnya.
Adapun jumlah kumulatif kasus konfirmasi di wilayah DKI Jakarta pada Selasa (21/7) sebanyak 17.153 kasus. Dari jumlah tersebut, 10.864 orang dinyatakan telah sembuh, sedangkan 758 orang meninggal dunia.
"Di antara kasus Konfirmasi yang aktif saat ini, 1.078 pasien masih menjalani perawatan di rumah sakit dan 4.453 orang melakukan isolasi mandiri (termasuk data Wisma Atlet). Sedangkan, Suspek hari ini sebanyak 1.883 pasien, terdiri atas 1.158 pasien menjalani perawatan di RS dan 725 pasien menjalani isolasi mandiri," paparnya.
Reporter: Yunita Amalia
Sumberl: Merdeka.com
Advertisement