Studi: Pria Botak Lebih Berisiko Kena COVID-19 dengan Gejala Parah

Para peneliti memerhatikan angka kematian akibat COVID-19 pada pria botak lebih tinggi daripada pria berambut.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 23 Jul 2020, 21:00 WIB
(Foto: .hairrestorationofthesouth.com)

Liputan6.com, Jakarta Para peneliti Amerika Serikat memperhatikan angka kematian akibat COVID-19 pada pria botak lebih tinggi daripada pada pria berambut.

Menurut para ilmuwan, hal ini mungkin terjadi karena androgen atau sekelompok hormon pria yang menyebabkan kebotakan pada pria dapat meningkatkan kemampuan virus untuk menyerang sel. Dengan demikian, perawatan untuk kebotakan yang berfungsi menekan hormon-hormon ini memiliki kemungkinan dapat melawan virus COVID-19, kata The Telegraph melansir WebMD.

"Kami pikir androgen atau hormon pria jelas merupakan pintu gerbang bagi virus untuk memasuki sel kita. Kami benar-benar berpikir bahwa kebotakan adalah prediktor keparahan yang sempurna," kata Carlos Wambier, penulis utama penelitian dari Universitas Brown, AS, mengutip Forbes.

Faktor risiko ini disebut "tanda Gabrin," diambil dari nama Frank Gabrin, seorang dokter botak AS yang meninggal akibat COVID-19.

Uji klinis menggunakan kebotakan dan obat kanker prostat sudah berlangsung. Wambier melakukan dua penelitian kecil di Spanyol yang menemukan bahwa 79 persen dari 122 pria yang dirawat di tiga rumah sakit Madrid dengan COVID-19 adalah pria botak.

Satu studi lainnya yang diambil dari 41 pasien di Spanyol menunjukkan bahwa 71 persen dari mereka botak. Studi-studi ini diterbitkan dalam Journal of American Academy of Dermatology.

Para peneliti tidak mengontrol usia dalam studi ini, tetapi usia juga menempatkan lebih banyak orang pada risiko gejala COVID-19 yang parah.

Kaitan COVID-19 dengan androgen juga ditemukan dalam studi kanker prostat dari Italia. Pasien yang diberi terapi karena kekurangan androgen hanya seperempat kali lebih mungkin untuk tertular COVID-19 dibandingkan laki-laki dengan penyakit pada pengobatan lain.

Temuan menunjukkan bahwa androgen membuat virus lebih ganas walau belum diketahui secara pasti penyebabnya dan ini memperburuk keparahan penyakit pada pria, kata para ilmuwan.

Data lain menunjukkan pria secara keseluruhan lebih rentan terhadap COVID-19 daripada wanita. Sebuah penelitian China pada akhir April menemukan bahwa pria 2,5 kali lebih mungkin meninggal akibat COVID-19.

Simak Video Berikut Ini:


Bagi Pasien Wanita

Studi yang dipublikasikan di American Academy of Dermatology mengatakan, “Akan menarik untuk mengamati kasus COVID-19 parah pada pasien wanita yang mengalami peningkatan androgen. Misalnya wanita dengan sindrom metabolik atau yang menggunakan metode pengendalian kehamilan atau KB dengan hormon progestogen.”

“Hormon tersebut dapat mengikat reseptor androgen. Selain itu, ada banyak kondisi medis yang dapat meningkatkan aktivitas androgen pada wanita dan mungkin berkorelasi dengan peningkatan kerentanan terhadap COVID-19. ”

Penyelidikan berlanjut dan Wambier serta rekan-rekannya percaya jika teori mereka benar bahwa terapi antiandrogen dapat digunakan sebagai pengobatan COVID-19.

Mereka menulis dalam penelitian ini, “Vaksin pada akhirnya mungkin ditemukan untuk SARS-CoV-2. Namun, jika vaksin tidak ditemukan atau terbukti tidak efektif, penekanan androgen sebagai pengobatan profilaksis dapat mengurangi beban penyakit COVID-19. ”

Penelitian menunjukkan pria botak lebih mungkin meninggal setelah mereka terkena COVID-19 daripada rekan-rekan mereka yang berambut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya