Penyederhanaan Tarif Cukai Rokok Dinilai Hanya Untungkan Industri Besar

RPJMN dianggap berpotensi mematikan industri hasil tembakau (IHT) nasional lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jul 2020, 15:18 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang dikeluarkan salah satu kementerian serta menjadi acuan kebijakan pembangunan saat ini dinilai harus diubah. Pasalnya, RPJMN tersebut dianggap berpotensi mematikan industri hasil tembakau (IHT) nasional lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.

Salah satu turunan dari RPJMN adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/02/ 2020 yang akan melakukan simplifikasi dan kenaikan cukai di tahun 2021.

Anggota Komisi IV DPR Lulu Nur Hamidah mengatakan, IHT merupakan warisan budaya nasional yang bernilai strategis. Selain memberikan sumbangan pemasukan keuangan negara yang besar juga menyerap jutaan tenaga kerja. Karena itu sudah sepantasnya dilindungi bukan dimatikan lewat simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.

“Kami tidak setuju dengan segala kebijakan yang memusuhi dan mematikan industri hasil tembakau nasional. karena sudah jelas itu akan berdampak pada serapan produk tembakau yang rendah dan kemudian juga mengancam eksistensi pabrikan rokok menengah dan kecil, juga tenaga kerja, petani serta buruh rokok yang ada di sektor itu. Termasuk produk turunannya yang terkait dengan industri hasil tembakau. Ini kan dampaknya akan sangat panjang bahkan termasuk para pengecer dan yang lainnya,” tegas dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (23/7/2020).

Lebih lanjut Lulu Nur Hamidah menjelaskan, masalah kesehatan masyarakat tidak selalu disebabkan oleh rokok. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat seperti lingkungan dan sanitasi yang buruk, polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan juga polusi dari berbagai pabrik, serta faktor-faktor lainnya.

“Kenapa industri-industri lainnya seperti industri plastik misalnya tanggung jawabnya sangat rendah untuk urusan menjaga lingkungan. Itu yang tidak diurus oleh pemerintah dan mereka itu juga seharusnya dipajaki tinggi. Tetapi ini yang terkait dengan petani (tembakau) yang selalu diobok obok,” papar Lulu Nur Hamidah.

Namun demikian, Anggota DPR RI dari Dapil Jawa Tengah IV ini mendukung adanya regulasi yang mengatur siapa saja yang boleh dan tidak boleh merokok. Tempat yang boleh dan tidak boleh merokok.

Sehingga anggota masyarakat yang tidak merokok seperti dirinya tidak terpapar asap rokok dari para perokok. Namun bukan peraturan yang mematikan produksi rokok baik langsung maupun lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tolak Penyederhanaan Cukai

Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Selain itu, Lulu secara tegas juga menolak rencana Menteri Keuangan yang akan melakukan simplifikasi cukai di tahun 2021 sesuai PMK No. 77/02/2020. Alasannya jika kebijakan simplifikasi cukai dilakukan berdampak buruk kepada industri rokok dan kesejahteraan petani tembakau.

Kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar asing. Padahal kewajiban pemerintah melindungi semua industri rokok baik sekala menengah, kecil termasuk para petani tembakau.

“Dengan kebijakan 10 layer (penarikan cukai rokok) seperti saat ini saya kira itu sudah baik karena dinilai mampu mewadahi berbagai kelas pabrikan rokok dari yang besar, menengah dan kecil," tegas dia.

Lebih lanjut, Ketua Bidang Luar Negeri Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB periode 2019-2024 ini memaparkan, berdasarkan hasil analisis pihaknya, kebijakan menerapkan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok akan berdampak pada beberapa hal. Pertama pabrikan kecil tidak akan mampu bertahan apabila berhadapan dengan pabrikan besar secara langsung atau head to head.

“Dampak serius lainnya adalah, pabrikan kretek yang merupakan produk yang sangat besar dan khas dari Indonesia, warisan nusantara, yang tinggal satu satunya, tidak akan mampu untuk bertahan” tambah Lulu Nur Hamidah.

Ditambahkan Lulu Nur Hamdiah, saat ini, ada sekitar 487 pabrikan rokok di mana 98 persen dari jumlah tersebut merupakan pabrikan menengah kecil . Jika simplifikasi ini diterapkan dirinya yakin banyak pabrikan rokok kecil dan menengah akan gulung tikar. Sementara jutaan tenaga kerjanya akan kehilangan mata pencaharian.

Apabila PMK Nomor 077/02/2020 jadi diterapkan, otomatis serapan bahan baku yang dihasilkan para petani tembakau akan berkurang hingga 30 persen. Disamping itu, harga jual tembakau dari petani juga akan turun. Hal ini akan berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan petani tembakau.

“PMK Nomor 077/02/2020 ini akan menggerus dan bahkan membuat pabrikan rokok menengah kecil ini berguguran. Jutaan tenaga kerja atau buruh industri rokok khsususnya dari kalangan wanita akan kehilangan mata pencaharan. Jadi hal ini nanti akan menciptakan cycle atau lingkaran penderitaan yang berlapis lapis,“ jelas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya