Liputan6.com, Jakarta - Berbagai statistik menunjukkan maraknya gangguan kesehatan mentalanak, khususnya saat usia remaja. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menemukan bahwa prevalensi gangguan mental emosional remaja usia di atas 15 tahun meningkat menjadi 9,8 persen dari yang sebelumnya 6 persen pada 2013.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mencatat 15 persen anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri. Bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia bagi kelompok anak usia 15-19 tahun.
Baca Juga
Advertisement
Memperingati Hari Anak Nasional (HAN) 2020, platform penyedia layanan kesehatan berbasis digital, Halodoc, menggandeng Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia) untuk melakukan edukasi yang bertujuan mengajak orangtua untuk lebih memahami pentingnya menjaga kesehatan mental anak.
"Kami percaya bahwa melindungi hak anak, termasuk dalam menjaga kesehatan mental mereka merupakan kunci keberhasilan untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang berkualitas," ujar Felicia Kawilarang, VP Marketing Halodoc, saat telekonferensi, Kamis, 23 Juli 2020.
Felicia mengajak para orangtua untuk kian memahami pentingnya menjaga kesehatan mental pada anak, seperti mereka menjaga kesehatan fisik buah hati mereka. Hal senada dengan diungkapkan psikolog Annelia Sari Sani.
"Gangguan mental pada usia anak hingga remaja dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka termasuk menyebabkan masalah pada perilaku, gangguan emosional dan sosial, gangguan perkembangan dan belajar, gangguan perilaku makan dan kesehatan, hingga gangguan relasi dengan orangtua," kata Annelia yang juga sebagai Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia.
Lebih lanjut Annelia mengatakan, tidak seperti gangguan kesehatan lainnya, tanda-tanda gangguan kesehatan mental, terlebih pada anak, cenderung sulit untuk dilihat. "Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak dan memberikan penanganan sejak dini, guna meminimalisasi risiko jangka panjang saat anak tumbuh dewasa," imbuh Annelia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Stigma Negatif
Saat ini masih banyak stigma negatif yang sering diterima oleh penderita gangguan mental di Indonesia. Stigma yang paling sering ditemui adalah rasa malu dan bingung.
"Mereka malu mengakui bahwa memiliki gejala-gejala gangguan mental serta tidak memahami solusi alternatif yang mereka miliki. Saya percaya bahwa dengan membuka komunikasi dua arah secara lebih intensif dengan orangtua, maka penanganan gangguan kesehatan mental dapat dilakukan sejak dini," ungkap Asaelia Aleeza selaku Co-founder Ubah Stigma, komunitas dengan misi meningkatkan kesadaran pentingnya kesehatan mental.
Sementara itu, berdasarkan data internal dari Halodoc periode Februari hingga Mei 2020, jumlah konsultasi dengan dokter jiwa terus meningkat. Lonjakan yang sangat signifikan mulai terlihat saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada April 2020 dengan peningkatan pertumbuhan layanan konsultasi mencapai hampir 80 persen bila dibandingkan dengan Maret 2020. Jumlah konsultasi dengan dokter kejiwaan masih tercatat naik hingga puncak yang ada di Mei 2020.
"Kami percaya bahwa ketenangan pikiran merupakan salah satu kunci untuk menjaga kesehatan tubuh yang saat ini, khususnya sangat penting untuk dijaga, baik oleh orang dewasa maupun anak-anak,” tandas Felicia.
Advertisement