Risiko Penularan COVID-19 di Transportasi Udara dan Laut, Mana yang Lebih Tinggi?

Perbandingan risiko penularan COVID-19 di transportasi udara dan laut.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 25 Jul 2020, 14:00 WIB
Ilustrasi pesawat (iStock)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Bidang Pengembangan Keilmuan Perhimpunan Dokter Haji Indonesia (Perdokhi) Wawan Mulyawan menjelaskan perbandingan risiko infeksi COVID-19 di transportasi udara dan laut. Hal ini terkait tentang kemungkinan pemberangkatan haji via laut.

“Dengan pesawat berbadan lebar kapasitas 400-500 penumpang dan waktu tempuh 8-10 jam, risiko penularan penyakit ada namun rendah,” terang Wawan dalam webinar pada Sabtu (25/7/2020).

Risiko rendah ini disebabkan karena sirkulasi udara di pesawat diatur untuk mengalir dari atas ke bawah. Pesawat dengan teknologi HEPA filter (teknologi penyaring udara) 99.97 persen dapat mengeliminasi virus dan bakteri.

“Alat Pelindung Diri (APD) memungkinkan dipasang, tapi jarak sosial tidak mungkin.”

Sementara itu, jika perjalanan haji dilakukan dengan kapal laut yang dapat menampung 2.000-3.000 jamaah dengan waktu tempuh 8-10 hari risiko infeksi penyakit sangat tinggi.

“Karena lamanya paparan dan banyaknya jumlah penumpang. Namun, APD sangat memungkinkan dipasang dan jarak sosial pun lebih mungkin dilakukan jika dibanding penerapan jarak sosial di pesawat.

Simak Video Berikut Ini:


Cerita Petugas Haji Laut

Jemaah calon haji menggunakan kapal laut dari Indonesia menuju Mekah ditempuh dalam waktu 1 bulan.

Petugas Haji Laut pada 1967-1975 dari Kementerian Agama RI, H. Ibrahim, SH., MM mengatakan bahwa penundaan keberangkatan haji tidak hanya terjadi pada tahun ini akibat COVID-19. Ia juga bercerita tentang kejadian bersejarah selama ia bertugas.

“Tahun 1937 sampai 1948 keberangkatan haji juga sempat tertunda karena kondisi perang,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Pria kelahiran 4 Juli 1940 ini juga berkisah tentang peristiwa bersejarah saat proses pemberangkatan haji menggunakan kapal laut. Menurutnya, sempat ada jemaah yang meninggal di atas kapal 1971.

“Saat itu suasana sangat mengharukan, jenazah jemaah kami urus dan kemudian kami luncurkan ke dasar laut dengan menggunakan pemberat. Setelah itu, kapal mengelilingi titik tersebut sebanyak tiga kali.”

Selain itu, hal lain yang sempat ia alami selama bertugas adalah kelahiran bayi di atas kapal. Beruntung, petugas medis sudah disiapkan dalam setiap perjalanan.

Wawan menambahkan, kejadian ini sangat mungkin terjadi karena satu kali perjalanan haji pada masa lalu sebelum ada kapal mesin bisa memakan waktu hingga setengah tahun untuk sekali jalan.

“Perjalanan melalui berbagai pelabuhan di Nusantara ke Aceh, menunggu kapal ke India, Di India mereka kemudian mencari kapal yang bisa membawa ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke Jeddah,” ujar Wawan dalam kesempatan yang sama.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya