Liputan6.com, Jakarta - Darurat iklim merupakan "marabahaya bagi perdamaian" karena perubahan iklim memperburuk risiko-risiko konflik yang ada "dan menciptakan yang baru," kata seorang pejabat tinggi PBB pada hari Jumat (24/7).
Miroslav Jenca, Asisten SekJen PBB untuk Eropa, Asia Tengah dan Amerika, mengemukakan "di seluruh dunia, negara yang rentan atau wilayah terdampak konflik lebih terbuka dan kurang mampu mengatasi dampak perubahan iklim."
Baca Juga
Advertisement
Dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (26/7/2020) Jenca berbicara pada sebuah pertemuan virtual yang diselenggarakan Jerman sebagai pemegang kursi kepresidenan Dewan Keamanan PBB untuk bulan Juli.
Pejabat PBB menyoroti bahwa "7 dari 10 negara paling rentan dan tidak siap menghadapi perubahan iklim menjadi tuan rumah dalam operasi penjaga perdamaian atau misi politik khusus."
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas menegaskan "perjuangan melawan perubahan iklim seharusnya tidak memecah belah. Kita berjuang untuk menyelamatkan diri kita sendiri."
Simak video pilihan berikut:
Kepunahan Beruang Kutub pada 2100
Tak hanya perdamaian dunia, perubahan iklim juga berdampak pada hal buruk lainnya.
Sebuah penelitian di Kutub Utara menyatakan beruang kutub merupakan salah satu spesies paling terancam di Bumi karena lautan es mencair akibat perubahan iklim. Tanpa langkah-langkah agresif, hewan kutub itu dapat punah pada akhir abad ini.
Studi Universitas Toronto, yang diterbitkan pada Senin (20/7) dalam jurnal Nature Climate Change, memaparkan beruang kutub mengandalkan lautan es untuk mendekati mangsanya, seperti anjing laut dan mamalia air lainnya. Para peneliti yang melakukan penelitian itu menjelaskan hilangnya lapisan es itu akan memaksa hewan-hewan tersebut menuju daratan, yang mana harus bergantung pada cadangan lemak akibat kekurangan sumber makanan.
Rekan penulis laporan studi itu, Steven Amstrup, mengemukakan saat ini beruang-beruang itu punya waktu lebih sedikit untuk berburu makanan dan lebih lama menunggu hingga es kembali. Steve memaparkan biasanya, es mencair di awal dan pertengahan musim panas dan kembali dingin pada musim gugur.
"Periode ketika es tidak ada, semakin lama dan beruang kutub harus menghadapi periode yang makin lama tanpa es, sementara persediaan lemak mereka juga semakin menipis."
Pemodelan itu digunakan untuk menentukan kebutuhan energi beruang kutub saat berpuasa dan ambang batas kelangsungan hidup beruang kutub, di samping sebuah permodelan yang memperkirakan jumlah hari tanpa es di masa mendatang.
Para peneliti menggunakannya untuk memperkirakan waktu ambang batas kelangsungan hidup yang akan dilampaui bagi 13 sub-populasi Kutub Utara yang mewakili 80 persen dari semua beruang kutub.
Melalui sebuah skenario emisi gas rumah kaca yang tinggi, para peneliti mendapati kelangsungan hidup beruang akan semakin "tidak memungkinkan" di sebagian besar Kutub Utara karena berkurangnya lautan es.
Akan tetapi penelitian itu menyatakan jika ada "skenario emisi sedang" maka akan lebih banyak sub-populasi beruang itu dapat bertahan hidup dalam abad ini.
Advertisement