Liputan6.com, Aceh - "Jika butuh satu desa untuk membesarkan seorang anak, maka butuh satu desa pula untuk menyiksanya." Tokoh Walter V. Robinson, dalam film Spotlight yang mengucapkan kalimat ini.
Spotlight menceritakan bagaimana para jurnalis dari surat kabar Boston Globe menginvestigasi skandal pedofilia oleh sejumlah pastor. Sutradara Tom McCarthy dan Josh Singer menulis film tersebut berdasarkan kisah nyata tentang kejahatan seksual terhadap anak oleh pastor Katolik Roma.
Film ini memunculkan sebuah benang merah bagaimana relasi kuasa berada di balik bungkamnya para korban hingga tidak munculnya kasus ke permukaan.
Baca Juga
Advertisement
Adegan yang memberi pesan paling mengena di dalam film ini ketika korban yang telah dewasa dan sukses pada akhirnya runtuh kembali akibat trauma masa kecil.
Kalimat "It take a village to raise a child" yang ada di dalam film tersebut sebenarnya merupakan sebuah pepatah kesohor dari Afrika, yang menyiratkan betapa upaya agar seorang anak tumbuh dan berkembang dengan baik hingga dewasa membutuhkan adanya peran serta dukungan banyak orang.
Tentunya anak berpotensi tumbuh dengan keadaan moral yang melenceng dari nilai-nilai jika mendapat asuhan yang awut-awutan.
Tokoh Robby telah menambahkan kalimat lain di belakang pepatah Afrika tadi. Ironis, tidak butuh satu desa, hidup seorang anak nyatanya dapat dengan mudah hancur berkeping-keping hanya karena ulah seorang pedofil yang durjana.
Residu dari efek kerusakan psikis bagi anak yang menjadi korban kejahatan seksual akan terus ada. Ia hanya mengendap, sewaktu-waktu bisa muncul, meledak, dan menghancurkan seperti yang ada di dalam film Spotlight.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Qanun versus UUPA
Mesti ada upaya yang lebih, ketat, dan betul-betul intensif, untuk pemulihan pascatrauma korban.
Bukan hanya butuh banyak sekali pihak untuk memulihkan kondisi psikis anak yang telah rusak, tapi juga keseriusan, dan kendali ini, terutama, berada di tangan negara; pemangku kebijakan, penegak hukum, serta lembaga yang berwenang.
Besaran hukuman terhadap para pelaku juga menjadi hal yang perlu mendapat keseriusan. Poin ini menjadi sorotan YLBHI-LBH Banda Aceh karena lembaga yang bergerak di bidang hak asasi manusia tersebut melihat ada tumpang tindih penerapan aturan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak di beberapa kabupaten/kota di Aceh.
Sebagai informasi, Qanun Jinayah juga dapat dikatakan omnibus atau kompilasi dari beberapa aturan.
Sementara, kejahatan seksual terhadap anak sendiri masuk dalam kategori kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang memiliki sanksi tersendiri dalam undang-undang khusus atau lex specialis.
Ketidaktepatan dalam memilih aturan tadi telah membuat hukuman terhadap para predator anak salah alamat dalam banyak kasus. Tindakan yang ngotot untuk cenderung menerapkan qanun ketimbang aturan khusus membuat nilai hukuman juga efek jera terhadap para predator anak menjadi absurd.
Sebagai aturan khusus yang berlaku di Aceh, Qanun No. 4 Tahun 2014 tentang Jinayah menawarkan kepada para pelaku kejahatan seksual untuk memilih. Eksekusi cambuk, membayar denda dengan emas, atau penjara.
Para pelaku rata-rata memilih hukuman yang pertama. Menurut direktur lembaga nonpemerintah tersebut, Syahrul, hukuman cambuk sama sekali tidak memiliki efek jera jangka panjang karena hanya berlangsung dalam waktu singkat, kendati terpidana akan merasakan sakit akibat kena pecut rotan yang diameternya tidak seberapa.
Advertisement
Seberapa Besar Hukuman Qanun?
Hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dalam qanun yakni 90 kali cambuk, atau 90 bulan kurungan atau denda 900 gram emas murni.
Untuk kasus pemerkosaan hukuman paling sedikit 125 kali, paling banyak 175 kali, atau denda paling sedikit 1.250 gram emas murni, paling banyak 1.750 gram emas murni atau penjara paling singkat 125 bulan, paling lama 175 bulan.
Aturan tersebut berbeda jauh dengan apa yang ditetapkan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Ancaman maksimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak bisa mencapai 20 tahun atau hukuman seumur hidup, dengan denda mencapai Rp15 miliar.
Dalam pasal 81 ayat 3 terdapat pula pidana tambahan jika pelakunya adalah orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan. Hukumannya tambahannya yakni 1/3 dari jumlah ancaman.
Jumlah cambukan menurut Syahrul tidak bisa menjadi ukuran untuk menarakan antara daya rusak yang timbul akibat dari perbuatan para predator anak dengan ganjaran atau efek jera yang akan mereka dapat. Hal yang paling penting menurutnya ialah bagaimana memutus mata rantai serta melahirkan daya teror bagi para calon predator anak di luar sana.
"Artinya, ketika ada pelaku yang dihukum, hanya dicambuk, dalam waktu singkat bisa bebas, inikan tidak menjadi ancaman menakutkan bagi predator anak ini," ketus Syahrul, saat Liputan6.com menghubunginya, Minggu (26/07/2020).
Qanun Jinayah juga tidak memberlakukan jaminan hak restitusi untuk semua korban kejahatan seksual terhadap anak. Penerapan poin restitusi tersebut hanya berlaku untuk korban pemerkosaan saja.
"Bagaimana dengan anak-anak yang tidak diperkosa, tetapi dilecehkan atau kekerasan seksual dalam bentuk lain? Sementara, dalam UUPA, hak restitusi ini untuk semua jenis kejahatan seksual terhadap anak. Itu tidak dibebankan kepada negara. Artinya, pelaku diwajibkan membayar hak restitusi. Tidak hanya dihukum penjara, tapi, dimiskinkan!" tegas dia.
Kelemahan lain dari Qanun Jinayah yakni tidak adanya kewajiban pemulihan, baik secara psikologis maupun secara sosial, dan beberapa hal penting lainnya. Lagi-lagi, ini berbeda dengan apa yang terdapat di dalam UUPA.
Daur Ulang Kerangka Berpikir
Hal lain yang menurut Syahrul mesti mendapat sorotan yakni mengenai kerangka berpikir orang-orang yang bekerja di lembaga seperti instansi perlindungan perempuan dan anak.
Jadi aneh rasanya ketika para korban yang mestinya mendapat rangkulan malah terpojok karena adanya cara berpikir bahwa korban juga berperan dalam mendorong munculnya tindak kejahatan.
"Dan, di beberapa kali audiensi, mereka masih mengeluhkan kami kekurangan biaya. Sedangkan biaya dipakai untuk diskusi-diskusi yang tidak penting, giliran untuk pendampingan tidak ada biaya," ketus Syahrul.
Hal seperti ini sering terjadi ketika orang-orang yang bekerja di instansi yang mendapat mandat sebagai garda dan benteng terakhir perlindungan anak berpikir dengan tidak berdasarkan pada kerangka perlindungan anak.
Penguatan kapasitas sumber daya manusia dalam hal ini harus menjadi catatan penting bagi Pemerintah Aceh agar orang-orang di instansi tadi bekerja maksimal.
"Satu lagi, pemprov harus mengkaji ulang tiga pasal dalam Qanun Jinayah. Itu ada pasal 46, 47, dan kalau tidak salah, pasal 51 tentang pemerkosaan. Kalau bisa itu dihapuskan saja. Karena, sebenarnya ada hukuman yang lebih berat kepada pelaku melalui UUPA. Karena ada pasal ini, jadi ada semacam dualisme hukum. Untuk saat ini, aturan hukuman yang paling berat adalah hukum nasional," pinta dia.
Dia juga berharap ada perubahan pola penanganan untuk kasus kejahatan seksual terhadap anak oleh petugas kepolisian. Pada beberapa kasus yang lembaga tersebut lihat, aparat penegak hukum (APH) cenderung tidak langsung menangkap pelaku setelah mendapat laporan.
"Mereka menunggu dulu, periksa ini, periksa itu, bahkan mereka sempat beri surat panggilan kepada pelaku, sehingga pelaku punya kesempatan untuk meloloskan diri. Polisi harusnya langsung menangkap, jangan hanya narkoba yang dilihat extraordinary crime," kata dia.
Pada beberapa kesempatan APH cenderung memilih qanun dengan dalih hanya mengikuti kekhususan yang berlaku di Aceh dalam konteks pemberlakuan syariat Islam. Alasan seperti ini bagi Syahrul telah menimbulkan segenap tanda tanya.
Jika si pelaku hanya mendapat hukuman cambuk, lantas apa yang akan ada di dalam pikiran korban dan keluarga ketika sang pedofil dengan santai melenggang kangkung, berkeliaran, dan bahkan sewaktu-waktu berjumpa dengan korban?
"Bukankah hal seperti ini akan membuat trauma korban kian mengekal dan terus saja menganga?," tutupnya.
Sebagai catatan, hingga medio 2020 telah terjadi sejumlah kasus kejahatan seksual terhadap anak di Aceh. Otoritas terkait mencatat ada 200 kasus menimpa anak yang masuk dalam berkas mereka di tahun pagebluk ini.
Data ini mereka himpun dari 23 kabupaten/kota. YLBHI-LBH Banda Aceh sendiri menilai bahwa provinsi ini tidak hanya sedang berjuang menghadapi Covid-19, tapi juga predator anak, seperti virus, mereka nyata dan mengendap-ngendap.
Jumlah kasus kekerasan terhadap anak, termasuk di dalamnya kejahatan seksual, dalam tiga tahun ke belakang berada di angka 1.259 (2017), 926 (2018), dan 661 (2019). Sementara ada lima kasus yang YLBHI-LBH Banda Aceh tangani pada 2019 hingga medio 2020.
"Sebagian besar pelaku dalam kasus-kasus tersebut adalah orang-orang terdekat korban, seperti; keluarga, tetangga, tenaga pendidik—guru sekolah dan bahkan guru mengaji, pimpinan dayah," sebut Syahrul.
Kekerasan psikis, fisik, pelecehan seksual, inses, sodomi, merupakan beberapa bentuk kekerasan yang menyasar anak berdasarkan data internal lembaga tersebut. Faktor seperti ekonomi, pendidikan, budaya, hingga relasi kuasa menjadi determinan mengapa kasus-kasus tersebut terjadi.
Advertisement