Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Febrio Nathan Kacaribu, Ph.D. menyampaikan prevalensi perokok dewasa sedikit menurun. Sebaliknya, perokok anak meningkat, hal ini menimbulkan keresahan mengingat rokok berbahaya bagi kesehatan.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) selama 2013 hingga 2018 prevalensi merokok menurun namun angka perokok dewasa laki-laki masih cukup tinggi yaitu 62 persen. Sementara itu, prevalensi perokok perempuan meningkat dari 2,5 persen di 2016 menjadi 4,8 persen di 2018.
Advertisement
“Prevalensi merokok pada anak dan remaja meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Angka tersebut jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019 yang menargetkan perokok anak turun hingga 5,4 persen di 2019,” kata Febrio dalam webminar PKJS-UI, Senin (27/7/2020).
Meningkatnya konsumsi rokok dapat berpengaruh pada kesehatan perokok dan lingkungannya. Beberapa dampak yang dapat terjadi akibat rokok di antaranya stunting.
“Bayi yang lahir di rumah tangga perokok memiliki risiko stunting dan wasting 5,5 persen lebih tinggi pada periode emas pertumbuhan dibanding bayi di keluarga non-perokok.”
Simak Video Berikut Ini:
Picu 5 Penyebab Kematian Utama
Selain menambah risiko stunting, rokok atau tembakau juga dapat memicu lima penyebab utama kematian di Indonesia.
Penyakit yang dapat diperparah oleh rokok antara lain penyakit jantung, serebrovaskular, tuberculosis, diabetes dan pernapasan kronis.
Jika demikian, maka hal lain seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pun akan terdampak. Jika sakit, dana akan tersedot untuk penanganan. Keluarga perokok pun memiliki kepatuhan membayar JKN yang lebih rendah menurut penelitian pada 2018.
“21 persen dari kasus penyakit kronis di Indonesia berkaitan dengan rokok dan menimbulkan beban ekonomi sebesar US$ 1.2 miliar per tahun.”
Rokok juga menjadi beban pengeluaran rumah tangga tertinggi ke-2 pada kelompok masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan.
“Sayang sekali, ini berarti pengeluaran untuk gizi anaknya gak masuk nomor satu nomor dua. Ini menyedihkan dan membutuhkan usaha multidimensi dari berbagai pemangku kebijakan karena ini fakta yang kita tidak suka dan perlu kita ubah.”
Advertisement