Liputan6.com, Kupang - Lurah Naikoten, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Budi Izaac, mengimbau warga tidak berjualan daging babi bakar di depan masjid Naikoten I. Aktivitas berjualan itu dinilai sangat mengganggu dan membuat tidak nyaman para jemaah masjid.
Ia mengaku sudah melakukan pendekatan secara persuasif terhadap para pedagang. Namun, hingga kini, belum dihiraukan.
"Sudah berkali-kali kasih teguran. Satu sisi kita mengerti, mereka mencari nafkah untuk keluarga namun di sisi lainnya, kita juga harus mengerti situasi," ujarnya kepada wartawan, Senin (27/7/2020).
Baca Juga
Advertisement
Sejak menerima keluhan dari jemaah masjid, ia terus memberikan imbuan dan melakukan pendekatan agar pedagang babi bakar tidak lagi berjualan di dekat areal masjid.
Ia menyarankan, aktivitas pembakaran daging babi di depan masjid itu sebaiknya dilakukan di rumah. Sebab, asapnya pembakaran itu dinilai sangat menganggu para jemaah.
"Bakar saja di rumah, lalu jualan. Karena bakar di lokasi sangat menggangu jemaah," dia menegaskan.
Ia berharap pengertian para pedagang agar mempertimbangkan hal tersebut demi menjaga toleransi di Kota Kupang.
Sementara itu, Ketua FKUB Kota Kupang, Rio Fanggidae, menyayangkan aktivitas berjualan tersebut. Ia meminta, pemerintah Kota Kupang segera melakukan langkah-langkah pendekatan agar mencari solusi permasalahan tersebut.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Solusi Masalah Babi
Sementara, Ketua Fraksi Partai NasDem DPRD Kota, Yuven Tukung mengatakan, pemerintah Kota Kupang harus menanggapi persoalan ini dengan serius.
"Kota yang penuh toleransi ini terus dirawat dan dijaga," katanya.
Menurut dia, pemerintah harusnya memantau langsung dan menindaklanjuti permasalahan tersebut. Ia juga meminta pengertian dari para pedagang, agar selalu menjunjung tinggi rasa saling menghargai antar sesama umat beragama.
"Pemerintah harus responsif, tidak boleh diabaikan. Faktor ekonomi penting, namun faktor sosial juga harus diperhatiakan," tutupnya.
Advertisement
Ratusan Babi Mati
Terkait soal babi di NTT, berita sebelumnya adalah fenomena kematian ratusan babi. Hingga pertengahan Juli, kasus kematian babi akibat serangan penyakit African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika di daerah itu mencapai 460 ekor.
"Kasus kematian babi ini memang bertambah, tetapi intensitasnya mulai turun dibandingkan saat awal-awal serangan penyakit demam babi Afrika masuk Sikka pada Mei, Juni, lalu," kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Mauritz Da Cuncha,, Kupang, Kamis, (16/7/2020).
Ia mengatakan, kasus kematian babi mencapai 460 ekor ini berdasarkan data yang diperoleh pihaknya dari laporan masyarakat maupun tim dari dinas yang turun ke lapangan.Menurut dia, jumlah di lapangan sangat mungkin lebih dari yang tercatat ini karena banyak masyarakat yang tidak melaporkan kasus kematian babi milik mereka.
"Kami masih update terus datanya karena ada yang ternak babi yang sudah mati dari sebulan lalu juga baru melaporkan sekarang," katanya.
Dari data yang diperoleh, cukup banyak kasus kematian babi akibat serangan ASF melalui peredaran daging babi di masyarakat.
"Ada yang beli daging babi dikonsumsi, namun setelah dicuci, air cucian diberikan ke babi yang sehat sehingga terkena ASF, paling banyak seperti itu," katanya.
Ia menambahkan, serangan penyakit ASF ini cukup mencemaskan karena belum ada vaksin atau obat penawar, selain itu penularan juga cukup ganas yang bisa mematikan babi-babi dalam satu kandang dengan cepat.
Karena belum ada vaksin, lanjut dia, maka upaya penanganan yang diutamakan pihaknya adalah melakukan biosecurity dengan memperketat pengawasan lalu lintas ternak, terutama daging babi dengan melibatkan semua pihak hingga tingkat kecamatan dan desa.
"Kami terus melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi ke masyarakat agar mereka bisa memahami kondisi ini dan bersama-sama melakukan pencegahan," katanya.
Tersebar Lewat Roti Babi Hingga Babi Mati
Kepala Bidang Kesehatan Hewan (Keswan) Dinas Pertanian Sikka, dr Maria Margaretha Siko, mengatakan matinya ternak babi tersebut telah terjadi sejak bulan Februari 2020. Kematian tertinggi terjadi pada bulan Juni 2020, jumlah kematian babi sekitar 226 ekor.
"Bulan Mei 2020 kemarin kita sudah mengambil spesimennya, untuk memastikan jenis virus yang menyerang babi. Hanya terkendala wabah covid-19 sehingga tidak ada pesawat untuk untuk pengiriman sampelnya," ujarnya, Rabu (8/7/2020).
Dari ratusan ekor babi yang mati itu, tersebar di 16 kecamatan di Kabupaten Sikka dengan jumlah kematian babi tertinggi terdapat di tujuh kecamatan.
Jumlah kematian yang paling banyak terdapat di Kecamatan Alok ada 90 ekor, Kecamatan Nita ada 50 ekor, Kecamatan Alok Timur ada 47 ekor, Kecamatan Kewapante 46 ekor, Kecamatan Lela 21 ekor, Kecamatan Kangae 18 ekor, Kecamatan Alok Barat 17 ekor.
Menurut dia, penyebaran dan penularan virus ASF dan hok cholera ini akibat penyebaran secara ilegal melalui daging beku berupa sei, roti babi, dan babi hidup. Dari hasil penelusuran yang dilakukan tim kesehatan hewan, diketahui penyebaran virus ASF dan hog cholera yang mengakibatkan kematian pada babi kerena adanya acara atau hajatan yang bersumber dari makanan.
"Makanan berupa air limbah daging babi kemudian menularkan penyakit yang sama ke babi-babi lainnya setelah mengonsumsi air limbahan babi yang dikonsumsinya," bebernya.
Sementara Kepala Seksi Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Sikka, Drh Elfrida Carvallo, meminta peternak dan pengusaha babi meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit ASF dan hog cholera.
"Caranya tidak memperjualbelikan babi sakit dan babi mati, dilarang mengonsumsi dan mengedarkan dan atau menjual daging babi yang sakit dan mati kepada tetangga atau orang lain," katanya.
Advertisement