Liputan6.com, Jakarta - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memprediksi 90 persen lebih ekonomi negara di dunia akan mengalami kontraksi pada tahun ini dan berpotensi terjadi resesi. Menyusul bergesernya epicentrum pandemi Corona ke sejumlah negara dengan tingkat penduduk tinggi, seperti Amerika Serikat, Brasil, India, juga Indonesia.
Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan, akibat meluasnya epicentrum Corona mengakibatkan perekonomian global semakin tertekan. Sehingga jika Indonesia berhasil tidak mengalami kontraksi pada tahun ini, maka termasuk kategori minoritas.
Advertisement
"Kita lihat secara global epicentrum Corona mulai bergeser ke negara padat, seperti AS, Brasil, India, dan Indonesia. Akibatnya di tahun 2020 ini bahwa lebih dari 90 persen negara di dunia akan alami kontraksi. Jadi kalau Indonesia berhasil tidak kontraksi, maka Indonesia masuk sangat minoritas di 2020," kata dia dalam webinar bertajuk Mid-Year Economic Outlook 2020 Selasa (28/7).
Meski demikian, fokus pemerintah lebih ke arah meminimalisasi tingkat kedalaman resesi yang terjadi. Apalagi pihaknya memprediksi ekonomi kuartal II 2020 minus 4,3 persen.
Maka dari itu, pemerintah akan berupaya memperbaiki kinerja ekonomi pada kuartal III 2020. Salah satunya dengan meningkatkan serapan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Seperti bantuan sosial (bansos) yang telah mencapai 45 persen dari total dana sebesar Rp203 triliun.
"Ini yang ingin kami dorong supaya ke depan ekonomi bisa tumbuh lebih baik. Terpenting bukan lagi soal resesi, tapi mencegahnya agar tidak terlalu dalam," ujarnya
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pertama Kali dalam 17 Tahun, Korea Selatan Masuk Jurang Resesi
Korea Selatan memasuki resesi untuk pertama kalinya dalam 17 tahun terakhir. Ini karena ekspor anjlok imbas pandemi Covid-19.
Bank of Korea mengumumkan bahwa produk domestik bruto negara itu turun 3,3 persen pada periode April-Juni dibandingkan kuartal sebelumnya, sebesar 1,3 persen. Ini adalah pertama kalinya ekonomi menyusut selama dua kuartal berturut-turut sejak 2003, dan penurunan kuartalan adalah yang paling curam sejak 1998.
Ekspor turun hingga 16,6 persen dan merupakan penurunan paling tajam sejak 1963. Serta impor yang juga turun 7,4 persen. Sementara konsumsi swasta meningkat 1,4 persen karena pengeluaran yang lebih tinggi untuk barang tahan lama, seperti mobil dan peralatan rumah tangga.
"Perekonomian Korea telah menurun sejak Oktober 2017, dan goncangan Covid-19 mempercepat laju penurunan ekonomi," kata Direktur BOK Park Yang-soo, seperti dilansir dari Nikkei, Kamis (23/7/2020).
Menteri Keuangan Hong Nam-ki mengatakan, penutupan ekonomi global selama pandemi ini telah menghentikan jalur produksi luar negeri perusahaan-perusahaan Korea di Vietnam dan India, sehingga semakin membebani ekspor.
Advertisement
Naikkan Pajak Properti
Resesi terjadi ketika Presiden Moon Jae-in berencana untuk menaikkan pajak properti dan penjualan untuk menjinakkan harga rumah yang melonjak, terutama di Seoul.
Kebijakan semacam itu memberi sedikit ruang bagi Bank of Korea (BOK) untuk melonggarkan kebijakan lebih lanjut. Ini karena risiko suku bunga yang lebih rendah memberikan terlalu banyak likuiditas di pasar perumahan.
Gubernur BOK Lee Ju-yeol mengatakan, pekan lalu penting untuk membiarkan aliran likuiditas melimpah ke sektor-sektor produktif. "Yang paling penting adalah kita memiliki banyak tempat produktif untuk menarik investasi," kata Lee dalam sebuah konferensi pers.
Lee mengatakan, PDB negara itu dapat berkontraksi lebih lanjut tahun ini. Lebih dalam dari perkiraan bank sentral yakni minus 0,2 persen pada bulan Mei.