Perjuangkan Hak, Anak Disabilitas Harus Berani Jadi Pelopor dan Pelapor

Ulya Mutmainnah penyandang disabilitas daksa memberikan pandangan terkait hak anak disabilitas. Menurutnya, anak-anak dengan disabilitas harus berani menjadi pelopor dan pelapor.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 30 Jul 2020, 17:00 WIB
Ilustrasi kekerasan pada anak. Sumber: Istimewa

Liputan6.com, Jakarta Ulya Mutmainnah penyandang disabilitas daksa memberikan pandangan terkait hak anak disabilitas. Menurutnya, anak-anak dengan disabilitas harus berani menjadi pelopor dan pelapor.

“Beberapa anak disabilitas mendapatkan kekerasan mulai dari pemukulan hingga kekerasan seksual. Tapi biasanya anak-anak difabel memiliki ketakutan tersendiri untuk melapor,” ujar Ulya dalam Kongkow Inklusif Konekin (25/7/2020).

Menurutnya, anak-anak difabel perlu memiliki keberanian untuk melaporkan segala tindakan yang berkaitan dengan perenggutan hak serta norma yang berlaku.

“Anak disabilitas bisa jadi pelapor dan pelopor mereka bisa berperan aktif. Walau punya keterbatasan, kita harus berani kalau ada sesuatu yang melanggar norma, lapor kepada orangtua.”

Selain, kekerasan fisik, baru-baru ini Ulya juga menemukan perundungan secara daring pada anak difabel. Perundungan ini berawal ketika difabel tersebut mengunggah status berisi curahan hati di media sosial. Namun, respon beberapa netizen malah mengolok-olok unggahan tersebut.

“Di masa pandemi seperti ini media sosial menjadi pelarian bagi anak difabel. Yang biasanya mereka bertemu teman kini tidak bisa, makanya mereka curhat di media sosial.”

Simak Video Berikut Ini:


Tantangan Anak Difabel di Masa Pandemi

Ulya menambahkan, pembelajaran di rumah selama pandemi COVID-19 tidak selalu berjalan mulus bagi beberapa anak dengan ragam disabilitas tertentu. Mereka cenderung tidak dapat menggunakan gawai sendiri, begitu pula orangtua mereka yang tidak mengerti cara mengaksesnya.

“Ada slogan ‘Gembira di Rumah’ tapi faktanya tidak semua anak merasa gembira di rumah. Anak dengan disabilitas berat bisa mengalami depresi ringan, yang awalnya bisa bersosialisasi kini hanya tinggal di rumah.”

Hal tersebut memicu beban mental, imbuhnya. Ditambah, tugas-tugas yang semakin banyak sedangkan mereka tidak dapat menyesuaikan dengan metode pembelajarannya.

“Pembelajaran harusnya mengikuti kebutuhan anak,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya