Peran Kiai Pesantren di Cirebon dalam Penobatan Sultan Kasepuhan

Di tengah suasana berkabung, sejumlah elemen masyarakat dan kerabat keraton memberi perhatian terkait persiapan penobatan sultan baru Keraton Kasepuhan.

oleh Panji Prayitno diperbarui 30 Jul 2020, 11:00 WIB
Ditengah suasana berkabung Keraton Kasepuhan Cirebon dalam persiapan penobatan sultan baru. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Cirebon - Prosesi penobatan Putera Mahkota Pangeran Raja Luqman Zulkaedin menjadi sultan ke XV Keraton Kasepuhan Cirebon dipastikan 40 hari setelah masa berkabung.

Pada persiapan penobatan atau tradisi jumenengan, Keraton Kasepuhan Cirebon diminta untuk melibatkan kiai pesantren. Keterlibatan kiai tersebut berdasarkan sejarah awal penobatan sultan atau raja pertama di Cirebon.

Salah seorang kiai sesepuh Benda Kerep Kota Cirebon Muhtadi Mubarok Soleh mengatakan, penobatan sultan di Cirebon idealnya mengedepankan musyawarah.

"Penobatan harusnya melibatkan para ulama dan kiai dari kalangan pesantren. Agar mendapat rahmat Sunan Gunung Jati. Kita ini orang mukmin, mestinya penobatan disesuaikan dengan aturan yang baik, ya melalui musyawarah," kata Muhtadi kepada awak media di Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (29/7/2020).

Menurutnya, keterlibatan kiai pesantren sesuai dengan ajaran Sunan Gunung Jati. Muhtadi mengakui dalam kondisi ini, mendapat amanah dari beberapa pesantren di Cirebon.

Di antaranya Ponpes Pemijen Sindang Laut, Ponpes Wanantara Sumber, Ponpes Jaha Cirebon Girang, Ponpes Jatisari Plered dan Ponpes Sukun Weru. Termasuk beberapa majelis taklim, untuk mendorong keraton agar melibatkan pesantren.

"Salah satu tugas keraton pada zaman dulu adalah siar Islam. Sudah seharusnya urusan Keraton Kasepuhan pengelolaannya diarahkan untuk siar Islam yang melibatkan pesantren-pesantren. Dulu, pesantren adalah bagian dari keraton. Ya pusatnya di keraton," ungkapnya.

Dia menuturkan, saat keraton menjadi pusat pemerintahan, sejumlah kiai dari keraton ditugaskan untuk membangun peguron (perguruan). Namun, dengan berkembangnya zaman, istilah peguron berganti menjadi pesantren.

"Dulu zamannya Mbah saya, Mbah Soleh diminta untuk mengubah nama peguron jadi pesantren. Akhirnya peguron-peguron yang berkaitan dengan keraton berubah nama jadi pesantren. Makanya ada peguron Buntet, Mertasinga, Gedongan, kemudian Peguron Ujung Kulon Banten," kata Muhtadi.

Oleh karena itu, dia berharap sosok Sultan Sepuh XV nanti bisa mengemban amanah untuk menyiarkan Islam. Sesuai dengan apa yang dilakukan keraton zaman dulu.

"Jadi, hubungan antara keraton dan pesantren itu bersenyawa," sambung Muhtadi.

Muhtadi mengaku tidak mempersoalkan siapa sosok sultan yang bertahta. Namun, kata dia, seorang sultan harus bisa mengemban amanah syiar Islam.

Salah satunya dengan cara kembali bekerja sama dengan pesantren yang dulu pernah menjadi penopang Keraton Kasepuhan Cirebon.

"Siapa pun yang jadi sultan Keraton Kasepuhan, kami pihak pesantren meminta harus terbiasa bersilaturahmi dengan ulama-ulama. Menjalin kerja sama untuk siar Islam, ya yang sesuai aturan pemerintah," kata dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Peran Ulama

Salah seorang Kiyai sesepuh Benda Kerep Kota Cirebon Muhtadi Mubarok Soleh mengaku mendapat amanah untuk menyampaikan prosesi penobatan Sultan. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Filolog Raffan S Hasyim menjelaskan, sejak dulu hubungan antara pesantren dam keraton sangat erat. Pesantren, kata dia, menjadi dewan penasihat bagi keraton.

Oleh karena itu, ketika ada kesalahan yang dilakukan keraton, maka kiai pesantren langsung meluruskan. Termasuk proses pengangkatan sultan yang baru.

Pria yang akrab disapa Opan mengungkapkan, dulu Sunan Gunung Jati diangkat sebagai raja di Cirebon oleh para ulama.

"Yang mengangkat Sunan Gunung Jati di Keraton Kasepuhan ya Sunan Ampel, ya seorang ulama," kata Opan.

Dia mengungkapkan, tradisi pengangkatan sultan yang melibatkan ulama dilakukan hingga Sultan Sepuh ke V Keraton Kasepuhan Cirebon Matangaji.

Sultan Matangaji, kata dia, terlebih dahulu dibekali ilmu agama yang kuat sebelum menduduki tahta kesultanan.

"Sultan Matangaji itu ulama. Dulu, calon sultan itu disembunyikan, orang lain tidak tahu siapa kalau dia calon raja. Digembleng dulu agamanya merasakan penderitaan rakyatnya, istilahnya dipesantrenkan dulu. Nah, mulai zaman Belanda hal-hal seperti itu dihilangkan," ujar Opan.

Sultan Matangaji, merupakan ahli strategi perang saat melawan kolonial Belanda. Selain ulama, Sultan Matangaji dikenal sebagai pemimpin yang selalu menentang kebijakan kolonial.

Oleh karena itu, lanjut Opan, wajar ketika ada ulama atau kiai yang mengutarakan pendapatnya tentang keraton. Demi menjaga pelestarian adat dan sejarah yang pernah terjadi.

"Kiai dan keraton itu masih kerabat, jadi jika saat ini ada ulama atau kiai dari pesantren yang mengemukakan pendapat terkait penobatan saya kira wajar," kata Opan.

Opan menyarankan agar pihak Keraton Kasepuhan bersilahturahmi dan melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan pesantren terkait penganugerahan putra mahkota pada 2018 lalu.

"Memang secara tradisi harus keturunan, ya anak laki-laki. Tapi, etikanya harus melibatkan ulama saat penobatan nanti," kata dia.


Respon Keraton Kasepuhan

Adik kandung Almarhum Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat, Ratu Raja Alexandra Wuryaningrat. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Terpisah, adik kandung Almarhum Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat, Ratu Raja Alexandra Wuryaningrat mengatakan, PR Luqman Zulkaedin telah diberi anugerah sebagai putra mahkota oleh Sultan Arief pada Januari 2018 silam.

Pemberian gelar tersebut, kata dia, sudah disampaikan oleh Luqman saat melepas jenazah ayahnya di keraton untuk dimakamkan kepada tamu pelayat yang hadir saat itu.

"Saat pelepasan itu PR Luqman membacakan anugerah bahwa ia adalah putra mahkota yang akan meneruskan tahta Sultan Arief," tutur Alexandra.

Ia menambahkan, sudah menjadi tradisi di Keraton Kasepuhan bahwa yang meneruskan tahta adalah turunan garis anak laki-laki yang telah ditunjuk oleh sultan sebelumnya.

Selain itu, tidak ada proses semacam karantina bagi calon sultan pengganti sebelum naik tahta.

"Sudah ada wejangan langsung dari Sultan Sepuh XIV setelah penganugerahan dulu. Jadi tidak ada istilah mondok dulu atau dipesantrenkan dulu tidak ada," ujarnya.

Dia memastikan, kalangan ulama dari pesantren akan diundang saat prosesi penobatan atau jumenengan PR Luqman menjadi Sultan Sepuh nanti.

"Penobatan akan disaksikan oleh wargi, pemerintahan, abdi dalem, kerabat, juga ulama dan kiai pastinya diundang. Untuk kegiatan ke luar sebelum penobatan, PR Luqman mungkin tidak akan melakukannya terlebih dahulu, sebab saat ini masih suasana berduka dan justru banyak yang dari luar datang ke keraton," tuturnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya