HEADLINE: Kemendikbud Akan Buka Sekolah di Luar Zona Hijau, Berisiko Tinggi?

Pada skala yang lebih besar, pembukaan sekolah ini akan berkontribusi pada percepatan dari penyebaran atau penambahan kasus Covid-19.

oleh RinaldoNanda Perdana PutraDelvira HutabaratIka Defianti diperbarui 03 Agu 2020, 10:22 WIB
Seorang siswi SMA 12 Cilenggang melihat kartu pesertanya saat mengikuti UNBK di Serpong, Senin (9/4). UNBK sekolah menengah atas (SMA) dan madrasah aliyah (MA) berlangsung dari 9-12 April 2018. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Usai mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo melalui siaran telekonferensi, Senin 27 Juli 2020, Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo mengatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan mengizinkan sekolah di luar zona hijau untuk kembali melakukan kegiatan belajar mengajar secara langsung atau tatap muka.

Rencana ini tentu saja mengundang polemik tentang jaminan keamanan bagi anak didik yang nantinya akan mengikuti pembelajaran secara langsung di sekolah. Masalahnya, hingga kini seluruh wilayah di Indonesia belum bisa dikatakan aman betul dari pandemi Covid-19.

Pengamat epidemi Dicky Budiman memberikan perumpamaan sederhana akan rencana pemerintah itu. Dia mengibaratkan pembukaan sekolah di luar zona hijau atau di zona kuning ini sama dengan apa yang terjadi dengan perkantoran di Jakarta yang menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.

"Ini akan sangat bergantung pada kondisi atau progres atau situasi pengendalian pandemi di masyarakat. Bila kondisinya belum terkendali dan jelas saat ini Indonesia belum ada wilayah yang terkendali," jelas Dicky saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (29/7/2020). 

Menurut dia, masyarakat harus memahami bahwa secara umum Indonesia berada di zona merah dilihat pada tatanan global. Di mana progres dari pandemi Covid-19 bukan stagnan atau melambat, tapi makin cepat.

"Ini mengindikasikan bahwa tidak ada dasar ilmiah, tidak ada dasar atau rujukan di negara yang berhasil mengendalikan pandemi, baik dalam fakta sejarah maupun fakta terkini, sekolah dibuka ketika situasi belum terkendali seperti saat ini," papar Dicky. 

Ini artinya, lanjut dia, pembukaan sekolah sangat berbahaya, baik bagi murid maupun guru dan staf sekolah. Dan pada skala yang lebih besar ini akan berkontribusi pada percepatan dari penyebaran atau penambahan kasus Covid-19. 

"Karena secara ilmiah, penutupan sekolah berkontribusi 40 persen dalam mengurangi kecepatan dari penularan, dan juga ikut melandaikan kurva. Sehingga puncak kurva yang terjadi tidak akan tinggi. Ini bukan hal yang kecil, sangat signifikan," ujar epidemiolog dari Griffith University Australia itu. 

Dia mengatakan, ini tak hanya dialami oleh negara seperti Indonesia, di Australia yang relatif pandeminya terkendali, testing dan tracing sudah memenuhi standar WHO serta isolasinya cepat, tetap saja tak bisa dicegah.

"Ketika (sekolah) dibuka ini terjadi, ini sedang jadi klaster, sebuah sekolah di Queensland. Walaupun mereka sigap (menutup sekolah), tapi ini menunjukkan tidak ada kesempatan untuk bermain-main dengan kebijakan, apalagi ini membahayakan generasi muda Indonesia," tegas Dicky.

"Saya mohon sekali, para pengambil kebijakan ini benar-benar berpikir berdasarkan sains, bukan berdasarkan pemikiran sesaat, apalagi pertimbangan yang tidak memahami ilmu pandemi," imbuh dia.

Infografis Pro Kontra Sekolah Dibuka di Luar Zona Hijau. (Liputan6.com/Trieyasni)

Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti menilai rencana pemerintah untuk membuka sekolah di luar zona hijau melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaam, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri.

Dalam SKB Nomor 01/KB/2020, Nomor 516 Tahun 2020, Nomor HK.03.01/Menkes/363/2020, dan Nomor 440-882 tanggal 15 Juni 2020 tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran Baru 2020-2021 di masa Pandemi Covid-19, maka pembukaan sekolah hanya diperkenankan di zona hijau.

"Dalam SKB 4 Menteri tersebut dengan sangat jelas dinyatakan bahwa untuk wilayah Covid-19 di zona kuning, oranye dan merah masih dilarang untuk melakukan kegiatan tatap muka dan membuka sekolah," papar Retno saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (29/7/2020).

Adapun ketentuan dasarnya adalah, pertama kabupaten/kota harus zona hijau, kedua pemerintah daerah harus setuju, ketiga sekolah harus memenuhi semua daftar periksa dan siap pembelajaran tatap muka, dan empat orangtua murid setuju pembelajaran tatap muka.

"Jika salah satu dari empat syarat tersebut tidak terpenuhi, peserta didik melanjutkan belajar dari rumah secara penuh," tegas Retno.

Selain ketentuan zona, pembukaan sekolah juga harus dilakukan secara bertahap mulai dari jenjang SMA sederajat dan SMP. Menurut SKB 4 Menteri, yang bisa mengikuti pembelajaran tatap muka pada tahap I adalah siswa jenjang SMA, SMK, MA, MAK, SMTK, SMAK, Paket C, SMP, MTs, paket B.

Sedangkan pada tahap kedua ini akan dilaksanakan dua bulan setelah tahap I yakni bagi jenjang SD, MI, Paket A dan SLB. Sedangkan di tahap ketiga dilaksanakan dua bulan setelah tahap II yakni bagi jenjang PAUD formal (TK, RA, TKLB) dan non formal.

"Seharusnya Satuan Tugas Covid-19, Kemdikbud dan Kementerian Agama mengevaluasi dahulu pelaksanaan SKB 4 Menteri yang belum lama umurnya, bukan malah memutuskan membuka di semua zona tanpa merujuk data pascapembukaan sekolah seperti di Pariaman yang zona hijau, baru seminggu buka sekolah ada yang guru dan operator sekolah yang terpapar Covid-19, padahal guru yang bersangkutan sempat berinteraksi tatap muka dengan para siswanya," ungkap Retno.

"Alih-alih mengevaluasi SKB 4 Menteri, lanjut dia, Kemdikbud yang tampaknya putus asa dengan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan ketidakmampuan membuat kurikulum adaptif yang disederhanakan hingga dimulainya tahun ajaran baru, malah mempertaruhkan keselamatan anak dengan rencana membuka sekolah tatap muka, tanpa data apakah sekolah dan daerah siap, apakah orangtua dan anak siap menghadapi kenormalan baru di pendidikan." imbuh dia.

Keinginan Kemendikbud membuka sekolah, menurut dia sudah terlihat saat KPAI diundang rapat daring pada 23 Juli 2020. Rapat daring dihadiri perwakilan Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas Covid 19, IDAI, KPAI dan WHO. Surat undangan rapat bernomor 64342/A7/TU/2020 tertanggal 22 Juli 2020 tersebut diselenggarakan dalam rangka evaluasi pelaksanaan SKB 4 Menteri di masa pandemi Covid 19.

"Dalam rapat itu, KPAI, IDAI dan WHO keras menentang pembukaan sekolah dengan mengungkapkan data-data yang masing-masing miliki, bahkan saat ditanya oleh staf ahli Menteri apakah ada alternatif lain, dan tetap dijawab tidak ada. Namun saat itu saya menangkap sinyal ada upaya membuka sekolah dalam waktu dekat dan ternyata benar," ujar Retno.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengatakan rencana untuk membuka sekolah di zona luar hijau masih sekadar wacana. Dia beralasan, saat digelar rapat dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, hal itu tak pernah dibahas.

"Rapat dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan disebut belum boleh (buka sekolah) di zona kuning. Ini kan statement Pak Doni (Ketua Satuan Tugas Covid-19 Doni Monardo), bukan Mendikbud," ujar Dede kepada Liputan6.com, Rabu (29/7/2020).

Dia mengaku bisa memahami keluhan orangtua yang berat secara ekonomi karena harus menyediakan kuota internet untuk belajar jarak jauh. Ditambah lagi keluhan orangtua yang bekerja, sementara anaknya butuh bimbingan belajar di rumah. 

"Karena itu, untuk daerah yang tidak punya internet mungkin bisa dibuka pelan-pelan dan hati-hati. Tapi di kota padat dan banyak kasus ya harus di rumah dulu. Apalagi belum ada subsidi apa pun. Karena itu kemarin saya minta Program Organisasi Penggerak (POP) jangan dululah, kuota pulsa siswa lebih penting," tegas Dede.


Semua Lini Tidak Siap

Ilustrasi siswa/siswi sekolah. (Foto: Istimewa)

Jika saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membuka sekolah di luar zona hijau, lantas kapan waktu yang tepat? Pengamat epidemi Dicky Budiman punya jawabannya. Menurut dia, kapan sekolah bisa dibuka itu harus menunggu sampai tidak ada kasus baru atau zero cases Covid-19, setidaknya dalam 2 atau 3 minggu.

"Dan saya prediksi ini baru bisa kita capai di beberapa kota di DKI, sebagian Jawa Barat, saya nggak tahu Jawa Tengah, Jawa Timur, karena ini berkaitan dengan kualitas dari intervensi testing, tracing, dan isolasi mereka. Yang saat ini saya lihat baru Jakarta yang kapasitas testingnya relatif memenuhi target WHO," ujar Dicky.

Ketika testing ini hasilnya menunjukkan tidak ada kasus baru dalam 2 atau 3 minggu, lanjut dia, di situlah baru kita evaluasi kesiapan pembukaan sekolah secara bertahap dengan pengetatan dan mempersiapkan beberapa protokol yang harus dipenuhi.

"Saya bagi lima protokolnya. Protokol kelas, sekolah atau gedungnya, aktivitas siswa dan guru termasuk staf sekolah, schedule atau agendanya, terakhir protokol kebijakan secara umum," jelas Dicky.

Bila dirinci secara garis besar, pertama dari gedung sekolah, memastikan sekolah itu meningkatkan ventilasi udara keluar. Kemudian kalau di dalam memakai AC dipastikan filter dari indoor udara di dalam memenuhi kriteria kesehatan. Kemudian menjaga kebersihan dari lingkungan sekolah, termasuk toilet sekolah, ini harus dipastikan siap.

"Karena sekali lagi, pandemi ini bukan pandemi yang akan selesai 1 atau 2 bulan seperti yang disampaikan pakar di Indonesia pada awal-awal lalu. Ini masih lama. Paling cepat pertengahan tahun depan. Ini artinya harus disiapkan masalah kesiapan sekolah kalau akhir tahun akan dibuka," jelas Dicky. 

Kedua kesiapan di kelas. Menurut dia, semua siswa harus memakai masker, memakai faceshield, mencuci tangan secara rutin, dan jaga jarak di antara para siswa. Kemudian juga selalu melakukan disinfeksi secara rutin di objek-objek yang dipakai siswa.

"Kemudian protokol aktivitas, itu memodifikasi pendidikan yang sifatnya fisik. Dimodifikasi karena siswa kan perlu ada aktivitas fisik, ini perlu di outdoor, di luar ruangan. Tetap ada kegiatan olahraga tapi dengan meminimalisir kontak fisik," ujar Dicky.

Kemudian protokol schedule, dia menjelaskan, transisi waktu belajar misalkan tadinya dari pelajaran satu ke dua tidak ada jeda, sekarang minimal ada 30 atau 15 menit minimal. Selain untuk sirkulasi, juga agar anak-anak bisa beristirahat dan mencuci tangan.

"Kemudian memastikan schedule anak ini aman saat makan, kantinnya diatur supaya memenuhi protokol atau lebih disarankan anak-anak bawa makan sendiri. Termasuk juga mengatur antar jemput supaya tidak ada aktivitas yang sifatnya jadi banyak orang, ramai, jadi diefisiensikan," papar Dicky.

Terakhir protokol kebijakan yang harus disiapkan bahwa secara berkala guru harus dites. Bukan rapid test, tapi PCR. Jadi memastikan budaya masalah kesehatan ini terus dijaga. Kemudian sekolah harus punya tim, katakanlah tim Covid atau apa pun yang melingkupi guru dan siswa yang sifatnya mengingatkan.

"Dan sekolah juga harus punya opsi bagi anak-anak yang berisiko datang ke sekolah untuk belajar di rumah. Ini harus disiapkan karena kita harus memproteksi siswa yang beresiko tinggi mau pun guru atau staf. Ini semua nantinya baru bisa kita lakukan setelah tidak ada kasus lagi, tapi kesiapannya bisa dari sekarang," Dicky memungkasi.

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengaku pernah melakukan peninjauan serta pengawasan langsung terhadap sekolah-sekolah yang siap untuk dibuka di masa kenormalan baru. KPAI melakukan pengawasan langsung ke 15 sekolah untuk jenjang SD, SMP, SMA/SMK sebagai sampel di Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan dan kota Bandung pada Juni 2020 lalu.

"Hasilnya, dari 15 sekolah hanya 1 sekolah yang benar-benar siap secara infrastruktur kenormalan baru, yaitu SMKN 11 Kota Bandung, sedangkan yang mulai menyiapkan infrastruktur ada 5 sekolah, itu pun sebatas menyiapkan wastafel beberapa buah di tempat-tempat yang strategis di lingkungan sekolah, dan 9 sekolah lagi belum menyiapkan apa pun kecuali sabun cuci tangan di wastafel yang memang sudah dibangun jauh sebelum pandemi Covid-19," jelas Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti.

Selain melakukan pengawasan langsung, KPAI juga melakukan survei ke para guru di berbagai daerah. Survei yang menyasar para guru bertujuan untuk mengetahui seberapa siap sekolah menghadapi kenormalan baru. Sampai Selasa 28 Juli 2020 survei diikuti oleh 6.664 guru dari sekolah yang berbeda, karena satu sekolah diwakili oleh satu guru. Hasil sementara survei, hanya sekitar 20% sekolah yang siap menghadapi kenormalan baru dari infrastruktur yang sudah disiapkan saat ini.

Untuk pengawasan langsung, KPAI mengecek kondisi toilet sekolah, mencoba wastafel yang berada di sekolah apakah rusak/tidak dan apakah ada airnya/tidak, juga ke ruang kelas apakah kursi/meja sudah disusun setengah dari jumlah siswa selama ini, apakah ada ruang isolasi sementara saat ada warga sekolah yang suhunya di atas 37,3 derajat.

"Kemendikbud seharusnya menjadi motor penggerak dalam mempersiapkan kenormalan baru di pendidikan. Bisa dilakukan dengan mempersiapkan protokol kesehatan dan daftar periksa yang kemudian disampaikan ke seluruh Dinas Pendidikan untuk dilakukan rapat koordinasi secara berjenjang," harap Retno.

Namun, kami belum melihat ada upaya-upaya semacam itu, lalu bagaimana Kemdikbud hendak membuka sekolah di zona kuning ketika tidak memiliki data apa pun di level sekolah. Kebijakan seharusnya berbasis data, bukan coba-coba. Apalagi ini soal keselamatan dan kesehatan anak-anak Indonesia, untuk anak sebaiknya jangan coba-coba," tegas Retno.

 


Doni Bicara, KPAI Sodorkan Data

Sejumlah anak sekolah di SMPN 1 Kota Jambi mulai masuk sekolah pertama saat masa pandemi, Senin (13/7/2020). Meski status Kota Jambi zona kuning, Pemkot Jambi telah mengizinkan belajar mengajar tatap muka. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Kabar akan dibukanya sekolah di luar zona hijau Covid-19 pertama kali disampaikan Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo. Dia menyebutkan, pemerintah akan memberi izin penyelenggaraan sekolah tatap muka di luar zona hijau Covid-19 dan akan segera diumumkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan langkah-langkah. Dan mungkin tidak lama lagi akan diumumkan daerah-daerah yang selain zona hijau itu juga akan diberikan kesempatan melakukan kegiatan belajar tatap muka," kata Doni dalam jumpa pers seusai rapat dengan Presiden Jokowi, Senin (27/7/2020).

Namun, Doni menegaskan bahwa sekolah tatap muka di luar zona hijau ini harus digelar secara terbatas. Artinya, jumlah siswa yang hadir dalam satu kelas juga dibatasi. Durasi belajar di kelas juga dipersingkat.

Doni menyebutkan, belajar jarak jauh yang diterapkan saat ini memang efektif untuk mencegah penularan Covid-19. Di sisi lain, banyak siswa di daerah yang kesulitan dalam belajar jarak jauh karena sulitnya sinyal internet.

Doni pun memuji kreativitas daerah yang memberlakukan kebijakan belajar menggunakan radio pada masa pandemi ini.

"Beberapa daerah yang telah berinisiatif menggunakan radio panggil sebagai sarana pembelajaran oleh guru tentunya kita berikan apresiasi karena tidak ada rotan, akar pun jadi," ujar Doni.

"Jadi inilah kreativitas yang berkembang di masyarakat dan kami tentunya memberikan apresiasi kepada semua pihak yang telah melakukan berbagai langkah dan upaya sehingga kegiatan belajar-mengajar tetap dilakukan dengan segala keterbatasan yang ada," tuturnya.

Sebelumnya, Pemerintah dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk memberikan izin membuka sekolah di daerah yang termasuk zona kuning atau risiko rendah virus Corona (Covid-19). Hal ini menyusul adanya permintaan dari sejumlah pihak agar pembelajaran tatap muka juga dapat dilakukan di wilayah zona kuning.

"Saat ini (dikaji) agar zona kuning diizinkan. Kami sedang bahas ini dengan Kemendikbud," kata Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo usai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin 13 Juli 2020.

Dia mengatakan, orangtua dan pihak sekolah mengeluhkan tidak adanya aktivitas pembelajaran di sekolah sejak pandemi virus Corona. Kendati begitu, Doni menyebut rencana pembukaan sekolah di zona kuning masih dalam tahap pembahasan.

"Ini dalam pembahasan karena ini ada permintaan dari orangtua dan pimpinan sekolah yang mengatakan sudah sekian lama tidak ada aktivitas. Tapi kalau (pembukaan sekolah) ini jadi, hanya (sekolah) di zona kuning," ujarnya.

Namun, ucapan Doni dibantah Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti. Dia mengatakan, sebelum mengambil keputusan untuk membuyka sekolah di zona kuning, harusnya pemerintah belajar dari sejumlah kasus yang ada.

KPAI mencatat, pada 30 Juni 2020, Kepala Bagian Pendidikan Kantor Kemenag Kota Tangerang Yana Karyana mengatakan 5 pengajar di sebuah ponpes di Karawaci Kota Tangerang sudah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang pun menghentikan sementara kegiatan Pondok pesantren (ponpes) lantaran 5 pengajarnya terpapar Covid-19. 

Kemudian, pada 17 Juli 2020, 35 santri positif Covid-19 dari klaster Pondok Pesantren (Ponpes) Sempon, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah), melonjak. Sebelumnya, jumlah penghuni pondok sempon terkonfirmasi positif sembilan orang, pada 17 Juli 7 2020 bertambah 26 orang sehingga total menjadi 35 orang. 

Demikian pula, pada 20 Juli 2020, Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni mengumumkan tambahan 11 pasien positif Covid-19 di Ponorogo. Sebanyak delapan dari 11 pasien positif itu merupakan santri Pondok Modern Darussalam Gontor 2 di Kecamatan Siman, Ponorogo. Sehingga, terdapat 51 santri Pondok Gontor 2 yang dinyatakan positif Covid-19 hingga saat ini. 

Pada 20 Juli 2020, Kepala Dinas Pendidikan Kota Pariaman Kanderi mengatakan, ada guru dan operator sekolah yang diketahui positif Covid-19 setelah dilakukan tes swab massal terhadap 1.500 guru yang ada di Kota Pariaman.

Guru yang bersangkutan sempat melakukan pembelajaran tatap muka sejak 13 Juli 2020. Seperti diketahui, Pariaman merupakan satu dari empat wilayah yang dinyatakan zona hijau di Sumatera Barat. 

Belajar dari pembukaan sekolah di zona hijau, yaitu Pariaman (Sumbar) dan kasus di pondok pesantren yang menjadi kluster baru Covid 19, maka untuk melindungi keselamatan dan kesehatan peserta didik selama berada di sekolah, KPAI mendorong Pemerintah untuk bertindak hati-hati membuka sekolah dan tidak membuka sekolah tatap muka saat sekolah dan daerah belum mampu memenuhi infrastruktur dan ketentuan protocol kesehatan yang ditetapkan WHO untuk membuka sekolah. 

"Kesehatan dan keselamatan anak-anak harus jadi pertimbangan utama dan pertama, perbaiki PJJ dan siapkan dahulu infrastruktur serta budaya kenormalan baru sebelum buka sekolah," tegas Retno kepada Liputan6.com.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya