Liputan6.com, Jakarta - Satuan Tugas Penanganan COVID-19 menyampaikan 10 kabupaten/kota dengan angka kematian tertinggi karena COVID-19 hingga Minggu, 26 Juli 2020.
Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Dewi Nur Aisyah memaparkan mengenai perkembangan zonasi laju COVID-19 di Indonesia pada Senin, 27 Juli 2020. Salah satunya gambaran angka kematian dan kasus positif COVID-19 per 100.000 penduduk berdasarkan kabupaten/kota.
Dari data yang dipaparkan, Surabaya termasuk salah satu yang tertinggi mencatatkan angka kematian karena Corona COVID-19. Tercatat angka kematian karena COVID-19 sebanyak 803. Kemudian Kota Semarang sebanyak 289, Kota Makassar sebanyak 214, Jakarta Pusat sebanyak 180 dan Jakarta Timur sebanyak 156 kematian.
Baca Juga
Advertisement
Lalu Jakarta Selatan sebanyak 150, Jakarta Barat sebanyak 149, Kabupaten Sidoarjo sebanyak 140, Kota Banjarmasin sebanyak 122 dan Jakarta Utara sebanyak 118 kematian.
"Tertinggi di Surabaya dengan 803 kematian,” ujar dia, seperti dikutip Kamis, (30/7/2020).
Dari angka kematian per 100.000 penduduk berdasarkan kabupaten/kota, Surabaya juga tertinggi. Kota Surabaya, Jawa Timur (27,22 per 100.000 penduduk), Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan (18,20 per 100.000 penduduk).
Sementara itu, berdasarkan data lawancovid-19.surabaya.go.id, angka kematian karena COVID-19 mencapai 754 orang hingga 28 Juli 2020.
Direktur RSI Ahmad Yani Surabaya, dr Samsul Arifin menuturkan, ada sejumlah faktor penyebab kematian pasien COVID-19 tinggi di Surabaya, Jawa Timur. Pertama, pasien yang datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi kurang baik atau alami gagal nafas.
"Masyarakat belum percaya COVID-19, meremehkan. Gejala batuk tidak mau ke rumah sakit, kalau sudah sesak nafas dan gagal nafas ke rumah sakit. Datang ke rumah sakit itu sudah gagal nafas, datang terlambat ke rumah sakit," ujar Samsul saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Kamis, (30/7/2020).
Faktor kedua, menurut Samsul, fasilitas rumah sakit rujukan COVID-19 terutama ventilator yang terbatas. Apalagi seiring pasien COVID-19 yang banyak, sisi lain ventilator masih kurang. Samsul menuturkan, kalau ventilator penuh, dipasang oksigen, sehingga pemasangan ventilator sudah terlambat.
"Di tempat saya ada empat ventilator, dan kalau misalkan 80 tempat tidur atau ruang isolasi setidaknya ada delapan ventilator,” ujar dia.
Ia menambahkan, alat bantu pernafasan atau ventilator ini memang cukup mahal. Satu ventilator sekitar Rp 600 juta-Rp 700 juta. “Kami sudah memiliki tiga senilai Rp 2 miliar, dan satu bantuan dari bu Risma. Rumah sakit swasta juga mempertimbangkan kebutuhan untuk membelinya," ujar dia.
Oleh karena itu, Samsul menuturkan, tambahan ventilator ini dibutuhkan untuk membantu perawatan pasien COVID-19.
"Kebutuhan ventilator di Jawa Timur masih banyak dibutuhkan. Jumlah pasien lebih banyak dari ventilatornya, antre untuk memakai ventilator itu," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Faktor Komorbid
Faktor ketiga, Samsul menuturkan, pasien COVID-19 juga sudah berusia 60 tahun ke atas dengan memiliki komorbid atau penyakit penyerta.
"Penyakit penyerta pasien COVID-19 ada kencing manis, darah tinggi, obesitas, dan darah tinggi, mempercepat kematian. Hampir 80 persen punya komorbid. Langsung masuk ICU," ujar dia.
Melihat data infocovid-19.jatimprov.go.id pada 28 Juli 2020, pasien positif COVID-19 di Surabaya didominasi laki-laki sebanyak 55 persen dan perempuan 45 persen. Pasien positif COVID-19 berusia di atas 60 tahun antara lain laki-laki 10,37 persen dan perempuan 7,18 persen.
Paling tinggi pasien COVID-19 berusia 50-59 tahun antara lain perempuan sebanyak 9,35 persen dan laki-laki 12,29 persen.
Samsul mengatakan, rumah sakit dan tenaga kesehatan sudah optimal untuk merawat pasien COVID-19. Namun, faktor usia, fasilitas rumah sakit rujukan dan ada komorbid juga turut mempengaruhi angka kematian karena COVID-19.
Oleh karena itu, Samsul mengimbau agar edukasi kepada masyarakat mengenai gejala COVID-19 terutama kepada warga rentan yang punya komorbid dan berusia lanjut.
"Kalau gejala sesak nafas, batuk datang ke rumah sakit agar penanganan tidak terlambat," ujar dia.
Selain itu, menurut Samsul edukasi juga perlu dilakukan kepada generasi muda. Hal ini mengingat warga yang konfirmasi positif tanpa gejala dapat menularkan kepada keluarga terutama orangtuanya. Orangtua sudah usia lanjut termasuk rentan penularan COVID-19.
"Orang muda yang tanpa gejala juga banyak yang kena. Ini menularkan kepada orangtuanya. Orang muda bisa saja tanpa gejala karena imun lebih kuat, tetapi bisa menularkan kepada orangtua. Edukasi ini yang harus digalakkan," ujar dia.
Samsul menuturkan, tracing atau pelacakan dan testing lewat tes usap atau tes swab juga perlu gencar dilakukan untuk menjaring pasien COVID-19 tanpa gejala.
Advertisement