Aroma Wine dalam Sececap Kopi Arabika Lereng Gunung Slamet

Gunung Malang, di Lereng Gunung Slamet, Purbalingga mampu menghasilkan 20 ton kopi Arabika setiap panen

oleh Rudal Afgani Dirgantara diperbarui 30 Jul 2020, 17:00 WIB
Kopi Robusta Gunung Malang, Lereng Gunung Slamet, Purbalingga. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Liputan6.com, Purbalingga - Petani kopi Grumbul Gunung Malang, Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga bersuka cita menyambut musim panen tahun ini. Di lahan seluas 63 hektare, butir-butir ceri, biji kopi yang matang di pohon, dipetik tangan-tangan cekatan para petani sayur.

Bermula dari perkebunan inilah, seduhan kopi Gunung Malang tertuang ke dalam cangkir-cangkir di meja kafe hingga warung kopi di trotoar jalan.

Tumbuh di ketinggian 1.450 meter di atas permukaan laut membuat kopi Gunung Malang masuk sebagai kopi jenis arabika. Namun arabika Gunung Malang memiliki cita rasa yang unik.

Jika biasanya kopi arabika memiliki keasaman tinggi, namun arabika Gunung Malang ada rasa pahit yang menjadi ciri khas kopi robusta. Rasa yang kompeks ini membuat kopi Gunung Malang banyak digemari pencinta kopi.

Ada 157 petani yang terlibat pengelolaan perkebunan sayuran dan kopi di Gunung Malang. Mereka mengelola lahan milik Perhutani melalui wadah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

Dari lahan seluas 63 hektare, Gunung Malang, di Lereng Gunung Slamet, Purbalingga mampu menghasilkan 20 ton kopi Arabika setiap panen. Musim panen tiba sembilan bulan sekali.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Pascapanen Kopi Robusta Gunung Malang Purbalingga

Kopi Robusta Gunung Malang, Lereng Gunung Slamet, Purbalingga. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Pascapanen, para petani mengolah sendiri biji kopi ini. Setelah dipetik, biji kopi dimasukkan ke dalam ember berisi air. Tahap ini untuk memisahkan biji kopi yang berkualitas dengan yang kopong.

“Setelah dimasukkan ke dalam air, akan terlihat yang terapung dengan yang mengendap,” kata Rahmat Dani Harmono, pengolah kopi Gunung Malang.

Yang mengendap dipisah dengan yang mengapung. Yang mengapung merupakan biji kopi yang tidak berisi.

Sementara biji kopi yang mengendap diproses sesuai hasil yang diinginkan. Ada beberapa proses yang masing-masing menghasilkan cita rasa yang berbeda.

Pertama wash. Proses ini dilakukan dengan mengupas biji kopi dari kulit terluarnya. Proses mengupas menggunakan mesin.

Biji kopi dimasukan ke dalam mesin pulper dan keluar dalam kondisi terkupas. Setelah terkupas, biji kopi dibilas untuk membersihkan lendir dari daging buah sebelum dikeringkan. Proses ini menghasilkan kopi bercitarasa asam.

Kedua yaitu honey process. Pada proses ini ceri kopi dikupas dengan mesin. Dalam kondisi masih berlendir, biji kopi direndam selama satu malam. Lendir dari daging buah yang mengandung gula buah alami inilah yang membuat proses ini disebut honey atau madu.

Setelah direndam, biji kopi ditiriskan lalu dikocok sekali kemudian dikeringkan. Proses ini menghasilkan kopi dengan citarasa agak manis dan aroma yang lebih wangi.

“Ada juga red honey, setelah dikupas langsung jemur, hasilnya lebih wangi,” ujar dia.


Proses Bikin Kopi Beraroma Wine

Kopi Robusta Gunung Malang, Lereng Gunung Slamet, Purbalingga. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Ketiga ada wine process. Cara ini dilakukan dengan memasukan ceri kopi pilihan ke dalam plastik kedap udara selama dua minggu. Setelah terfermentasi, biji kopi ini kemudian dijemur di dalam dry house selama satu bulan.

Proses ini menghasilkan kopi dengan aroma wine atau anggur. Kopi dengan proses ini dilabeli dengan harga paling mahal di antara kopi dengan proses pengolahan lainnya.

Ada juga natural process. Pada proses ini, ceri kopi pilihan dikeringkan bersama kulitnya. Proses ini menghasilkan rasa yang lebih kompleks dengan keasaman yang rendah.

“Paling banyak permintaan kopi dengan proses wash dan honey, karena harganya lebih terjangkau,” ucapnya.

Trias Adi Pramono, pedagang kopi sekaligus pegiat komunitas Ruang Kopi menjual 200 hingga 500 bungkus kopi Gunung Malang setiap bulan. Namun setelah pandemi Covid-19, penjualan kopinya turun hingga 80 persen.

Trias biasanya membeli kopi dalam bentuk biji kering. Ia mengolah sendiri biji kopi ini sesuai kebutuhan pasar.Setelah melalui proses roasting dan penggilingan, satu kilogram biji kopi biasanya menjadi tujuh bungkus bubuk kopi kemasan 100 gram.

Dari sudut pandangnya sebagai pedagang, masih ada persoalan lemahnya promosi dan ketersediaan pasokan yang tidak stabil.

“Kalau sedang banyak, pasokan melimpah, tapi sedang kosong bisa sampai tiga bulan kosongnya,” kata dia.

 


Tekad Bikin Kopi Gunung Malang Mendunia

Kopi Robusta Gunung Malang, Lereng Gunung Slamet, Purbalingga. (Foto: Liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara)

Untuk membuat arabika Gunung Malang mendunia, para petani harus difasilitasi mengakses festival kopi nusantara. Jika mampu memukau juri dan masuk 10 besar, kopi Gunung Malang berpeluang menjadi incaran saudagar kopi nusantara, bahkan bisa go international.

Sementara terkait kestabilan pasokan, perlu penambahan kapasitas produksi. Antara lain dengan menambah luasan lahan. Untuk menambah luasan lahan, perlu nota kesepahaman baru antara LMDH dengan Perhutani.

Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi sendiri menyatakan bersedia membantu menjembatani antara LMDH dengan PT Perhutani. Pemerintah daerah juga menjanjikan bantuan bibit kopi.

Ke depan, Gunung Malang diproyeksikan menjadi objek wisata. Wisatawan akan disuguhi pengalaman memetik ceri kopi, menyaksikan rangkaian proses pascapanen hingga menikmati seduhan kopi Gunung Malang.

Mereka juga bisa menikmati eksotisme panorama alam Gunung Malang. Di satu sisi pengunjung bisa menyaksikan Gunung Slamet dari dekat.

Di sisi yang lain wisatawan bisa menyaksikan puncak Gunung Sindoro Sumbing dan Merapi yang menyembul di atas gugusan awan putih.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya