Liputan6.com, Hong Kong - Hong Kong sebelumnya dinilai telah berhasil mengatasi pandemi Virus Corona COVID-19.
Meskipun berbagi perbatasan dengan China daratan, di mana kasus pertama dilaporkan, Hong Kong tetap berhasil menurunkan jumlah penularannya dan mampu menghindari tindakan penguncian ekstrem yang diperkenalkan di beberapa bagian China, Eropa, dan AS. Demikian seperti mengutip laman BBC, Jumat (31/7/2020).
Tapi sekarang, sejumlah hal telah berubah.
Baca Juga
Advertisement
Pemerintah telah memperingatkan bahwa sistem rumah sakitnya bisa menghadapi kehancuran, dan Hong Kong kini masih terus mencatat jumlah infeksi baru hariannya.
Hong Kong memiliki kasus COVID-19 pertamanya pada akhir Januari, yang menyebabkan kekhawatiran yang meluas disertai dengan panic buying, tetapi jumlah infeksinya tetap relatif rendah dan penyebarannya berhasil dikendalikan dengan cukup cepat.
Hong Kong mengalami gelombang keduanya pada bulan Maret, setelah mahasiswa dan penduduk luar negeri mulai kembali ke wilayah itu, yang menyebabkan lonjakan infeksi impor.
Sebagai hasilnya, Hong Kong memperkenalkan kontrol perbatasan yang ketat, melarang semua warga asing memasuki perbatasannya dari luar negeri, dan semua orang yang kembali diharuskan menjalani tes COVID-19 dan karantina 14 hari.
Bahkan, pemerintah Hong Kong mewajibkan penggunaan gelang elektronik untuk melacak kedatangan baru dan memastikan mereka tetap tinggal di rumah.
Ditambah dengan meluasnya penggunaan masker dan langkah-langkah pembatasan sosial, dilaporkan dalam = berminggu-minggu bahwa Hong Kong tidak memiliki kasus yang ditularkan secara lokal, dan kehidupan tampaknya kembali normal.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini:
Waspada Gelombang Ketiga
Namun kini, galombang ketiga justru tengah mengancam negara itu.
"Ini cukup mengecewakan dan membuat frustrasi karena Hong Kong benar-benar mengendalikan banyak hal," kata Malik Peiris, Ketua Virologi di Universitas Hong Kong.
Dia percaya ada dua kelemahan dalam sistem.
Pertama, banyak orang yang kembali memilih untuk karantina selama 14 hari di rumah - pengaturan yang umum di banyak negara termasuk Inggris - daripada di kamp karantina.
"Ada kelemahan di sana karena orang lain di rumah tidak dalam bentuk pembatasan apa pun, dan masih akan datang dan pergi," kata Prof Peiris.
Namun, ia percaya masalah yang lebih serius datang dari keputusan pemerintah untuk membebaskan beberapa kelompok orang dari pengujian dan karantina ketika mereka memasuki Hong Kong.
Hong Kong telah membebaskan sekitar 200.000 orang, termasuk pelaut, awak pesawat, dan eksekutif perusahaan yang terdaftar di bursa saham, dari karantina.
Dikatakan pengecualian diperlukan untuk memastikan operasi normal sehari-hari berlanjut di Hong Kong, atau karena perjalanan mereka diperlukan untuk pembangunan ekonomi kota.
Sebagai kota internasional dan pelabuhan dagang, Hong Kong memiliki banyak jalur udara, dan banyak kapal berganti awak di sana. Wilayah ini juga tergantung pada impor dari China daratan dan di tempat lain untuk makanan dan barang-barang penting.
Joseph Tsang, seorang spesialis penyakit menular dan dokter, menggambarkan pengecualian itu sebagai "celah" yang signifikan yang meningkatkan risiko infeksi, terutama dari pelaut dan kru udara yang juga mengunjungi tempat-tempat wisata dan menggunakan transportasi umum.
Advertisement
Pembebasan Karantina Penyebabnya?
Pemerintah awalnya mengatakan bahwa pembebasan karantina tidak bisa disalahkan, tetapi kemudian mengakui ada bukti bahwa pembebasan menjadi alasan di belakang wabah terbaru.
Mereka sekarang telah memperketat aturan untuk kru udara dan laut - tetapi mungkin sulit untuk menegakkannya. Ada peringatan pada awal pekan ini ketika seorang pilot asing dilaporkan melihat jalan-jalan sambil menunggu hasil tes COVID-19.
Namun kemudian, masalah lain kembali muncul di mana serikat pekerja yang mewakili pilot di FedEx telah meminta perusahaan untuk menghentikan penerbangan ke Hong Kong karena mengatakan langkah-langkah Covid-19 yang lebih ketat, termasuk wajib tinggal di rumah sakit untuk pilot yang dites positif, dan hal tersebut menjadi "kondisi yang tidak dapat diterima untuk pilot".
Benjamin Cowling, seorang profesor epidemiologi di Universitas Hong Kong, mengatakan pengalaman Hong Kong dengan masalah karantina juga bisa terjadi di negara lain.
"Di Inggris, Anda juga diwajibkan karantina selama 14 hari di rumah, sehingga Anda memiliki potensi masalah yang sama dengan kebocoran."
Sementara itu, Selandia Baru dan Australia memiliki kebijakan karantina hotel wajib, yang merupakan "konsep yang baik ... meskipun ada masalah siapa yang akan membayarnya", tambahnya.
Seperti Hong Kong, Inggris juga membebaskan penumpang tertentu dari aturan perbatasan, termasuk pengemudi kendaraan barang, pelaut, dan awak pesawat.