Liputan6.com, Jakarta Pada 10 Maret, Matthew Facendo (60) terserang demam dan dinyatakan terinfeksi COVID-19 13 hari setelahnya. Namun, awal April ia dinyatakan bebas COVID-19 dan disebut sebagai superdonor karena memiliki antibodi tinggi.
“Setelah pengujian, saya diberi kabar luar biasa. Saya adalah seorang superdonor. Antibodi saya sangat tinggi sehingga saya jarang menjadi donor Tingkat 4. Titer antibodi saya lebih dari 10.000. Mereka mengatakan itu tidak biasa dan meminta saya terlibat dalam studi antibodi jangka panjang,” ujar Facendo kepada New York Post.
Advertisement
David Perlin, kepala petugas ilmiah di Pusat Penemuan dan Inovasi di Hackensack Meridian Health, yang mengawasi penelitian ini, mengatakan hanya sekitar 20 persen dari donor memiliki jumlah antibodi yang sangat tinggi seperti Facendo.
“Kami telah membuat profil di bawah 1.000 donor potensial penyintas COVID-19. Banyak yang menunjukkan titer antibodi dari satu hingga 100 atau satu ke 500. Itu adalah kisaran standar dan akan mewakili sekitar 75 hingga 80 persen dari populasi. Seseorang seperti Facendo akan menunjukkan setidaknya 10 kali respon antibodi,” kata Perlin.
Ia menambahkan, mereka secara khusus sedang mencari antibodi penetral yang membunuh virus atau mencegah virus menginfeksi sel tambahan.
Setelah mereka mengidentifikasi superdonor yang memiliki konsentrasi antibodi penetral yang tinggi, mereka meluncurkan penelitian untuk menganalisis imunologi subyek dan memahami berapa lama individu mempertahankan tingkat yang lebih tinggi.
Hingga kini, jumlah antibodi Facendo belum berkurang seiring waktu. Dia terakhir diuji pada 18 Juli. “Jumlah (antibodi) saya masih tinggi. Saya sudah menunggu turun, tapi belum,” katanya.
Hal ini muncul sebagai ketidakpastian atas efektivitas dan daya tahan antibodi.
Simak Video Berikut Ini:
Kekebalan Sementara
Sebuah studi terbaru dari King's College London menunjukkan bahwa kekebalan COVID-19 dapat menguap atau menghilang dalam beberapa bulan.
Meski begitu, Perlin mengatakan bahwa superdonor seperti Facendo “Ssangat menarik. Kami berusaha memahami apakah orang-orang ini terlindungi dengan lebih baik jika ada sesuatu tentang genetika mereka yang memungkinkan mereka untuk membuat lebih banyak antibodi atau jika ada sesuatu yang istimewa tentang yang mereka buat. Ada begitu banyak pertanyaan ilmiah terbuka.”
Facendo yang dijadwalkan untuk berpartisipasi hingga Desember, mengatakan dia merasa "lebih baik daripada sebelumnya."
Dia ingin tahu tentang status COVID-19 di tubuhnya dan ingin menjadi titik positif di tengah-tengah banyaknya berita COVID-19 yang mengkhawatirkan.
“Saya merasa ada beberapa hal baik yang terjadi tentang apa yang mereka temukan secara medis. Anda mendengar semua cerita buruk tentang COVID-19, tapi ada beberapa titik terang. Kami memang memiliki harapan,” ujar Facendo.
Pria asal New Jersey, AS ini kemudian mendaftar untuk menyumbangkan plasma pemulihan di Pusat Medis Universitas Hackensack, yang akan digunakan untuk membantu pasien COVID-19 lain.
“Saya hanya ingin melakukan sesuatu untuk membantu. Orang-orang merasa tidak berdaya pada saat itu,” katanya.
Advertisement