Potret Buram Pelajar di Kota Pelajar

Seorang siswa SMUN 9 Yogyakarta tewas diserang sekelompok pelajar SMU Muhammadiyah 1. Pelaku mengaku perbuatannya direstui Wakil Kepala Sekolah. Kedua tersangka utama diancam hukuman 12 tahun penjara.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Okt 2002, 09:43 WIB
Liputan6.com, Yogyakarta: Pupus sudah cita-cita Andhika Adityaputra menggapai masa depan. Hanya empat bulan bocah berperawakan kurus itu mengecap manisnya masa remaja di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Yogyakarta. Siapa nyana, tepat 21 September silam, lelaki yang tergolong ABG alias anak baru gede itu tewas diterjang paku pipih berkait bidikan pelajar SMU Muhammadiyah 1.

Kepolisian Kota Besar Yogyakarta yang menangani kasus ini menggelar reka ulang di lokasi kejadian di Jalan Kartini, 4 Oktober silam. Kilas balik tersebut menggambarkan Andhika tengah nongkrong bersama dua kawannya Gandi dan Erwin. Sekonyong-konyong segerombolan siswa SMU Muhammadiyah 1 yang mengendarai sepeda motor mendekati mereka. Kemudian, pelajar bernama Ahmad mendekati ketiganya dan merogoh ketapel dengan anak panah paku pipih berkait atau paser dari saku celananya. Panah yang dibidik ke Erwin meleset, senjata itu malah nyasar ke dada kanan Andhika.

Sambil menahan rasa sakit, korban dan dua temannya kabur dari musuh yang masih terus mengejar sambil melempari batu. Baru lari sejauh 15 meter, Andhika ambruk. Melihat korbannya tak sadarkan diri, komplotan penyerang langsung melarikan diri ke indekos seorang rekannya dan bersembunyi di sana sementara waktu. Sementara korban segera dibopong ke Rumah Sakit Panti Rapih. Andhika sempat bertahan beberapa jam sebelum mengembuskan napas terakhir, sekitar pukul 17.00 WIB.

Sepekan penyelidikan, Reserse Poltabes Yogyakarta menahan dua tersangka utama pelaku pembunuhan, Ahmad Dan Arfan. Dari kesaksian mereka, polisi juga menetapkan sembilan tersangka lain yang belum ditahan dengan alasan proses penyidikan belum rampung. Menurut Kepala Satuan Reserse Poltabes Yogyakarta Komisaris Polisi Richard M. Nainggolan, jumlah itu kemungkinan bisa bertambah.

Ahmad dan Arfan, tersangka utama, menuturkan penyerangan itu dilakukan karena geram mendengar kabar seorang rekannya terluka saat bentrok dengan siswa SMUN 9. Informasi yang diterima sehari sebelum penyerangan itu dilaporkan kepada gurunya. Anehnya, mereka mengaku nekat berbuat karena Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan merestui."Teman saya yang minta izin. Katanya jaman sekarang boleh balas dendam," kata Ahmad yang kini mendekam bersama Arfan di Ruang Tahanan Anak Poltabes. Kuasa Hukum tersangka Cucuk Hariyadi berpendapat, pengakuan kliennya itu bisa dijadikan dasar penyelidikan.

Ahmad menambahkan, sebenarnya sasaran bukanlah Andhika serta kedua temannya melainkan gedung SMUN 9. Tapi, karena ketiga "anak sekolahan" itu terlihat di Jalan Kartini, tak jauh dari bangunan yang menjadi target, mereka pun mengganyangnya. Kedua tersangka semula menyembunyikan nama-nama rekannya yang terlibat penyerangan. "Saya melihat yang ikut melempar batu, tapi nggak bisa jelasin siapa," kata Arfan.

Tak pelak, kematian Andhika memukul batin orang tuanya, Hartono dan Dyah Tati Isdarwati. Hartono mengungkapkan, Adhika diharapkan bisa menggantikan peran kakaknya yang meninggal 14 tahun silam. "Harapan kami dia bisa menggantikan papanya untuk mengantar sekolah dan pengayom adiknya. Tapi Tuhan mengatakan lain. itulah yang sangat berat bagi saya," ujar sang ayah.

Sang ibu yang masih dirundung duka juga sangat kehilangan putranya. "Pantesan seminggu sebelumnya dia lebih penurut dari biasanya," tutur wanita itu. Wafatnya Andhika menambah kedukaan keluarga tersebut sepeninggal anak pertama mereka Eka Kurnia Putera akibat penyakit demam berdarah. Kini, satu-satunya buah hati yang tinggal hanyalah Intan Rahmawati Puteri.

Di kalangan teman dan guru, Andhika yang gemar bermain gitar dikenal sebagai anak baik dan pendiam. Mujimin, sang guru, menegaskan citra itu. "Dia nggak suka bolos, rajin, dan tak banyak ulah," kata Mujimin. Sifat khas Andhika juga dikenang sobatnya Gandi dan Erwin. "Andhika itu baik dan ramah. Pendiam gitu deh," kata Gandi.

Dengan tegar orang tua Andhika mengaku tak dendam. Mereka cuma minta para pelaku ditindak sesuai hukum yang berlaku. "Kalau sakit hati, ya sakit Pak, Saya cuma heran kok tega-teganya manusia membunuh sesama," tutur sang bapak. "Tapi kami tetap menuntut keadilan" tegasnya.

Karena perbuatannya telah menghilangkan nyawa orang lain, kedua tersangka bakal dijerat Pasal 170 Ayat 2 dan 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pengeroyokan serta Undang-undang tentang Peradilan Anak. "Mereka terancam hukuman penjara 12 tahun," kata Kasatserse Poltabes Yogyakarta. Tak tertutup kemungkinan, ganjaran itu diperingan mengingat kedua tersangka masih di bawah umur. Pengacara tersangka Cucuk Hariyadi optimistis pembelaan terhadap kliennya berhasil. "Sebab, niat adik-adik itu bukan seperti yang disangkakan polisi," kata dia.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Heru Nugroho memaparkan, tawuran antarpelajar di Kota Pelajar itu bukan hal baru. Fenomena tersebut telah muncul sejak 1980. "Tapi, tak seganas sekarang dan tak memakai senjata," kata dia. Perubahan ini menurut Heru bukan disebabkan degradasi moral melainkan akibat pengaruh globalisasi dan media yang bebas mempublikasikan berbagai informasi. Untuk menyelesaikan masalah sosial tersebut, Heru mengusulkan pendidikan etika pergaulan bagi pelajar. Juga hukuman tegas buat pelaku agar jera.

Perkelahian di kalangan kaum terdidik sulit diterima akal sehat. Bagaimana mungkin kaum terpelajar menggunakan cara-cara kekerasan layaknya preman. Entah apa yang salah, keluarga yang kurang perhatiankah? Pergaulan yang tak sehatkah? Atau bingkai kusam sistem pendidikan Tanah Air?(MTA/Tim Derap Hukum)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya