Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengatakan bahwa angka stunting di Indonesia mulai turun. Merujuk Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), angkanya yang semula 37 persen (2013) turun menjadi 30,8 persen (2018).
Ini sejalan dengan survei status gizi balita Indonesia (SSGBI) 2019 yang menemukan stunting sebesar 27,7 persen.
Meski demikian, Indonesia masih belum bisa bernapas lega lantaran tiga dari sepuluh balita Indonesia mengalami stunting.
Hal ini dipaparkan Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Drg Marlini dalam webinar 'Peran Komunikasi Perubahan Perilaku dalam Pencegahan Stunting' belum lama ini.
Menurut Marlini, kesadaran masyarakat akan bahaya stunting harus dibangun sehingga mereka dapat mengubah perilakunya sehingga si Kecil terhindar dari stunting.
"Namun, akses informasi masyarakat masih belum banyak," katanya.
Baca Juga
Advertisement
Komunikasi perubahan perilaku, lanjut Marlini, masuk ke dalam lima pilar percepatan pencegahan stunting. Oleh sebab itu, Kemenkes tidak dapat berjalan sendiri dalam menangani permasalahan ini.
"Selain Kementerian Kesehatan, juga dilakukan bersama dengan Kementerian Informasi," ujarnya.
Lebih lanjut, Marlini mengatakan bahwa diperlukan strategi nasional dan bermuatan lokal agar hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan stunting pada anak dapat diterima seluruh masyarakat Indonesia yang beragam.
Itu mengapa penting mempunyai petugas kesehatan atau kader yang bertugas menyampaikan kampanye perubahan perilaku memiliki kapasitas menyampaikan informasi yang baik.
"Diharapkan para kader ini memahami masyarakat, sejauh mana mereka belum melakukan perilaku yang diharapkan. Jadi, tidak sekadar menyampaikan," katanya.
Poin lainnya adalah advokasi yang menurut Marlini harus dilakukan jangka panjang atau berkelanjutan. "Dimulai dari masa remaja, persiapan perkawinan, sampai sebelum kehamilan," katanya.
Simak Video Menarik Berikut Ini
Perangi Stunting di Indonesia
Pada kesempatan itu, Senior Technical and Liasion Adviser Early Childhood Education and Development Tanoto Foundation, Widodo Suhartoyo menambahkan bahwa perubahan perilaku menjadi hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan stunting.
Sebab, kata Widodo, 70 persen penyebab stunting berasal dari hal-hal di luar kesehatan gizi, seperti sanitasi, lingkungan, perilaku. Secara spesifik, 30 permasalahan stunting disebabkan perilaku yang salah.
Sebagai lembaga filantropi independen yang bergerak di bidang pendidikan, Tanoto Foundation memiliki misi agar semua anak mampu mencapai potensi belajar yang maksimal, sesuai tahap perkembangannya, dan siap sekolah. Ini meliputi pengurangan stunting, peningkatan kualitas pengasuhan anak usia nol sampai tiga tahun, serta peningkatan akses dan kualitas layanan pengembangan anak usia dini. Semua pelayanan ini disalurkan melalui lingkungan belajar di rumah, pusat layanan anak usia dini (misalnya Posyandu dan PAUD), serta komunitas desa dan pemerintah desa.
Menurut Widodo, perilaku masyarakat yang bisa memicu terjadinya stunting di antaranya perilaku yang kurang baik dalam pola hidup, pola makan, dan pola pengasuhan anak.
“Orang tua yang pendek tidak otomatis akan memiliki anak pendek. Anak bisa menjadi pendek karena orang tua menerapkan pola asuh dan pola makan seperti yang diterimanya dulu. Lingkaran ini harus diputus,” katanya.
Sejauh ini, Tanoto Foundation memiliki program intervensi stunting di Riau (Rokan Hulu), Sumatera Barat (Pasaman dan Pasaman Barat), Banten (Pandeglang), Jawa Barat (Garut), Kalimantan Selatan (Hulu Sungai Utara), Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara), NTB (Lompok Utara dan Lombok Barat), NTT (Alor, Simot Tengah Selatan), Sulawesi Barat (Majene), dan Maluku (Seram Barat).
Widodo menjelaskan, tidak semua wilayah menerima program yang sama. Misalnya di 6 wilayah (Pasaman Barat, Garut, Hulu Sungai Utara, Majene, Seram Barat, dan Alor), Tanoto Foundation bekerja sama dengan Alive&Thrive untuk melakukan studi, lalu membuat semacam prototipe untuk melakukan perubahan perilaku di area-area tersebut.
“Misalnya di Hulu sungai Utara, daerah yang sangat kaya akan ikan. Namun anak-anak di sana tidak banyak makan ikan; ikan lebih banyak dijual keluar. Setelah diteliti, ikan biasanya hanya dibakar atau digoreng. Maka salah satu rekomendasinya, membuat resep masakan ikan sehingga anak-anak tidak bosan makan ikan,” Widodo memaparkan.
Kerjasama dengan SMERU di Kutai Kartanegara dan Pandeglang melakukan semacam nutrition mapping. Dengan cara ini, angka stunting bisa diketahui sampai tingkat kecamatan. Akan terlihat daerah mana yang paling tinggi stunting, sehingga bisa dilakukan intervensi yang tepat sasaran. Adapun Program SIGAP (Siapkan Generasi Anak Berprestasi) akan diimplementasikan di Pandeglang dan Kutai Kartanegara.
Dalam menjalankan program terkait pengentasan stunting, Tanoto Foundation bekerja sama dengan Yayasan Smeru dan Yayasan Cipta, untuk bekerja sama dengan perangkat pemerintahan. Antara lain TNP2K, Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementrian Desa, dan Kementrian Dalam Negeri.
Advertisement