Liputan6.com, Jakarta - Setelah Huawei, TikTok kini menjadi 'korban' berikutnya dari ketegangan antara 2 negara besar dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan China.
Seminggu belakangan ini, Presiden AS Donald Trump gencar menyerukan pelarangan TikTok, dengan dalih platform video pendek populer itu adalah milik ByteDance, perusahaan teknologi terkemuka yang berbasis di Beijing.
Advertisement
Karena dimiliki perusahaan China, anggota parlemen AS dan anggota administrasi Trump menilai, aplikasi video pendek itu bisa mengancam keamanan nasional negaranya.
Tak main-main, Trump bahkan memberikan batas waktu untuk memblokir TikTok pada 15 September 2020. Langkah itu bisa batal, kecuali platform yang sedang digandrungi ini dijual ke perusahaan AS.
"Tiktok akan ditutup pada 15 September, kecuali Microsoft atau perusahaan lain membelinya dan mencapai kesepakatan," kata Trump, sebagaimana dikutip dari AFP, Selasa (4/8/2020).
Demi memuluskan bisnis TikTok di Negeri Paman Sam, ByteDance bernegosiasi dengan sejumlah investor asal AS. Microsoft muncul dan mengumumkan jika tertarik untuk membeli TikTok.
Dalam pernyataannya, Microsoft menuturkan ingin menyelesaikan kesepakatan paling lambat 15 September. "Selama proses ini, Microsoft berharap untuk melanjutkan dialog dengan pemerintah AS, termasuk dengan Donald Trump," kata Microsoft dalam pernyataannya.
Trump berujar dirinya akan menyetujui kesepakatan penjualan TikTok ke Microsoft, dan mengharapkan pembayaran (merujuk pajak yang dibayarkan pada akuisisi) ke Departemen Keuangan AS sebagai bagian dari kesepakatan.
Padahal, sebelumnya Trump mengatakan pada Jumat (31/7/2020), bahwa dia tidak menyetujui kesepakatan semacam itu dan tetap ingin melarang TikTok.
Entah kenapa, sikapnya melunak setelah berbicara dengan anggota parlemen dari Republik dan CEO Microsoft Satya Nadella, demikian menurut laporan The New York Times.
Menurut seorang sumber yang mengetahui masalah ini, Trump mengubah keputusannya setelah ada tekanan dari beberapa penasihat dan anggota Republik.
Memblokir TikTok disebut dapat mengurangi dukungan dari pengguna muda menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) AS pada November mendatang. Selain itu, juga ada kemungkinan memicu gelombang tantangan hukum.
Negosiasi antara ByteDance dan Microsoft akan diawasi oleh Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS). Ini adalah panel pemerintah AS yang memiliki hak memblokir perjanjian apa pun.
Di bawah kesepakatan yang diusulkan, Microsoft mengatakan akan mengambil alih operasi TikTok di AS, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Perusahaan memastikan semua data pribadi pengguna AS ditransfer ke dan tetap di AS.
Microsoft dapat mengajak investor AS lain untuk mengakuisisi saham minoritas di TikTok. Namun sejauh ini belum diketahui jumlah dana yang akan dikeluarkan Microsoft untuk membeli TikTok. Reuters pada pekan lalu melaporkan bahwa ekspektasi valuasi ByteDance lebih dari USD 50 miliar.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Awal Tudingan
Terkait isu pemblokiran TikTok, pemerintah AS menuduh TikTok memanen data jutaan pengguna. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, bahkan melarang warga Amerika menggunakan TikTok kecuali mereka menginginkan datanya 'ada di tangan Partai Komunis Tiongkok'.
Isu keamanan mencuat setelah perusahaan keamanan siber Check Point menerbitkan penelitian yang menemukan kerentanan keamanan TikTok, di mana akan membuka data pengguna dan juga rentan terhadap serangan hacker.
Mengutip laman Fortune, TikTok kemudian mengetahui penelitian tersebut pada November 2019, dan mengatakan telah memperbaiki kerentanan pada 15 Desember 2019.
Para pejabat dan aktivis juga mengkritik TikTok karena diduga menyensor konten yang dianggap sensitif atau kontroversial secara politik di China, termasuk video yang berkaitan dengan Tibet, Taiwan, dan protes Lapangan Tiananmen 1989. Namun, TikTok membantah tuduhan sensor tersebut.
"Meskipun ByteDance mengklaim bahwa operasi TikTok terpisah dari Douyin (TikTok versi China), beberapa insiden baru-baru ini tampaknya menunjukkan bahwa mereka masih di bawah tekanan sensor China," kata Yun Jiang, Peneliti Australian Center on China in the World dari Australian National University.
TikTok juga diduga mencatat lokasi pengguna, alamat internet, dan riwayat penelusuran. Juga dapat menyimpan nomor telepon, usia, dan informasi pembayaran.
Terkait hal ini TikTok mengatakan kepada Wall Street Journal bahwa mereka mengumpulkan lebih sedikit data pribadi daripada perusahaan AS, seperti Facebook atau Google.
“TikTok, seperti semua perusahaan media sosial, mengumpulkan data pengguna. Ada kekhawatiran karena dimiliki oleh perusahaan China, TikTok akan sulit menolak permintaan informasi dari pemerintah China," kata Jiang.
Kekhawatiran seperti itu, kata Jiang, serupa dengan Huawei dalam beberapa bulan terakhir. Sejumlah negara di luar AS bahkan telah melarang peralatan jaringan 5G Huawei, salah satunya Inggris.
Operator seluler di Inggris diminta untuk mencopot seluruh peralatan telekomunikasi 5G Huawei dari jaringannya, maksimal per 2027.
Advertisement
Benarkah Tiktok Panen Data dari AS?
Karena dimiliki oleh perusahaan China, anggota parlemen AS dan anggota administrasi Trump mengatakan aplikasi video pendek itu menimbulkan ancaman keamanan nasional. Benarkah demikian?
Pakar Kemanan Siber Pratama Pershada mengatakan tuduhan AS terhadap TikTok memang cukup serius, tidak hanya sebatas collecting data di aplikasinya, tetapi juga dicurigai ada aliran data pengguna ke China.
Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) yang dinakhodai Pratama kemudian melakukan riset dan analisis terhadap aplikasi Tiktok.
Dari hasil analisis CISSReC, aliran data TikTok secara umum tidak ada yang mencurigakan. Bahkan saat dites dengan malware analysis yang menggunakan sampel dari 58 vendor antivirus, malware juga tidak ditemukan.
“Saat kami coba cek dengan malware analysis, tidak ada aktivitas mencurigakan saat menginstal TikTok, dan juga tidak ada malware yang bersembunyi," kata Pratama kepada Tekno Liputan6.com, Rabu (5/8/2020).
Bila memang mengandung malware, pria asal Cepu, Jawa Tengah ini menilai sebenarnya bukan hanya AS yang akan melarang TikTok, tapi Google akan menghapus TikTok dari Play Store mereka. Tapi hal ini juga tidak dilakukan Google.
"Yang paling masuk akal dilakukan adalah para pejabat penting dan lingkarannya jangan bermain TikTok bila memang merasa khawatir. Jika masyarakat mau memakai tidak ada masalah. Namun bila ada kebutuhan para pejabat serta politisi untuk branding diri atau lembaga, sebaiknya menggunakan gawai yang berbeda dari gawai yang sehari-hari digunakan,” jelas Pratama.
Ia menuturkan, TikTok seperti platform internet lainnya tetap menyimpan dan mengolah data pengguna. Hal inilah yang dicurigai oleh AS dan Eropa, kekhawatiran data pengguna serta aplikasi TikTok digunakan untuk mata-mata.
"Tetapi kalau dulu kita ingat soal aplikasi gim Pokemon Go, ternyata tuduhannya sebagai aplikasi mata-mata juga tidak terbukti. Malah isu-isu besar seperti ini sebenarnya mungkin dimanfaatkan menjadi sarana promosi gratis aplikasi-aplikasi tersebut," ujarnya.
Ia menilai, layanan Facebook, Google, Instagram dan semacamnya juga melakukan berbagai pengumpulan data. Misalnya dalam kasus Cambridge Analytica, data pengguna Facebook dioptimasi untuk membuat Donald Trump dan kubu Brexit di Inggris menang dalam pemilihan.
Pratama menyarankan untuk mengatur pengamanan pengaturan privasi pengguna di masing-masing gawai lewat permission di tiap aplikasi.
Permission adalah permintaan dari aplikasi untuk kebutuhan aplikasi, yang muncul dengan sederet keterangan, meminta akses kamera, mikropon, telepon, lokasi, dan lainnya.
Cara menyeting pengaturan untuk permission pada aplikasi TikTok yang juga bisa digunakan untuk aplikasi lainnya adalah dengan cara pilih Setting di smartphone > Apps > Pilih TikTok > App Permissions.
Lalu, lihat bagian yang diakses untuk kamera, kontak, lokasi, ruang penyimpanan, dan lainnya. Kita bisa menggesernya untuk menonaktifkan izin aplikasi dan mengubah akses perangkat.
TikTok Tepis Tudingan AS
Sementara itu, TikTok menyangkal mengirimkan data yang dikumpulkan pengguna ke pemerintah China. Belum lama ini, CEO TikTok Kevin Mayer mengatakan, pihaknya tidak berpolitik, juga tidak menerima iklan politik dan tak memiliki agenda tertentu.
"Satu-satunya tujuan kami adalah untuk tetap menjadi platform yang dinamis dan dihargai oleh semua orang," ujar Mayer, sebagaimana dilansir Washington Post.
Ia menuturkan perusahaan China adalah korban dari meningkatnya ketegangan antara AS dan Cina.
“Seluruh industri diteliti, dengan alasan apapun. Karena TikTok adalah perusahaan asal China, kami diteliti lebih dalam. Kami menerimanya dan bangkit menghadapi tantangan ini,” katanya menambahkan.
Mayer juga memastikan bahwa TikTok berkomitmen untuk jadi tempat yang aman bagi jutaan remaja Amerika.
TikTok, ia melanjutkan, juga terus memperbaiki diri dan mengambil langkah yang diperlukan agar bisa diterima di AS.
"TikTok menjadi target terbesar, tetapi kami bukanlah musuh. TikTok mengambil langkah besar untuk mendorong percakapan yang lebih dalam, algoritma transparan, serta moderasi konten untuk mematuhi aturan," ucapnya.
Mayer menegaskan, TikTok berkomitmen untuk mengikuti aturan hukum di AS. Agar diterima di sana, TikTok juga menghadirkan pusat data serta moderasi yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Para ahli bisa mengawasi kebijakan moderasi kami dan mengawasi kode-kode yang menjalankan algoritma kami," tuturnya.
TikTok juga berkomitmen membantu para kreator di AS dengan mengalokasikan USD 200 juta untuk Creator Fund. Dalam tiga tahun ke depan dana ini juga ditargetkan akan meningkat hingga USD 1 miliar.
Di AS sendiri, TikTok menyebut pihaknya telah menciptakan 10.000 lapangan pekerjaan. TikTok juga mengklaim telah mengantongi 100 juta pengguna AS dan berencana untuk terus melakukan bisnis di AS.
Advertisement
Komentar Pemerintah Tiongkok
Terkait isu pelarangan TikTok di AS, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Zhao Lijian, mengatakan bahwa beberapa orang di AS harus berhenti menggunakan kekuatan negara untuk menindas perusahaan China.
"Pemerintah Tiongkok selalu meminta perusahaan China untuk mematuhi hukum dan peraturan ketika melakukan bisnis di luar negeri," kata Zhao.
"Jika kita mengikuti logika pihak AS, dapatkah kita mengatakan bahwa perusahaan media sosial Amerika, dengan sejumlah besar pengguna secara global, menimbulkan ancaman keamanan besar bagi semua negara lain di dunia?," sambungnya.
Sementara juru bicara TikTok mengatakan layanannya tidak tersedia untuk diunduh di daratan China, di mana ByteDance telah mengoperasikan aplikasi TikTok versi China bernama Douyin.
"TikTok dipimpin oleh CEO asal AS, dengan ratusan karyawan dan pemimpin utama di bidang keselamatan, keamanan, produk, dan kebijakan publik di AS," kata juru bicara perusahaan itu kepada Bloomberg.
Ia menegaskan perusahaan tidak pernah memberikan data pengguna kepada pemerintah Tiongkok, dan juga tidak akan melakukannya jika diminta.
AS Bukan yang Pertama Larang Tiktok
Sejatinya, AS bukan negara pertama yang melarang Tiktok. Pada akhir Juni, India mengungkap kekhawatiran keamanan data dan memutuskan untuk melarang 59 aplikasi seluler China, termasuk platform video populer TikTok.
Larangan muncul, usai pada pertengahan Juni lalu, pasukan militer China dan India terlibat dalam bentrok mematikan atas wilayah yang disengketakan yang mengakibatkan kematian 20 tentara India dan jumlah korban Tiongkok yang dirahasiakan.
Sejak itu, para pejabat di AS dan Australia telah menyerukan larangan aplikasi atas kekhawatiran bahwa pemerintah China dapat mengakses data pengguna TikTok, karena aplikasi tersebut dimiliki perusahaan teknologi yang berbasis di Beijing ByteDance Ltd, seperti mengutip laman Fortune, Selasa (4/8/2020).
Sebelum larangan pemerintah berlaku, India adalah pasar terbesar bagi TikTok dengan 81 juta pengguna aktif bulanan (MAU). Hilangnya pasar AS dan 30 juta MAU akan membuktikan pukulan besar lainnya.
TikTok sejauh ini merupakan salah satu ekspor Internet paling sukses di China. Namun, kehadiran globalnya yang terkemuka telah menjadikannya sebagai momok bagi kewaspadaan pemerintah China dan kondisi panas geopolitik.
Akibat hal tersebut, TikTok berusaha menjauhkan diri dari embel-embel pengaruh pemerintah China. Akan tetapi, kecurigaan global terhadap Big Tech pada umumnya dan pengaruh pemerintah China menjadi masalah tertentu untuk aplikasi tersebut.