Liputan6.com, Jakarta - Fenomena calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia sudah bukan hal baru. Sejak tahun 2015, sudah ada 28 kandidat yang menjadi calon tunggal di Pilkada.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, fenomena ini muncul karena di sebagian daerah memang tidak ada kandidat yang berani dan mampu memenuhi syarat pencalonan. Beratnya persyaratan pencalonan menjadi pemicu kehadiran calon tunggal.
Advertisement
"Berat dan mahalnya syarat untuk menjadi calon perseorangan menjadi salah satu pemicu kehadiran calon tunggal. Ketentuan syarat dukungan kursi DPRD 20 persen atau 25 persen pemilu DPRD," katanya dalam diskusi 'Pilkada, Antara Dinasti dan Calon Tunggal' yang diselenggarakan Perludem, Selasa (4/8/2020).
Saat ini, fenomena calon tunggal sudah bertransformasi sebagai strategi baru untuk memenangkan Pilkada. Cara memenangkannya, tentu dengan menghambat kehadiran pasangan calon lainnya. Calon tunggal dinilai bisa mengatasi kebuntuan politik.
"Calon tunggal bertransformasi dari upaya mengatasi kebuntuan politik menjadi cara memastikan kemenangan lebih awal, menghindari kompetisi tanpa kehadiran calon lain," ujar Titi
Dari sisi persyaratan pencalonan, Titi menilai harus ada improvisasi. Ada tiga hal terkait persyaratan pencalonan yang menurutnya harus diubah.
Pertama, syarat untuk maju sebagai calon independen harus dipermudah, namun mereka harus dikenakan deposit sejumlah uang sebagai syarat. Ini bisa memitigasi praktek korupsi. Selain itu bisa menjadi ukuran kemampuan finansial para calon.
"Syarat untuk maju sebagai calon independen harus dipermudah namun harus dikenakan deposit sebagai syarat. Ini sudah dilakukan di beberapa negara di dunia," terangnya.
Selanjutnya, kader partai yang maju harus menjadi anggota partai minimal 3 tahun sebelum pencalonan. Termasuk juga Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TNI/Polri wajib mundur 3 tahun sebelum pencalonan Pilkada.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Upaya Atasi Calon Tunggal
Sebenarnya telah ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi fenomena calon tunggal ini.
Hal pertama yang harus dilakukan, menurut Titi, adalah pembenahan regulasi. Adanya calon tunggal berawal dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XVIII/2015, yang dikeluarkan pada September 2015. Putusan MK itu diimplementasikan di dalam Pasal 54 C Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
"Rata-rata calon tunggal kepala daerah adalah dari pasangan calon petahana. Adanya calon tunggal itu sendiri karena adanya putusan MK untuk mengatasi kebuntuan politik akibat manuver politik yang dilakukan penantang yang dengan sengaja tidak mengusung calon agar Pilkada ditunda dan petahana tidak lagi menjabat," ungkapnya.
Cara lain untuk meredam munculnya calon tunggal bisa melalui demokratisasi kelembagaan partai politiknya. Selain itu menurut Titi, bisa juga dengan penegakan hukum yang efektif.
Pemerintah, penyelenggara Pilkada maupun gerakan masyarakat sipil lainnya juga harus bisa membangun kesadaran masyarakat soal pentingnya memahami Pilkada, termasuk soal calon tunggal.
"Cara ketiga bisa dengan penegakan hukum yang efektif, lagi-lagi ini yang bikin frustasi ya. Lalu cara keempat yaitu membangun kesadaran masyarakat melalui pemerintah, penyelenggara dan gerakan masyarakat sipil," ujar Titi.
Titi mengusulkan beberapa kebijakan yang harus diberlakukan oleh penyelenggara Pilkada. Yang pertama yaitu penghapusan ambang batas pencalonan sebagai konsekuensi keserentakan Pemilu Legislatif dan kepala daerah dengan sistem satu putaran atau pluralitas.
Selanjutnya, Titi juga menyarankan penyerahan visi, misi, dan program kandidat bukan hanya sebuah formalitas saja. Harus ada peran ahli untuk membedah visi dan misi.
Harus dipastikan visi dan misi yang dibuat sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Jangka Pendek (RPJP).
"Visi dan misi itu dokumen dinamis. Bukan dokumen statis untuk merefleksikan interaksi calon dengan pemilih. Selain itu debat kandidat harus optimal dalam membedah visi, misi, dan program. bukan hanya seremonial saja," ujarnya
Terakhir, Titi menyarankan pembelanjaan atribut kampanye harus dibatasi. Bahkan harus ada pengaturan akuntabilitas dana kampanye.
Advertisement
Aturan Calon Tunggal
Adapun Isi Pasal 54 C Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, yang mengatur calon tunggal
Pasal 54 C ayat (1)
Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi:
a. setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat;
b. terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon;
c. sejak penetapan pasangan calon sampai dengan saat dimulainya masa Kampanye terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon;
d. sejak dimulainya masa Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon; atau
e. terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.
Pasal 54 C ayat (2)
Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.
Pasal 54 C ayat (3)
Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.
Reporter: Rifa Yusya Adilah
Sumber: Merdeka