Pelemahan Sektor Transportasi Paling Dalam, Minus 30,48 Persen

Terdapat 5 sektor yang mempengaruhi struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia.

oleh Athika Rahma diperbarui 05 Agu 2020, 12:26 WIB
Penumpang beraktivitas di area Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Jumat (24/7/2020). Senior Manager Branch Communication and Legal Bandara Soetta Febri Toga Simatupang mengatakan di bulan Juli, jumlah pergerakan penumpang rata-rata per hari mencapai 30.000 orang. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen. Angka ini lebih dalam dibanding perkiraan pemerintah yang ada di kisaran minus 4 persen.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, menurut lapangan usaha, sektor transportasi dan pergudangan mengalami kontraksi paling dalam yaitu minus 30,48 persen.

"Di sana bisa dilihat bahwa kontraksi paling dalam terjadi di sektor transportasi dan pergudangan, dimana terjadi kontraksi 30,48 persen," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (5/8/2020).

Karena mengalami kontraksi yang cukup dalam, sumbangan sektor transportasi dan pergudangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun menjadi 3,57 persen (kuartal II 2020) dari 5,57 persen (kuartal II 2019).

Suhariyanto menjelaskan, dari 17 sektor, hanya ada 7 sektor yang masih tumbuh meskipun melambat, kecuali untuk sektor Informasi dan Komunikasi (Infokom).

Pada masa pandemi ini, sektor Infokom tumbuh signifikan sebesar 10,88 persen. Ini terjadi karena selama pandemi terjadi peningkatan belanja iklan televisi dan media digital, peningkatan trafik data penggunaan internet dan peningkatan jumlah pelanggan penyedia jasa internet.

Lanjut Suhariyanto, terdapat 5 sektor yang mempengaruhi struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu sektor perdagangan yang mengalami minus 7,57 persen, sektor industri yang minus 6,19 persen, sektor konsumsi minus 5,39 persen, dan sektor pertambangan minus 2,72 persen.

"Sementara, hanya 1 yang tumbuh positif yaitu sektor pertanian (tumbuh 2,19 persen), sementara 4 sektor besar lainnya negatif," jelasnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Pertumbuhan Ekonomi Minus 5,32 Persen di Kuartal II-2020, Indonesia di Ambang Resesi

Suasana gedung-gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta, Selasa (30/7/2019). Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama dengan pemerintah menyetujui target pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran angka 5,2% pada 2019 atau melesat dari target awal 5,3%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen, di kuartal II 2020 secara tahunan (year on year). Angka ini di atas  atau lebih besar dari prediksi sebelumnya.

Sebelumnya, pemerintah memproyeksi ekonomi Indonesia akan terkontraksi di angka -4,3 persen. Hal ini diungkapkan Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, ekonomi Indonesia juga terkontraksi secara quartal to quartal (q to q) yang sebelumnya 2,97 persen (kuartal I 2020). Pertumbuhan ekonomi di kuartal II minus 4,19 persen.

"Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I 2020 dibandingkan semester I 2019 terkontraksi 1,29 persen," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Rabu (5/8/2020).

Dia menjelaskan, pandemi Corona yang melanda Indonesia sejak awal tahun menjadi penyebab utama penurunan pertumbuhan ekonomi ini.

Pandemi Covid-19 telah menciptakan efek domino dari masalah sosial dan ekonomi, dan dampaknya menghantam seluruh lapisan masyarakat mulai dari rumah tangga, UMKM hingga korporasi.

Harga komoditas migas dan hasil tambang di pasar internasional pada kuartal II 2020 secara umum mengalami penurunan baik q to q maupun yoy.

Sementara harga komoditas makanan seperti gandum, minyak kelapa sawit dan kedelai mengalami penurunan q to q, tetapi meningkat secara yoy.

"Di satu sisi negara mengutamakan kesehatan dengan menerapkan lockdown, PSBB dan lainnya, di sisi lain pemerintah juga berupaya agar tingkat ekonomi berjalan. Dan untuk menyeimbangkannya bukan persoalan gampang. Dan bisa dilihat, banyak negara yang mengalami kontraksi," kata Suhariyanto.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya