Pertumbuhan Ekonomi Negatif dan Ancaman Resesi Bayangi RI, Apa yang Harus Dilakukan?

Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi menukik semakin kritis pada level minus 5,32 persen pada kuartal II 2020.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 06 Agu 2020, 09:00 WIB
(Foto:@Pelindo III)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi menukik semakin kritis pada level minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Ini jelas merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari.

Pemerintah dan Tim Ekonomi tidak bisa dituntut lebih jauh untuk mempertahankan pertumbuhan positif dalam keadaan pandemi sekarang ini. Tetapi yang harus dituntut oleh publik kepada pemerintah adalah respon kebijakan apa, yang harus dilakukan menghadapi kenyataan seperti ini?

Menurut Ekonom Senior sekaligus Pendiri Indef, Didik J Rachbini, pertama, krisis ini pada dasarnya adalah masalah yang cukup berat sekaligus peluang yang luar biasa bagi yang berdaya pikir dalam dan panjang ke depan.

Yang harus dikritisi pada saat ini, masalahnya tidak dapat dihindari oleh pemerintah, tetapi peluangnya dibiarkan begitu saja dan tidak dikembangkan karena respons kebijakan tidak memadai.

Sektor transportasi, jasa pergudangan, akomodasi dan makanan minuman dan jasa-jasa laiannya terkena dampak paling parah sehingga tumbuh minus antara -15 persen sampai 22 persen. Tetapi peluang pada sektor lainnya dibiarkan tidak berkembang, seperti sektor informasi dan komunikasi hanya tumbuh 3,44 persen.

"Padahal peluang pertumbuhan sektor ini luar biasa besar karena hampir keseluruhan yang tidak bisa dilakukan dengan transportasi mestinya bisa digantikan oleh sektor informasi dan komunikasi," kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (6/8/2020).

Kedua, peluang seperti ini hilang karena kebijakan diam di tempat dan tidak muncul inovasi dari dalam yang memberi jalan dan peluang agar sektor informasi dan komunikasi tumbuh pesat.

Beberapa perusahaan informasi dan komunikasi saya amati mendapat rejeki luar biasa dengan pandemi ini karena transportasi mandeg, teknologi IT sebagai gantinya. Jadi wajar jika perusahaan IT bisa tumbuh sampai tiga ratus persen.

"Tetapi mengapa sektor ini secara keseluruhan hanya tumbuh 3,44 persen? Jawabnya karena miskin ide dan inovasi, tuna kebijakan. Coba aktifkan palapa ring secara maksimal dan tiang-tiang listrik berikan gratis untuk sementara kepada telkom dan telkomsel serta perusahaan swasta agar segera mengembangkan jaringan di seluruh penjuru negeri," jelas dia.

Jika hal sederhana ini bisa dilakukan, lanjut Didik, maka sektor infokom akan berkembang pesat. Karena tuna kebijakanmaka sektor ini tumbuh sangat rendah, tumbuh seadanya seperti sekarang karena tidak punya daya pikir dalam.

Sebagai catatan, tingkat elektrifikasi kita sudah di atas 90 persen, yang siap menjadi penopang sektor infokom. Jika saran kebijakan ini juga tidak laku, maka saya pastikan ada penyakit bebal kebijakan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Peluang yang Bisa Dimanfaatkan

Aktivitas bongkar muat kontainer di dermaga ekspor impor Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (5/8/2020). Menurut BPS, pandemi COVID-19 mengkibatkan impor barang dan jasa kontraksi -16,96 persen merosot dari kuartal II/2019 yang terkontraksi -6,84 persen yoy. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Ketiga, kata Didik, krisis ini sesungguhnya adalah peluang bagi 'sektor drakula' penghisap devisa, yaitu sektor kesehatan. Kebutuhan sektor kesehatan hampir mutlak didatangkan dari luar negeri, sektor pengimpor mutlak dari negara lain, yang juga ditingkahi setan monopoli dan rente yang luar biasa besar.

Sektor ini adalah sektor neraka bagi ekonomi karena menghisap devisa, melemahkan rupiah, menggerus perolehan ekspor, dan memelihara hutan rente ekonomi, yang menyakitkan. Krisis ini adalah peluang untuk merontokkan drakula dan setan rente tersebut, yang menyebabkan biaya kesehatan dan harga obat mahal.

Keempat, selain sektor kesehatan peluang krisis ini ada pada sektor pendidikan. Saya sebagai guru hampir tidak pernah mendapat hambatan dalam mengajar, menguji, dan praktek-terutama untuk jurusan ilmu-ilmu humaniora.

Kuncinya adalah mekanisme pendidikan normal baru secara daring. Tetapi pendidikan di kota dan Jakarta berbeda dengan pendidikan di desa dan luar jawa, yang macet karena tidak ada jaringan internet. Jaringan internet tidak ada karena pemerintah kurang daya pikir – padahal di sini peluang itu ada.

"Kelima, revolusi tiang listrik. Seperti saya kritik di atas tadi dimana pertumbuhan sektor infokom lembek karena daya pikir kebijakan lemah dan lamban. Saya memberikan saran revolusi daritiang listrik, yang dirancang murah. Pemerintah meminta kepada seluruh perusahaan IT penyedia layanan untuk masuk ke seluruh daerah dengan kabel fiber optiknya melalui jaringan tiang listrik," ungkap Didik.

Tiang-tiang listrik tersebut, tutur dia, sebenarnya sudah masuk ke seluruh pelosok negeri, tingkat elektrifikasi di atas 90 persen. Sistem palapa ring harus dipakai untuk mendukungnya.

Tiang listrik tersebut bisa diberikan secara gratis, atau diskon, atau disubsidi pemerintah kepada perusahaan IT agar seluruh negeri bisa dialiri internet. Sebaliknya pemerintah mewajibkan perusahaan IT untuk memberikan harga murah kepada masyarakat karena sekarang sudah untuk berlipat.


Tim Ekonomi

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kanan) berbincang dengan Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo, Menteri BUMN Erick Thohir dan Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/7/2020). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/POOL)

Keenam, pemerintah dan Tim ekonomi sibuk dengan permasalahan internalnya sendiri, koordinasi dan komunikasi yang buruk, kemarahan presiden yang tidak perlu, serta anggaran yang tidak terealisasi dengan memadai, tidak wajar. Dari awal komunikasi pemerintah sangat kacau dimana ada puluhan blunder komunikasi yang membingungkan dalam kebijakan covid.

Akhirnya meskipun kasus covid-19 terus meningkat, pemerintah pusat dipimpin Presiden tetap membuka PSBB lockdown sehingga kasus covid-19 sudah di atas 100 ribu. Tidak lama lagi kasus itu akan mencapai 200 ribu bahkan sampai 3 kali dari kasus yang terjadin di China, tempat asal virus ini.

"Ketujuh, jika ini terus terjadi, tim pemerintah kacau dalam komunikasi, pemimpinnya gusar terhadap anak buah, tim tidak solid, maka covid-19 mustahil bisa diatasi dengan baik. Jika covid-19 tidak bisa diatasi, jangan bermimpi bisa mengatasi resesi. Tidak ada pertumbuhan ekonomi tanpa mengatasi pandemi. Jika pandemi terus berkembang seperti sekarang, maka resesi akan berkepanjangan. Pemerintah akan kesulitan mengembalikan ekonomi tumbuh kembali," tutup Didik.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya