Sanksi Bagi Pelanggar Protokol Kesehatan Dinilai Tak Cukup Bentuk Kesadaran Publik

Menurut Daisy, internalisasi akan kesadaran warga untuk menerapkan protokol kesehatan bisa lebih cepat tercipta dengan melibatkan tokoh internal dalam komunitas masyarakat.

oleh Yopi Makdori diperbarui 06 Agu 2020, 10:12 WIB
Petugas Satpol PP mendata warga yang terjaring razia pelanggar PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di Pasar Gembrong, Jakarta, Selasa (2/6/2020). Para pelanggar aturan PSBB tersebut dijatuhi sanksi membayar denda atau melakukan pelayanan sosial. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta Presiden Jokowi memberi sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan saat pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Sanksi tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.

Dalam Inpres ini, Jokowi meminta gubernur, bupati, atau wali kota menetapkan dan menyusun peraturan yang memuat sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan. Sanksi ini berlaku perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab fasilitas umum.

Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Daisy Indira Yasmine menilai pemberlakukan sanksi dianggap tidak cukup untuk membentuk kesadaran masyarakat soal pentingnya menerapkan protokol kesehatan dalam masa pandemi Covid-19.

"Untuk mencapai internalisasi nilai, tidak cukup sekedar sanksi hukum tapi harus dibarengi dengan mekanisme sosialisasi lain, yang intinya edukasi mengapa kita harus melakukan hal-hal tersebut,” ujar Daisy saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (6/8/2020).

Selain itu, supaya penerapan protokol kesehatan itu bisa dijalankan oleh seluruh masyarakat, kata Daisy hal mesti dilakukan ialah mempermudah warga untuk menerapkan aturan tersebut.

"Hal ini mencakup aksesibilitas dan 'kemasukakalan' perilaku ini dalam kehidupan sehari-hari warga," tutur dia.

Menurut Daisy, internalisasi akan kesadaran warga untuk menerapkan protokol kesehatan bisa lebih cepat tercipta dengan melibatkan tokoh internal dalam komunitas masyarakat.

"Baik komunitas pemukiman misal kader PKK, Posyandu, kelompok arisan dan lain-lain. Komunitas pasar, komunitas pekerjaan dan lain-lain," ucapnya.

Kendati begitu, kata Daisy keempat jenis sanksi yang dikeluarkan dalam Inpres Jokowi itu masih efektif dijalankan, demi terbentuk sebuah kebiasaan awal di tengah publik. "Untuk tahap awal pembiasaan menurut saya sanksi yang jelas dapat digunakan, karena ini untuk mensosialisasikan nilai bersama," jelasnya.

Sementara itu jika dibandingkan sanksi yang bersifat online shaming atau mempermalukan pelanggar di internet, menurut Daisy justru kurang efektif. Pasalnya, menurut dia hal itu bisa saja jadi tak terkendali.

"Sebagai panduan nilai bersama, sanksi hukum yang jelas tetap perlu ada karena kalau tidak, nanti jadi bola liar. Online shaming memang dapat digunakan tetapi bisa menjadi bola liar yang tidak bisa dikontrol loh. Kita nggak bisa prediksi reaksi netizen. Karena pada intinya masyarakat bisa memilik berbagai pandangan tentang hal ini. Dan itu sah sah saja," paparnya.

Daisy menimbang online shaming dapat efektif jika masyarakat telah memiliki kesadaran bersama tentang nilai anti-Covid-19.

"Perilaku anti-Covid-19 maksudnya perilaku hidup bersih dan sehat. Karena sebenarnya yang kita lawan sekarang harusnya bukan sekedar virus Covid-19 tapi semua jenis penyakit ya," pungkasnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Empat Jenis Sanksi

Dalam Inpres yang dikeluarkan, Jokowi meminta gubernur, bupati, atau wali kota menetapkan dan menyusun peraturan yang memuat sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan. Sanksi ini berlaku perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab fasilitas umum.

Sanksi sebagaimana dimaksud berupa, pertama, teguran lisan atau tertulis kerja sosial, denda administratif, dan penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha.

Adapun protokol kesehatan yang harus dipatuhi antara lain, menggunakan masker yang menutup hidung dan mulut hingga dagu jika harus keluar rumah atau interaksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya, membersihkan tangan secara teratur, pembatasan interaksi fisik (physical distancing), dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

"Dalam penyusunan dan penetapan peraturan gubernur/peraturan bupati/wali kota, memperhatikan dan disesuaikan dengan kearifan lokal dari masing-masing daerah," bunyi Inpres Jokowi.

Inpers protokol kesehatan ini diteken Jokowi pada Selasa 4 Agustus 2020. Inpres tersebut mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya