Liputan6.com, Jakarta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang telah mejadi Undang-undang 2 Tahun 2020 disebut keluar karena merupakan sebuah kegentingan bagi pemerintah.
Ini dengan melihat perkembangan Covid-19 secara masih di Tanah Air, memaksa pemerintah harus mengambil tindakan kala itu.
Advertisement
"Kalau kita keluarkan Perppu Nomor 1/2020 itu adalah kegentingan yang memaksa bukan karena kegentingan yang sudah dilewati," jelas Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, dalam Webinar Keterbukaan Informasi Publik digelar secara virtual di Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Sejak diumumkan kasus Covid-19 pada Maret lalu, pemerintah langsung berpikir keras apa yang akan dihadapi dan dilakukan ke depan.
Apalagi, pada Maret dan bulan-bulan berikutnya pemerintah meyakini ada dampak yang signifikan, mulai dari kegiatan ekonomi menurun, konsumsi berhenti, ekspor turun, dan lain-lainnya.
"Ini kegentingan karena antisipasi, ini ingin responsif, kegentingannya setelah Perppu itu muncul. Sekarang Juli sudah kita lewati bahkan Agustus belum bergerak seperti tahun lalu, ini kegentingan yang kita tarus di awal, jadi bukan akrena sudah melewati tapi karena responsi," jelas dia.
Di dalam Perppu yang sudah menjadi Undang-Undang itu, pemerintah membuat bagaimana caranya belanja negara tetap bisa meningkat di tengah situasi ketika penerimaan negara turun.
Salah satunya maka memperlebar defisit dari yang sebelumnya 3 persen menjadi kisaran 6 persen.
"Karena kegiatan ekonomi berhenti, namun belanja tidak boleh turun, karena negara harus melakukan belanja untuk melindugan maskarayat dari sisi kesehatan, ekonomi, sosial, melindungan masyarakat paling miskin dan rentan, maka belanja negara harus tumbuh di tengah penerimaan negara yang turun, secara teknis melebar, maka butuh relaksasi ini yang diberikan Perppu," tandas dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Tonton Video Ini
Indonesia Terancam Resesi, Pemerintah Perlu Rombak Pemberian Stimulus
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan, Indonesia pasti akan jatuh ke jurang resesi pada kuartal III 2020 setelah pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2020 tercatat -5,32 persen.
Terlepas dari hal tersebut, ia mendesak pemerintah melakukan terobosan agar ekonomi nasional bisa sedikit pulih pada kuartal selanjutnya. Bhima menilai pemerintah perlu merombak total seluruh kebijakan pemberian stimulus pada sektor usaha.
"Jadi terobosan yang perlu dilakukan sekarang bukan masalah resesi atau tidak, soalnya pasti masuk resesi. Sekarang terobosan apa yang penting. Terobosan yang penting adalah merombak total seluruh stimulus ekonomi," tegas dia kepada Liputan6.com, Kamis (6/8/2020).
Dikatakannya, salah satu bentuk pemberian stimulus yang harus diubah yakni skema relaksasi kredit bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Menurutnya, pemerintah semustinya memberikan hibah modal kerja dan subsidi internet gratis bagi UMKM untuk masuk ke pasar digital.
"Kemudian bagaimana UMKM diberikan semacam insentif sehingga bisa memberlakukan protokol kesehatan lebih baik. Jadi konsumen juga percaya untuk beli barang di UMKM," sambung Bhima.
Sorotan lainnya, ia menekankan pemberian stimulus pajak untuk korporasi tidak efektif. Menurut dia, kebijakan tersebut sebaiknya diubah ke dalam bantuan langsung kepada penerima bantuan sosial.
"Jadi pengurangan PPh, kemudian keringanan pajak untuk korporasi, sebaiknya diberikan langsung kepada bantuan sosial sehingga berdampak kepada penyelamatan masyarakat yang rentan miskin maupun yang miskin, karena itu langsung dibelanjakan oleh masyarakat miskin," tuturnya.
Tuntutan itu dilontarkannya lantaran perusahaan yang mendapatkan stimulus perpajakan belum tentu membuktikan bisa menyerap tenaga kerja seperti yang diharapkan.
"Justru yang terjadi stimulus pajak makin besar, stimulus untuk korporasi mencapai 24 persen dari total stimulus, tapi faktanya PHK terus jalan. Ini jadi salah satu catatan, mengoreksi stimulus yang tidak efektif," tukas Bhima.
Advertisement