Liputan6.com, Kendari - Taarupi (54), warga suku Bajo di Pulau Bokori, tak menyembunyikan kegusarannya saat ditemui di lokasi wisata Sulawesi Tenggara di depan Teluk Kendari, Rabu (5/8/2020). Pria yang sudah memulai pekerjaan sebagai sopir perahu sejak akhir 1990-an itu, memulai keluh kesahnya.
Dia menyebut, ada aturan yang melarang dia dan sekitar 100 orang warga suku Bajo beroperasi di pulau padat pengunjung itu sejak Pandemi Covid-19.
Menurutnya, alasan Pemprov karena pandemi Covid-19 berbahaya bagi turis. Apalagi, daerah wisata Bokori belum memiliki protokol standar penanganan Covid-19 memadai.
Baca Juga
Advertisement
Taarupi, merupakan seorang sopir perahu bagi para pengunjung pulau wisata Bokori. Dia adalah ayah dari lima orang anak dan seorang istri yang berasal dari Keluarga Suku Bajo.
Sejak 16 Maret 2020, pemprov menutup lokasi itu. Sehingga, dia yang menggantungkan hidup karena jasa antar bolak-balik pengunjung, kini tak memiliki pekerjaan lagi.
"Sebelum itu, saya bisa mengantar ratusan pengunjung dari Kendari setiap hari. Apalagi libur, bisa sampai dapat Rp 1 juta lebih," ujarnya.
Karena lancarnya pemasukan sebelum larangan pemerintah, Taarupi dan rekan-rekannya sesama Suku Bajo mampu mencicil perahu dan mesin. Rata-rata setiap unit mencapai harga Rp 80 juta lebih.
"Tapi, sudah empat bulan kami dilarang mengantar penumpang masuk pulau. Selalu ada saja wisatawan yang mau masuk, tapi kalau kami sembunyi-sembunyi mengantar, sering dihalau pengelola pulau dan polisi," ujarnya.
Dia menceritakan, anak istrinya di rumah butuh makan. Kondisi ini, sama dengan sekitar 90 orang lebih rekan-rekannya yang ikut mengadu nasib di pulau itu.
Wa Rambe, seorang pedagang minuman es kelapa mengatakan, saat ini dia juga kehilangan pekerjaan. Tidak hanya dia, ada puluhan pedagang minuman dan makanan ringan lainnya yang sehari-hari berdagang di Pulau Bokori.
"Puluhan kami jumlahnya. Belum lagi penyedia jasa Banana Boat, sewa ban bekas dan pedagang kelontong, kami semua berhenti," ujarnya.
Rata-rata warga yang terdampak, berasal dari tujuh desa di askitar Bokori. Ketujuhnya yakni, Desa Sorue, Tapualaga, Bajo Indah, Bokori, Leppe, Mekar Jaya dan Sama Jaya.
Sopir perahu mayoritas warga suku Bajo heran, hanya Pulau Bokori yang ditutup pemerintah selama Pandemi Covid-19. Mereka bahkan dilarang mengangkut penumpang dan menyeberangkan ke pulau. Meraka protes, lokasi wisata terdekat dari Pulau Bokori yakni Pantai Toronipa dan hiburan malam lainnya, sudah dibiarkan terbuka sejak lama.
Saksikan juga video pilihan berikut ini :
Wisata Lain Padat Pengunjung
Sejumlah lokasi pantai selain di Pulau Bokori, sudah dipadati pengunjung. Dua di antaranya, berada di sekitar Bokori, Pantai Toronipa dan Pantai Nambo.
Kedua pantai ini, selain ada ribuan pengunjung, pedagang kecil dan sopir perahu dibiarkan beroperasi. Sudah beberapa Minggu sejak New Normal, mereka mulai melayani jasa antar wisatawan.
Abdul Gafur (53), salah satu sopir Banana Boat di Pantai Toronipa mengatakan, saat akhir mereka bisa meraup Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Jika hari biasa, di bawah itu.
"Alhamdulillah, bisa dipakai mencicil mesin perahu. Biaya anak istri di rumah juga tercukupi," ujar Abdul Gafur.
Diketahui, antrean pengunjung di pantai Toronipa pada Minggu (1/8/2020) mencapai jarak 100 meter di pintu masuk. Hanya ada pemeriksaan di depan pintu gerbang.
Selain itu, pemerintah juga sudah membuka sejumlah lokasi tempat hiburan malam. Tanpa disertai protokol kesehatan yang memadai, warga bebas beraktivitas pada sejumlah THM di Kota Kendari.
Advertisement
Warga Tolak Investor
Ratusan warga suku Bajau di Pulau Bokori yang terdampak Covid-19 usai adanya larangan beroperasi dari pemerintah, tegas menolak kehadiran investor. Pasalnya, mereka akan kehilangan mata pencaharian.
Abdul Wahab, salah seorang sopir perahu mengatakan, ada rencana kehadiran investor di Pulau Bokori. Sehingga, dugaan mereka, warga suku Bajo yang bekerja di sana, dilarang beraktivitas.
"Kami menolak, karena kami sudah membayar PAD selama beroperasi. Sebenarnya pemerintah bagaimana? Kami bayar PAD, apa bedanya dengan Investor China," ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Sultra Ali Mazi sudah mengetahui kehadiran dua investor yang bakal mengambil alih pengelolaan Pulau Bokori. Keduanya yakni PT Permata Griya Nusantara dan PT Anugerah Agung Indonesia.
Kedua perusahaan ini, kabarnya sudah menggelar presentasi dan menjanjikan keuntungan bagi Pemprov Sultra terkait pengelolaan di Pulau Bokori. Namun, belum diketahui apakah jumlah PAD yang dimasukkan bernilai lebih besar atau malah lebih kecil dari PAD sebelumnya.
"Itu bagus, harus didukung di tengah pandemi Covid-19, masih ada perusahaan yang akan masuk dan mengelola pariwisata Sultra," ujar Gubernur Ali Mazi kepada awak media.
Kadis Pariwisata Sultra, I Gede Panca mengatakan, saat ini larangan masuk ke sana, karena adanya Covid-19. Saat ini, pihaknya tidak ingin adanya klaster baru.
"Nanti sudah ada alat penanganan Covid-19, baru kita izinkan masuk," jelasnya.
Terkait adanya larangan dan keluhan warga Suku Bajo, pihaknya mengakui sudah menyampaikan kepada warga secara baik-baik. Namun, pemerintah belum bisa memberikan alternatif mata pencaharian bagi mereka.
"Gubernur berusaha mengeluarkan kebijakan, tentu juga memikirkan warga. Soal investor asing yang disebut warga Bajo itu, baru wacana saja," ujar I Gede Panca.
Dia mengatakan, sejauh ini Gubernur sudah membentuk tim terpadu untuk mengkaji. Pun jika dikelola pihak ketiga, I Gede Panca memastikan Gubernur tak akan membuat rugi masyarakat dengan kebijakannya.
"Masih sementara dikaji, belum jelas kerjasamanya. Makanya, tim sedang akan dibentuk dan akan bekerja memantau wilayah itu," dia memungkasi.