OJK Nilai Literasi Keuangan Harus Dikenalkan Sejak SD

Tingkat literasi keuangan di Indonesia baru mencapai 38 persen. Di sisi lain, tingkat inklusi keuangan sudah 76 persen.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 06 Agu 2020, 15:45 WIB
Nasabah memanfaatkan layanan digital bank melalui layanan Mandiri Syariah Mobile di Jakarta, Rabu (8/7/2020). Mandiri Syariah juga mengoptimalkan metode pembayaran digital tanpa uang tunai sebagai upaya untuk mengurangi risiko penyebaran Covid-19 di Era New Normal. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Horas Tarihoran menyoroti tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia yang masih rendah. Hal itu berbanding terbalik dengan tingkat inklusi keuangan yang hampir dua kali lipat lebih besar dibanding literasi.

Menurut survey OJK yang dilakukan pada 2019 lalu, tingkat literasi keuangan di Indonesia baru mencapai 38 persen. Di sisi lain, tingkat inklusi keuangan sudah 76 persen.

"Jadi ini pasti banyak kerawanan. Pak Jokowi sendiri sudah minta di hasil Ratas lalu, di 2023-2024 tingkat inklusinya sudah harus 90 persen. Ini berarti inklusinya harus digenjot lagi supaya tidak masalah," ujar Horas dalam sesi webinar, Kamis (6/8/2020).

Horas memaklumi jika tingkat literasinya lebih rendah daripada inklusi. Dia mencontohkan, kompetensi membaca masyarakat di Amerika Serikat terhadap sektor keuangan juga masih lebih rendah dari inklusinya.

"Cuman mereka tidak serendah kita. Tapi kenapa mereka lebih bagus dari kita, mereka sudah sejak dini literasi keuangan diberikan," kata pejabat OJK itu.

 


Ketinggalan Zaman

Tulisan OJK terpampang di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dia berpendapat, asupan literasi keuangan di Indonesia secara umum masih diberikan sepotong-sepotong dan cenderung tidak mengikuti zaman. Itu tergambar dari pengajaran menghitung pada strata pendidikan sekolah dasar (SD).

"Mungkin kita yang pernah SD dulu inget. Kalau di buku-buku kita dulu, kalau belajar penjumlahan di matematika, satu tambah satu gambarnya pisang. Di luar negeri enggak, mereka sudah pakai teknologi keuangan," ungkap dia.

"Jadi mereka sudah terbiasa dengan mata uang dan sebagainya. Satu dolar ditambah satu dolar sama dengan dua dolar. Kalau ada uang 10 dolar Anda belikan pisang seharga dua dolar kembaliannya berapa. Itu kan matematika sederhana. Kita enggak, makanya kita terlambat," tuturnya.

 


Paling Rendah di Dunia

Petugas tengah melakukan pelayanan call center di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Imbasnya, nilai kompetensi membaca masyarakat Indonesia juga berada di salah satu peringkat paling bontot di dunia. Berdasarkan survei yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia berada di peringkat 72 dari 78 negara dalam hal literasi pada bidang matematika.

"Jadi ketika ditanya kenapa kita terlambat, alasannya karena literasi keuangan juga kita terlambat. Kita ada di urutan paling bontot, paling bawah dari beberapa negara yang menyelenggarakan PISA. PISA itu adalah survey, jadi itu adalah assessment untuk seluruh siswa di seluruh dunia dari usia 15-19 tahun. Kita ada di paling bawah," tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya