Liputan6.com, Jakarta - Kecintaan Presiden Sukarno terhadap karya seni banyak meninggalkan jejak di berbagai sudut negeri. Salah satunya tersimpan di Hotel Indonesia. Wujudnya adalah lukisan berjudul Margasatwa dan Puspita Indonesia yang dibuat oleh pelukis istana Lee Man Fong. Lukisan tersebut menggambarkan kekayaan flora dan fauna di Indonesia.
Bung Karno sengaja meminta Lee Man Fong membuat lukisan tersebut untuk menghiasi salah satu sudut di Hotel Indonesia. Pasalnya, hotel bintang lima pertama di Indonesia itu akan segera menyambut atlet-atlet internasional yang berlaga di Ganefo, ajang olahraga akbar sebagai tandingan Olimpiade pada 1962.
Baca Juga
Advertisement
Bung Karno berharap lukisan tersebut menjadi lukisan terbesar di Indonesia. Lee Man Fong pun menyanggupi permintaan itu. Ia mengerjakan lukisan berukuran 4x10,85 meter persegi tersebut mulai 1961 dan dibantu oleh empat orang asistennya, Lim Wa Sim, Tjo Soen Djie, Siauw Swie Ching, dan Lee Rern yang tak lain adalah putri Lee Man Fong.
Setelah jadi pada 1962, lukisan yang terdiri dari tiga panel dengan bentuk agak cekung itu dipajang di dinding restoran hotel. Seiring waktu, lukisan kemudian dipindahkan ke bagian atas dinding yang menghadap entrance foyer Bali Room - Hotel Indonesia Kempinski Jakarta.
Terhitung Juli 2019, pihak hotel memutuskan untuk merestorasi lukisan yang berusia lebih dari setengah abad tersebut. Proyek restorasi itu dikerjakan Michaela Anselmini dari Studio Sarasvati Art. Perempuan Italia itu dibantu sejumlah mahasiswa seni rupa untuk melakukannya.
Dalam webinar Conservation of Cultural Heritage Restoration of Lee Man Fong’s Masterpiece “Margasatwa dan Puspita Indonesia” yang digelar pada Rabu, 5 Agustus 2020, Michaela menyebut lukisan Lee Man Fong sebagai lukisan terbesar yang pernah dikerjakannya sebagai restorator. Tak mengherankan bila ia memerlukan waktu setahun untuk menyelesaikannya.
Proses dimulai dengan riset terlebih dulu. Ia harus memahami bagaimana lukisan itu tercipta. Untuk itu, ia mempelajari sejumlah literatur, mengunjungi Istana Cipanas, hingga menemui anak Lee Man Fong yang tinggal di Singapura untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang di balik layar penciptaan lukisan maha karya Lee Man Fong.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Dimulai dengan Riset
Lewat riset yang dilakukan, Michaela mendapatkan informasi bahwa Lee Man Fong sampai berjalan-jalan ke kebun binatang, pertanian, hingga ke luar negeri untuk mempelajari bentuk hewan dan tanaman yang akan digambarnya. Tujuannya agar ia bisa melukis mendekati figur aslinya karena pria kelahiran Guangzhou, Tiongkok itu menganut paham realis.
"Sukarno memutuskan untuk membuatkannya studio di depan Hotel Indonesia. Pada saat itu, di sini tidak ada apapun, hanya tanaman hijau dan rumah-rumah. Sukarno membuat studio khusus di depan proyek konstruksi," ucap Michaela.
Masing-masing panel lukisan mengangkat tema berbeda, terdiri dari satwa liar di darat, hewan-hewan bawah air, dan flora khas Indonesia. Salah satu satwa yang digambarnya adalah babi rusa yang merupakan hewan endemik Indonesia, tepatnya di Sulawesi.
"Untuk menggambar itu, mereka memutuskan untuk mengimpor hard board dari Eropa, mungkin dari Jerman. Itu karena Indonesia tak memiliki peralatan melukis yang memadai," sambung Michaela.
Ia juga meriset perihal peralatan melukis yang kemungkinan digunakan Lee Man Fong saat itu. Jawaban yang paling masuk akal adalah sebuah spatula kecil. "Dia sangat dikenal dengan elemen dekoratifnya. Hal itu untuk membuat kesan kuat energi hewan-hewan yang digambarnya," jelas dia.
Selanjutnya, Michaela dibantu para mahasiswa meriset sumber polusi pada lukisan. Kesimpulannya, faktor yang menurunkan kualitas lukisan tersebut adalah polusi dari lingkungan sekitar, terutama dari makanan. Mengingat ditempatkan di restoran, besar paparan dari cipratan makanan, apalagi makanan berminyak, yang disajikan untuk para pengunjung.
"Lukisan itu sudah berusia lebih dari 30 tahun, tentu akan sangat berefek. Debu juga berpengaruh," katanya.
Advertisement
Tantangan Besar
Berbekal informasi tersebut, proses teknik restorasi dimulai. Namun, ada tantangan besar untuk melakukannya. Pasalnya, posisi lukisan digantung tiga meter dari lantai. Ditambah dengan lebar lukisan, Michaela harus bisa menjangkau tujuh meter ke atas.
Manajemen Hotel Indonesia Kempinski memutuskan membangun struktur penyangga agar restorator bisa bekerja. Tak hanya itu, hotel juga memfasilitasi scaffolding khusus untuk mendukung kerja Michaela.
Hotel juga mengalokasikan waktu khusus bagi Michaela. Low season dipilih agar ia tak diganggu lalu-lalang tamu hotel maupun ballroom yang biasanya penuh. Ia mengaku beruntung, masa pandemi membantunya menyelesaikan proyek restorasi tersebut.
"Saya memulainya dengan konsolidasi warna, diikuti dengan pembersihan, pengisian warna yang hilang, dan sentuhan akhir," tuturnya.
Pada sentuhan akhir, ia memberikan sejumlah perlindungan tambahan agar lukisan berusia panjang, yakni mengaplikasikan pernis khusus. Sementara, Hotel Indonesia menambahkan proteksi dari sinar UV serta sistem dehumidizer di ruangan tersebut untuk menghindari lembab.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid mengucapkan selamat atas keberhasilan merestorasi lukisan terbesar di Indonesia tersebut. Ia menyebut proyek itu merupakan langkah awal proyek restorasi karya seni Indonesia yang berharga lainnya.
"Saya berharap semakin banyak orang menikmati karya akbar ini sekaligus meningkatkan identitas dalam karya itu, yaitu identitas ke-Indonesia-an," ujarnya.
Baca Juga
Mengintip Ratusan Mainan Artistik Unik di Hong Kong Art Toy Story 2024 Jakarta, Buka Peluang Kolaborasi dengan Seniman Lokal
Garin Nugroho Rilis Film Bisu Berlatar Budaya Bali, Suara Gamelan dan Musik Elektronik Bakal Diputarkan Langsung Selama Ditonton
Saat 100 Perempuan Penari Bergerak Serempak Menarikan 38 Tarian Nusantara di Festival Art ChipelaGong