Wajib Sertifikasi BPJPH Tak Ramah Bagi Usaha Kecil

Polemik sertifikasi halal oleh Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) belum juga rampung.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 08 Agu 2020, 16:00 WIB
Pengunjung melihat produk UMKM dari Rumah Kreatif BUMN (RKB) binaan BNI saat Launching Halal Park di Senayan Jakarta, Selasa (16/4). Halal Park yang akan bertransformasi menjadi Halal Distrik didesain menjadi ekosistem bagi pelaku industri gaya hidup halal di Tanah Air. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Polemik sertifikasi halal oleh Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) belum juga rampung. Pasalnya, BPJPH dinilai tidak memiliki tata kelola yang baik, baik dari dasar terbentuknya, hingga implementasinya dalam memberikan sertifikasi.

Wakil Ketua Dewan Halal Nasional MUI, Muhamad Nadratuzzaman Hosen menyebutkan, ”Wajib sertifikasi ini, kalau menjadi wajib dalam bahasa agama jadi wajib itu tidak bisa ditinggalkan. Saya melihat sampai saat ini siapa sih yang jadi guru halalnya,” ujar dia dalam diskusi daring, Sabtu (8/8/2020).

Sehingga, Nadra mempertanyakan dasar dari penentuan halal oleh BPJPH. Disisi lain, dia menilai perlu adanya pemahaman lebih komprehensif terhadap kegiatan usaha, utamanya usaha mikro. Dadra melihat, aturan dari BPJPH lebih untuk kalangan usaha menengah ke atas.

“Usaha kecil itu, ultra mikro itu, kalau mau disertifikasi takut. Takut ketahuan tidak halalnya, akhirnya tidak jualan nanti bagaimana. Jadi kita tahu dulu psikologis masyarakatnya. Kita ini kan jangan melihat yang menengah ke atas. Nah saya lihat peraturan yang dibuat oleh BPJPH itu hanya cocok untuk menengah ke atas. Yang menengah ke bawah, dimana umat islam di situ paling banyak justru tidak tergarap. Ini problem utamanya,” kata Nadra.

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Aturan Sertifikasi Halal di RUU Ciptaker Untungkan UMKM

Pengunjung melihat produk UMKM dari Rumah Kreatif BUMN (RKB) binaan BNI saat Launching Halal Park di Senayan Jakarta, Selasa (16/4). Halal Park yang akan bertransformasi menjadi Halal Distrik didesain menjadi ekosistem bagi pelaku industri gaya hidup halal di Tanah Air. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Keberadaan aturan yang menjamin kehalalan produk-produk konsumsi telah menjadi kebutuhan. Apalagi di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat muslim Indonesia terhadap produk halal.

Jika jaminan produk halal selaras dengan prinsip-prinsip keterbukaan ekonomi berasaskan kesukarelaan, perdagangan yang wajar atau fair trade dan partisipasi masyarakat, dampaknya akan positif bagi dunia bisnis. Sekaligus memberdayakan kelompok usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Demikian dikatakan Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thoyyiban (LPH-KHT) PP Muhammadiyah, Nadratuzzaman Hosen kepada media di Tangerang Kamis (16/7/2020).

"Pintu masuk untuk memperbaiki berbagai kelemahan pengaturan jaminan produk halal dalam peraturan perundang-undangan sekarang ini adalah RUU Cipta Kerja (Ciptaker)," ujarnya.

Nadratuzzaman juga menyatakan, jaminan produk halal tidak seharusnya membebani pelaku usaha. Menurutnya, cara agar tidak membebani, antara lain dengan mendistribusikan kewenangan sertfikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) kepada berbagai organisasi masyarakat (Ormas) Islam yang kredibel dan berbasis komunitas.

Keinginan agar BPJPH membatasi peran sebagai regulator juga disuarakan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (Lakpesdam-PBNU) Rumadi Ahmad.

“UU JPH sekarang sebetulnya sudah membuka kesempatan bagi masyarakat untuk membuat Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Masalahnya, kewenangan menetapkan fatwa halal masih terpusat pada Majelis Ulama Indonesia (MUI), sementara MUI sendiri memiliki LPH,” kata Rumadi.

Perbaikan tata kelola dalam mekanisme penjaminan produk halal inilah alasan kenapa PBNU mendukung RUU Ciptaker.


Geser Monopoli

Pengunjung melihat kerajinan dalam pameran UMKM Export BRILian Preneur 2019 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Di sini pengunjung bisa berkonsultasi seputar bisnis, branding, packaging, perizinan ekspor, hingga perizinan sertifikasi halal. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Iqbal Hasanuddin, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) menegaskan, menggeser monopoli dari ormas tertentu ke negara hanyalah memindahkan pusat persoalan, yang lagi-lagi akan menimbulkan inefisiensi.

Padahal, jaminan produk halal yang monopolistik ini sempat membuat Indonesia bersengketa dengan sejumlah negara di forum World Trade Organization (WTO), karena dianggap merusak fairness dalam perdagangan internasional.

"Karenanya, upaya untuk memberikan jaminan produk halal kepada masyarakat muslim tidak boleh sampai menghambat perkembangan bisnis, apalagi menyulitkan para pelaku UMKM," jelasnya.

Selain itu, diperkenankannya self-declaration atas jaminan kehalalan suatu produk akan sangat meringankan pelaku usaha. Khususnya dari kelompok usaha mikro dan kecil, yang terbebani oleh sistem jaminan produk halal yang kompleks dan sentralistik seperti sekarang.

Ketiganya menilai, kewenangan menetapkan fatwa ini memang harus didesentralisasi. Tidak boleh ada favoritisme negara pada ormas tertentu, termasuk MUI.

Dengan cara ini, monopoli dalam penjaminan produk halal akan hilang, dan hal ini selaras dengan perspektif RUU Ciptaker yang menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi dan bisnis.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya