Liputan6.com, Padang - Konflik antara manusia dan satwa liar kerap terjadi di Sumatera Barat beberapa waktu terakhir. Bahkan 3 harimau harus ditangkap oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) provinsi setempat pada rentang Juni dan Juli 2020.
Beberapa konflik lain di luar penangkapan 3 harimau tersebut yang juga terjadi di Sumbar, dari catatan BKSDA di antaranya pada 23 Juni 2 ekor kerbau milik warga di Nagari Sungai Pua, Kabupaten Agam diserang satwa liar diduga harimau Sumatra.
Pada 2 Agustus 2020 seekor sapi milik warga di Tarantang Tunggang, Kecamatan Tigo Nagari Kabupaten Pasaman diserang oleh satwa liar, dari analisa BKSDA satwa liar itu juga diduga harimau Sumatra.
Baca Juga
Advertisement
Kemudian yang terbaru, pada 6 Agustus 2020, seekor kambing milik warga Nagari Sungai Puar, Palembayan Kabupaten Agam diserang diduga oleh beruang madu.
Keluarnya satwa liar tersebut dari habitatnya, entah itu ke pemukiman atau perkebunan penduduk, ditenggarai ada penyebabnya.
Pegiat Konservasi Satwa dari Centre for Orangutan Protection, Novi Rovika kepada Liputan6.com, Sabtu (8/8/2020) menyebutkan bahwa kejadian konflik antara manusia dan satwa liar sudah pasti ada alasannya.
"Beberapa faktor pemicunya adalah, hilangnya hutan karena alih fungsi lahan salah satunya untuk pembukaan perkebunan sawit," kata Novi yang juga Koordinator Orangufriends Padang itu.
Pada 2 tahun lalu, ia ikut dalam penangkapan harimau di daerah Palupuah Agam. Hutan di Palupuah itu tersambung hingga ke Palembayan Agam terus ke Pasaman.
Di Pasaman, lanjutnya juga ada perusahaan sawit yang juga besar, kemudian kebun sawit anak perusahaannya, serta kebun masyarakat atau pun petani lokal.
Meluasnya kebun sawit ini, jelas Novi harusnya sudah bisa diprediksi oleh pihak terkait serta pemangku kepentingan bahwa itu akan mengganggu habitat satwa liar.
"Pihak terkait tentu sudah tahu di daerah mana saja habitat harimau ini," ujarnya.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Filosofi Orang Minangkabau dan Harimau
Melihat beberapa konflik manusia dan satwa liar, lanjut Novi ada sebagian besar hewan yang dimangsa atau diserang harimau hanya di cakar atau dicabik, hewan ini tidak dimakan sama sekali.
Dalam filosofi orang Minangkabau terhadap harimau, jika ada harimau yang muncul artinya ia memberi tanda, cakaran harimau memiliki makna seperti memberi peringatan.
"Ini kepercayaan masyarakat lokal orang Minangkabau, kemana kearifan lokal itu kini," katanya.
Selain itu, relasi antara orang Minangkabau dan harimau ini juga sudah ada yang melakukan penelitian. Hasil riset itu diketahui memang ada relasi antara harimau dan masyarakat Minangkabau.
"Artinya ini bukan hanya cerita-cerita masyarakat saja soal kearifan lokal ini," jelas Novi.
Lebih lanjut, ia mengatakan persoalan satwa liar ini merupakan tanggungjawab semua pihak, dan berharap ke depan ada aksi-aksi nyata dalam penyelamatan satwa liar untuk menjaga kelestariannya.
Ada banyak cara yang dilakukan seperti kampanye, edukasi dan komunitas-komunitas harus bergerak untuk itu. Keterlibatan masyarakat adat sangat dibutuhkan dalam pelestarian ini.
Sementara Kepala BKSDA Sumbar, Erly Sukrismanto juga tak menampik bahwa alih fungsi lahan merupakan faktor penyebab terjadinya konflik satwa liar dan manusia.
Oleh sebab semakin sempitnya ruang bagi satwa liar, maka mereka akan masuk ke pemukiman, kemudian menyerang hewan ternak.
"Memang alih fungsi lahan mengancam habitat satwa liar," ujar Erly.
Advertisement