Hikayat Bundengan, 'Bendhe' Wonosobo yang Masyhur Sejak Era Majapahit

Tudung atau kowangan yang dijadikan alat musik pengiring wayang disinyalir adalah bundengan seperti yang ditemukan di Wonosobo

oleh Rudal Afgani Dirgantara diperbarui 09 Agu 2020, 18:00 WIB
Mulyani, guru Seni SMPN 2 Selomerto Wonosobo memainkan bundengan di lapangan olahraga sekolah setempat, beberapa waktu lalu. (Foto: Liputan6.cm/Rudal Afgani Dirgantara)

Liputan6.com, Wonosobo - Kowongan, alat yang digunakan para penggembala bebek untuk melindungi diri dari terik matahari dan guyuran hujan, perlahan bertambah fungsi menjadi alat musik petik yang mampu mereplika bunyi sebagian perangkat gamelan. Alat musik itu dikenal dengan nama bundengan.

Bundengan terdiri atas tiga helai ijuk yang kini diganti senar dan tiga bilah bambu. Senar dibentangkan di lengkungan sisi dalam kowangan. Sementara tiga bilah bambu diselipkan di sela anyamanya.

Pemain alat musik Bundengan menggunakan tangan kanan untuk memetik senar dan tangan kiri untuk memetik bilah bambu. Petikan senar menghasilkan bunyi menyerupai perangkat bendhe pada gamelan. Sedangkan getaran pada bilah bambu yang dipetik menghasilkan bunyi serupa kendang dan gong.

Para penggembala bebek biasanya memainkan bundengan ketika menunggu bebek yang tengah mencari makanan di sawah. Mereka memainkan bundengan sambil menyanyi tembang Jawa.

Bundengan kini menjadi ikon budaya Kabupaten Wonosobo. Di Wonosobo, alat musik ini menjadi mata pelajaran kesenian di SMPN 2 Selomerto.

Pengajaran bundengan di sekolah merupakan bagian dari konservasi kekayaan budaya lokal yang konon telah ada sejak era Kerajaan Majapahit pada abad ke-12. Keberadaan alat musik bundengan terekam dalam kitab Wreta Sancaya gubahan Mpu Tanakung.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Sejarah Bundengan

Mulyani, guru Seni SMPN 2 Selomerto Wonosobo memainkan bundengan di lapangan olahraga sekolah setempat, beberapa waktu lalu. (Foto: Liputan6.cm/Rudal Afgani Dirgantara)

Pada bait 93, Sekar Mandraka menyebutkan, “Lwirma wayang taheng atin ikang wukir kineliran himaranga nipis/ bumbung ikang petung kapawanan, yateka tudung anja munyarangin/peksi ketursal unding anikaking syanipa mangsuling kidang alon/madraka Sabdaning mrakala ngosawang pangidungn yamang rasih ati”.

Menurut Prof Dr H Kern pada artikel Agus Wuryanto bertajuk “Sejarah Bundengan”, kata “tudung” pada bait tembang di atas adalah tetabuhan untuk wayang. Sedang dalam budaya agraris di Jawa, “tudung” adalah penutup kepala yang digunakan petani untuk melindungi diri dari sinar matahari dan hujan.

Di Wonosobo, tudung dikenal dengan nama kowangan. Tudung atau kowangan yang dijadikan alat musik pengiring wayang disinyalir adalah bundengan seperti yang ditemukan di Wonosobo. Dengan demikian, bundengan pada mulanya digunakan untuk mengiringi pementasan wayang.

Namun seiring waktu, Bundengan digunakan untuk mengiringi lengger topeng. Seniman yang memopulerkan bundengan sebagai pengiring tari lengger topeng ialah Barnawi. Ia juga yang berinisiatif mengganti ijuk dengan senar gitar.

Barnawi meninggal pada 2011. Generasi berikutnya yaitu Munir yang juga adik kandung Barnawi.

Namun sulit menemukan pemain bundengan yang mahir setelah generasi Munir. Tanpa pemain, bundengan terancam hilang dari memori kolektif masyarakat dan pada akhirnya punah.


Upaya Melestarikan Bundengan

Mulyani, guru Seni SMPN 2 Selomerto Wonosobo memainkan bundengan di lapangan olahraga sekolah setempat, beberapa waktu lalu. (Foto: Liputan6.cm/Rudal Afgani Dirgantara)

Melihat kondisi ini, seorang guru kesenian terpanggil untuk melestarikan bundengan. Mulyani, guru SMPN 2 Selomerto memandang kelestarian bundengan akan terjaga jika ada yang mengenalkan kepada anak muda sebagai generasi penerus.

Karena itu, ia mengajarkan bundengan di sekolah. Ia memulai dengan menjadikan bundengan sebagai ekstrakurikuler pada 2015.

Pada mulanya, sambutan siswa tak begitu menggembirakan. Mulyani memajang bundengan di lobi sekolah agar setiap siswa yang masuk setidaknya bisa melihat dan muncul rasa ingin tahu. Namun kebanyakan siswa yang lewat, sekadar melirikpun tidak.

“Kemudian setiap pagi saya memainkan bundengan, seteah itu baru ada yang tertarik dan mulai ada yang minta diajari,” kata lulusan ISI Yogyakarta ini ketika ditemui di sekolahnya.

Setelah melihat respons murid-muridnya, pada 2016 ia memasukan bundengan ke dalam kurikulum. Bundengan menjadi materi pelajaran dengan nama materi pelajaran Mengajar Alat Musik Daerah Setempat.

 


Menumbuhkan Kecintaan Siswa Terhadap Bundengan

Mulyani, guru Seni SMPN 2 Selomerto Wonosobo memainkan bundengan di lapangan olahraga sekolah setempat, beberapa waktu lalu. (Foto: Liputan6.cm/Rudal Afgani Dirgantara)

Untuk mengukur penerimaan siswa terhadap bundengan, ia membuat instrumen evaluasi pembelajaran dalam tiga bentuk.

Pertama memainkan alat musik bundengan, kedua menari dengan properti bundengan, dan ketiga membatik dengan motif bundengan.

Peserta didiknya dibebaskan memilih satu di antara tiga jenis ujian ini. Dari tiga jenis ujian itu, 80 persen siswa memilih memainkan bundengan sebagai alat musik.

Ia menyimpulkan pilihan sebagian besar peserta didiknya mengindikasikan kecintaan anak-anak terhadap bundengan mulai tumbuh. Bagi Mulyati, itu adalah harapan.

“Ini prestasi kecil, tapi bermakna besar untuk kelestarian bundengan,” ucap ibu empat orang anak ini.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya