Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan bahwa saat ini suatu produk herbal berupa jamu tidak bisa diklaim bisa menyembuhkan COVID-19.
Mayagustina Andarini, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik dari BPOM menjelaskan bahwa ada tiga penggolongan obat bahan alam atau herbal di Indonesia saat ini.
Advertisement
Berdasarkan keputusan KBPOM No. HK.00.05.4.2411 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, ketiga golongan tersebut adalah jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.
"Jamu itu adalah suatu produk dengan ramuan empiris atau turun temurun dari nenek moyang kita seperti beras kencur, kunyit, asam temulawak, semua ramuan itu kan sudah ada dari zaman nenek moyang kita dan klaimnya pun klaim empiris," kata Maya dalam temu media daring pada Senin (10/8/2020).
"Ini yang kita namakan jamu, tidak perlu uji klinis sebab kita sudah tahu mengenai keamanannya," Maya menambahkan.
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Proses Herbal Menjadi Fitofarmaka
Sementara untuk obat herbal terstandar, Maya mengatakan bahwa produk ini berasal dari jamu namun keamanan dan khasiatnya sudah dibuktikan secara ilmiah melalui uji pra-klinik.
Kemudian apabila keamanan dan khasiat sudah bisa melewati pembuktian ilmiah melalui proses uji klinis pada manusia, obat herbal tersebut baru bisa dikategorikan sebagai fitofarmaka.
"Apakah semua produk harus naik tingkat? Ya tidak. Kalau dia jamu ya sudah biarkan saja dia sebagai jamu," kata Maya.
Terkait COVID-19, Maya menjelaskan bahwa di zaman nenek moyang belum ada penyakit tersebut. "Jadi tidak mungkin ada empiris COVID. Kalau itu klaimnya (mengobati) COVID, harus dilakukan uji sampai fitofarmaka karena virus ini baru ketemu sekarang."
"Jadi kalau jamu (diklaim) membunuh virus COVID-19, itu pasti klaim tersebut tidak akan pernah dikeluarkan oleh Badan POM," pungkasnya.
Advertisement