Kemendikbud: Buka Sekolah di Zona Kuning Covid-19, Bukan Paksaan Tapi Pilihan

Penyesuaian surat keputusan bersama empat menteri memperbolehkan daerah zona kuning Covid-19 membuka kembali satuan pendidikan.

oleh Yopi Makdori diperbarui 11 Agu 2020, 11:38 WIB
Murid baru mengikuti upacara bendera pada hari pertama sekolah di SDN Pisangan 02, Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (15/7/2019). Senin, 15 Juli 2019 merupakan hari pertama masuk sekolah tahun ajaran 2019/2020 usai libur panjang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Penyesuaian surat keputusan bersama empat menteri memperbolehkan daerah zona kuning Covid-19 membuka kembali satuan pendidikan. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikbud, Ainun Na’im menjelaskan, realisasinya diserahkan kepada pemerintah daerah, pihak sekolah dan orangtua murid.

"Keputusan tetap ada di pemerintah daerah, kepala sekolah, komite sekolah dan orangtua. Namun hal ini bukan merupakan kewajiban atau paksaan melainkan pilihan," ujar Ainun di Jakarta pada Senin 10 Agustus 2020.

Menurut dia, sekolah yang akan membuka kembali pembelajaran tatap muka, harus menaati prosedur dan protokol kesehatan. Oleh karena itu, sekolah harus melaksanakan sejumlah persiapan sebelum pembelajaran tatap muka dibuka, sehingga kesehatan siswa tetap terjaga.

"Kami meminta pemerintah daerah untuk mengawasi bagaimana perjalanan siswa dari rumah ke sekolah, proses pembelajaran di kelas dan jumlah siswa di kelas," kata Ainun.

Dia mengatakan, dengan adanya kebijakan relaksasi ini, diharapkan 43 persen peserta didik dan pendidik yang saat ini berada di zona kuning dan hijau bisa memulai pembelajaran tatap muka. Namun, dia memastikan, pelajar dan pendidik yang berada di zona oranye dan merah harus tetap melaksanakan pembelajaran dari rumah. 

Khusus bagi peserta didik pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang memerlukan pembelajaran praktik, maka diizinkan untuk datang ke sekolah dengan tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat. 

Dia pun mengingatkan, pembukaan kembali satuan pendidikan untuk pelaksanaan tatap muka harus dilakukan secara bertahap. Untuk satuan pendidikan umum dari jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) dan SMK, tatap muka dilaksanakan dengan jumlah peserta didik sebanyak 30-50 persen dari kapasitas kelas.

Sementara itu, untuk sekolah luar biasa (SLB) dan pendidikan anak usia dini (PAUD)/taman kanak-kanak (TK), jumlah murid maksimal dalam satu kelas sebanyak 5 peserta didik.

Untuk madrasah dan sekolah berasrama di zona hijau dan zona kuning dapat membuka asrama dan melakukan pembelajaran tatap muka sejak masa transisi. Kapasitas asrama dengan jumlah peserta didik kurang dari atau sama dengan 100 orang pada masa transisi bulan pertama adalah 50 persen, bulan kedua 100 persen, kemudian terus dilanjutkan 100 persen pada masa kebiasaan baru.

Untuk kapasitas asrama dengan jumlah peserta didik lebih dari 100 orang, pada masa transisi bulan pertama 25 persen, dan bulan kedua 50 persen, kemudian memasuki masa kebiasaan baru pada bulan ketiga 75 persen, dan bulan keempat 100 persen. 

Ainun menuturkan pengawasan yang ketat, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan satuan tugas penanganan Covid-19 akan terus dilaksanakan guna memantau perkembangan implementasi kebijakan ini. 

"Kemendikbud, Kemendagri, Kemenag dan Kemenkes serta Satuan Tugas Penanganan Penyebaran Covid-19 akan terus melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala. Jika ada indikasi tidak aman atau zonanya berubah warna, maka sekolah tersebut wajib ditutup," tegas Ainun. 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Kurikulum Khusus di Masa Darurat

 

Bersamaan dengan dikeluarkannya penyesuaian SKB empat menteri, Kemendikbud juga meluncurkan kurikulum khusus untuk pembelajaran di masa darurat. 

Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Perbukuan (Kabalitbangbuk) Kemendikbud, Totok Suprayitno mengungkapkan, berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19, penuntasan kurikulum tidak diwajibkan di tengah pandemi ini. 

"Beberapa sekolah yang sebenarnya sudah mengimplementasikan kurikulum mandiri melalui pengurangan dan hanya mengambil materi yang esensial. Inilah yang kami lakukan dalam kurikulum khusus ini. Namun ini bukan paksaan melainkan pilihan. Jadi ada tiga pilihan yang bisa diambil yaitu mengikuti kurikulum biasa atau kurikulum khusus atau kurikulum mandiri," jelas Totok. 

Untuk mengurangi risiko hilangnya pengalaman belajar, Kemendikbud juga meluncurkan modul. Kebijakan ini dikeluarkan berdasarkan survei di mana peserta didik jenjang bawah kesulitan belajar mandiri melalui buku teks. Materi dalam bentuk modul ini mudah dipahami karena berbasis kegiatan. Modul ini disiapkan bagi peserta didik, pendidik dan orangtua agar masing-masing memiliki acuan terutama bagi para orang tua agar tidak mengalami kebingungan dalam mendampingi anak-anak mereka. 

Selanjutnya, Totok menerangkan, kegiatan yang terdapat dalam modul merupakan kegiatan sehari-hari seperti memasak atau berkebun. Totok mempersilakan orangtua untuk mengembangkan kegiatan berdasarkan keseharian yang terinspirasi dari modul tersebut. 

Para pendidik, lanjut Totok, perlu melakukan assesment diagnostik terhadap setiap peserta didik karena capaian setiap anak berbeda. Selain itu, ada kesenjangan yang disebabkan beberapa faktor.

"Ada anak yang mengalami kesulitan konektivitas, tidak didampingi orangtua, perbedaan status sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu ada risiko anak itu tertinggal. Instrumen assesment sudah kami sediakan tetapi jika guru mau membuat instrumen sendiri, kami persilakan," pungkas Totok. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya