Liputan6.com, Jakarta Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab mengundurkan diri dari jabatannya usai ledakan dahysat di Beirut berujung pada demonstrasi. Ia juga membubarkan pemerintahannya untuk memenuhi protes massa yang menuntut otoritas setempat bertanggung jawab atas ledakan yang menghancurkan Beirut.
Diab, lewat pidatonya, juga menyebut ledakan itu dan aksi kemarahan warga merupakan buah dari korupsi rezim terdahulu yang telah mendarah daging di Lebanon.
Ledakan yang disebabkan lebih dari 2.000 ton amonium nitrat di gudang pelabuhan pada 4 Agustus itu menyebabkan 163 orang tewas dan lebih dari 6.000 warga luka-luka, serta merusak sebagian besar bangunan di Beirut, Ibu Kota Negara Lebanon.
Insiden itu memperburuk krisis ekonomi dan politik yang telah terjadi selama berbulan-bulan di Lebanon.
"Hari ini kami mengikuti kehendak masyarakat yang menuntut tanggung jawab otoritas terkait terhadap bencana ini, (mereka) yang memilih untuk bersembunyi selama tujuh tahun, (dan kami akan mengikuti) keinginan mereka yang menuntut perubahan," kata Diab saat mengumumkan pengunduran dirinya.
Baca Juga
Advertisement
Presiden Lebanon Michel Aoun menerima pengunduran diri pemerintahan Diab. Namun ia meminta mereka untuk sementara ini menjadi pelaksana tugas sampai kabinet baru terbentuk, demikian isi pengumuman otoritas setempat sebagaimana disiarkan lewat televisi.
Pemerintahan Diab terbentuk pada Januari dan ia mendapat dukungan dari kelompok Hizbullah di Iran.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Demonstrasi Rusuh
Jelang pengunduran diri PM Diab, protes massa di Kota Beirut memasuki hari ketiga. Beberapa pengunjuk rasa melempar batu ke aparat keamanan yang berjaga di pintu masuk depan gedung parlemen.
Aparat pun membalas dengan melempar gas air mata, seperti dilansir Antara, Selasa (11/8/2020).
Bagi banyak warga Lebanon, ledakan itu jadi peristiwa terakhir yang menyulut kesabaran rakyat, mengingat mereka menghadapi krisis yang disebabkan oleh terpuruknya sektor ekonomi, korupsi, dan tata kelola pemerintahan yang buruk. Rangkaian kekecewaan itu yang akhirnya mendorong warga turun ke jalan menuntut perubahan hingga ke akar.
"Seluruh rezim harus berubah. Tidak ada artinya ada pemerintahan baru (jika rezim tak berubah)," kata seorang insinyur asal Beirut, Joe Haddad. "Kami menuntut segera ada pemilihan umum," imbuhnya.
Sistem pemerintahan di Lebanon mewajibkan Presiden Aoun untuk berdiskusi dengan parlemen sebelum menentukan perdana menteri yang akan menggantikan Diab. Ia diwajibkan untuk mengusulkan calon perdana menteri dan mengumpulkan dukungan dari anggota parlemen.
Sebagian besar masyarakat telah lama menuntut pemerintahan yang dipimpin PM Diab dibubarkan. Sejumlah menterinya mundur lebih dulu pada akhir pekan lalu.
Sementara sisanya, termasuk menteri keuangan, berencana mengikuti langkah tersebut, kata beberapa sumber di kalangan kementerian dan pengamat politik.
Diab pada Sabtu 8 Agustus mengatakan ia meminta pemilihan parlemen diselenggarakan lebih cepat.
Advertisement
Penyelidikan Dewan Yudisial
Presiden Aoun mengatakan bahan peledak itu disimpan dalam kondisi yang tidak aman selama bertahun-tahun di pelabuhan. Ia juga menjelaskan pihaknya akan mendalami beberapa kemungkinan sebab ledakan, di antaranya kecelakaan, kelalaian, atau pengaruh dari luar.
Kabinet memutuskan menyerahkan penyelidikan itu ke Dewan Yudisial, kata kantor berita resmi NNA dan seorang sumber di kementerian. Dewan Yudisial merupakan lembaga peradilan tertinggi di Lebanon yang vonisnya tidak dapat naik banding.
Dewan Yudisial biasanya menangani kasus keamanan tingkat tinggi.
Sementara itu, masyarakat Lebanon masih berjuang untuk menghadapi luasnya dampak dari ledakan yang menghancurkan keseluruhan wilayah kota.
"Ekonomi telah terpuruk dan saat ini saya tidak mampu lagi mencari uang," kata Eli Abi Hanna, seorang warga setempat yang rumah dan bengkel mobilnya hancur akibat ledakan. "Lebih mudah mencari uang saat perang sipil. Para politikus dan krisis ekonomi telah merusak segalanya."
Pihak militer pada Senin 10 Agustus mengumumkan lima jasad telah ditemukan dari reruntuhan sehingga total korban tewas mencapai 163. Upaya penyelamatan dan pencarian masih berlanjut sampai saat ini.
Aksi protes antipemerintah selama dua hari terakhir merupakan unjuk rasa terbesar sejak Oktober tahun lalu. Saat itu, para demonstran kecewa karena mereka meyakini korupsi yang masif, tata kelola pemerintahan buruk, dan rendahnya tingkat akuntabilitas jadi biang krisis ekonomi di Lebanon.
Sebuah pertemuan dari lembaga-lembaga donor internasional pada Minggu berjanji akan mengumpulkan dana kurang lebih 253 juta euro (sekitar Rp4,36 triliun) untuk membiayai bantuan kemanusiaan langsung. Namun, negara-negara asing yang memberi dana menuntut pemerintah setempat transparan saat menggunakan bantuan tersebut.
Beberapa warga ragu rezim akan berubah, mengingat sistem politik sektarian telah mendominasi di Lebanon sejak berakhirnya konflik pada 1975-1990.
"Tidak akan ada yang berhasil, orang-orang (di pemerintahan) masih sama. Ini merupakan jaringan mafia," kata Antoinette Baaklini, seorang pegawai perusahaan listrik yang kantornya hancur akibat ledakan.