HEADLINE: Uji Calon Vaksin Covid-19 Sinovac di Indonesia, Optimistis Segera Diproduksi?

Kebutuhan vaksin covid-19 mendesak dibutuhkan seluruh dunia, termasuk Indonesia. Uji tahap III vaksin Sinovac pun dilakukan. Apakah vaksin itu akan lolos uji hingga diproduksi massal?

oleh Muhammad AliAdy AnugrahadiYopi Makdori diperbarui 12 Agu 2020, 16:30 WIB
Ilustrasi Foto Vaksin (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Joko Widodo atau Jokowi terbang ke Bandung, Jawa Barat untuk melakukan kunjungan kerja. Melalui Bandara Halim Perdanakusuma, pesawat kepresidenan yang ditumpangi Presiden terbang pada pukul 10.00 WIB menuju Pangkalan TNI AU Bandara Husein Sastranegara.

Di Bandung, Jokowi meninjau langsung pelaksanaan uji coba calon vaksin corona yang berlangsung di Rumah Sakit Pendidikan (RSP) Universitas Padjajaran, Jalan Eyckman, Kota Bandung, Jawa Barat.

Calon vaksin Covid-19 yang diuji coba ini merupakan hasil dari pengembangan yang dilakukan oleh Bio Farma dengan perusahaan asal China, Sinovac. Setelah melalui tahap pertama dan kedua di China, sebanyak 2.400 vaksin kemudian dibawa ke Indonesia pada bulan lalu untuk diuji klinis di Bandung.

Kebutuhan vaksin untuk menangkal corona Covid-19 mendesak diperlukan seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Virus ganas ini telah menyerang seluruh sendi kehidupan masyarakat dan juga menelan banyak korban jiwa. Namun apakah uji coba calon vaksin ini akan berbuah manis sehingga dapat diproduksi secara massal?

Ahli Epidemiologi dan Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, Pandu Riono menilai bahwa uji coba calon vaksin ini belum tentu menghasilkan kabar baik bagi pengadaan obat penawar Covid-19 di Indonesia. Karena menurutnya, calon vaksin ini belum tentu lulus uji.

"Baru calon kan kenapa harus diproduksi. Belum tentu ini lolos," ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa (11/8/2020).

Pandu menjelaskan ada beberapa metode dalam membunuh virus ini. Yaitu melalui pelemahan virus, mematikannya, atau mengambil dari protein virus tersebut.

"Ada beberapa metode. Apa yang mau disuntikkan ke tubuh manusia sehingga manusia akan memberikan reaksi kekebalan nanti kalau sudah pastikan misalnya Sinovac dari China, itu kan virus yang dimatikan. Dan virus dimatikan kemudian disuntikkan ke orang. Harapanya orang itu akan membentuk kekebalan," ujar dia.

Infografis Menanti Hasil Uji Klinis Calon Vaksin Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Pada fase pertama, ujar Pandu, reaksi vaksin dapat dilihat dari segi kekebalan. Bila kekebalan itu muncul, maka akan masuk pada kelompok lebih banyak lagi untuk melihat dosis yang akan disuntikkan kepada orang.

"Apakah aman tidak. Kalau fase dua dilewati sudah tahu dosisnya sudah aman. Nah ini uji ke fase tiga. Sekarang fase tiga ini adalah mau melihat efek atau manfaatnya. Jadi kita membandingkan 1.620 orang Indonesia yang mau dijadikan relawan separuhnya akan disuntikkan kandidat vaksin. Separuhnya disuntikkan kandidat bohongan yang disebut sebagai kandidat placebo. Nah harapannya nanti, kalau selama enam bulan pengamatan kalau kandidat vaksin bermanfaat, jadi terinfeksinya lebih sedikit dibandingkan yang placebo," jelas dia.

Menurut Pandu, tidak semua orang memiliki genetik yang sama. Dengan begitu, belum diketahui variabalitas respons imun dari para relawan uji coba calon vaksin Covid-19 ini. Untuk itu, ia meminta agar pemerintah tidak memberikan angin surga terlebih dahulu karena saat ini calon vaksin tersebut masih baru sebatas tahap uji.

"Masih belum tahu makanya jangan terlalu digembor-gemborkan, seakan akan kita akan memproduksi vaksin, kita belum tahu, (karena) kita masih dalam taraf penguji coba," jela dia.

Sementara itu Ahli Farmasi dari Universitas Jenderal Soedirman, Heny Ekowati menilai bahwa proses pengujian vaksin Sinovac tahap satu dan dua telah diakui oleh para ilmuwan. Hal ini lantaran penelitian tahapan vaksin iu telah dimuat dalam laporan Jurnal Lancet, sebuah jurnal pengobatan umum mingguan paling prestisius di dunia. Ia pun menilai, vaksin yang diuji coba saat ini aman digunakan manusia.

"Namun, ada masalah lain yaitu apakah vaksin ini efektif? Ini yang masih menjadi pertanyaan besar," ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa (11/8/2020).

Karena menurut dia, dari laporan yang ada disebutkan virus bermutasi pada bagian protein S. Artinya virus ini secara struktur berubah. "Jika demikian, maka vaksin yang digunakan pada pasien dengan infeksi virus yang berbeda, tidak akan efektif," ujar dia.

Heny menuturkan, butuh waktu lama dalam pembuatan vaksin penangkal suatu virus. Tahap pertama berupa penelitian yang dimulai dari in vitro, pada hewan (preklinik) dan uji klinis pada manusia. Hal itu berlangsung dalam empat fase.

"Waktu yang diperlukan bisa bertahun-tahun karena proses uji praklinik sampai uji kliniknya yang panjang. Selain itu, sifat virus yang mudah sekali bermutasi menjadikan penemuan vaksin semakin sulit. Vaksin cacar misalnya, perlu 15 abad," terang dia.

Untuk itu, dia menilai vaksin Sinovac yang sudah memasuki fase tiga ini belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Karena vaksin itu kemungkinan diperoleh dari virus di awal pandemic di Wuhan.

"Karena virus mudah sekali bermutasi, maka kemungkinan besar virus tidak akan efektif digunakan di Indonesia," ucap dia.

Untuk itu, dia belum dapat memastikan apakah vaksin Sinovac ini dapat diproduksi secara massal atau tidak. Karena harus menunggu uji klinik fase tiga. Jika efektif, vaksin ini bisa diproduksi massal. Namun bila tidak menunjukkan keefektifan, ia pun menyodorkan sebuah saran.

"Saran saya, isolasi virus dari pasien di Indonesia. Gunakan virus sebagai bibit vaksin. Lakukan uji praklinik dan uji klinik di Indonesia. Produksi massal, insyallah kita bisa," ujar dia.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Optimistis Diproduksi Tahun Depan

Saat meninjau penyuntikkan perdana vaksin di Universitas Padjajaran Jawa Barat, Presiden Jokowi berharap pengujian vaksin tahap III ini dapat selesai dalam enam bulan. Sehingga, vaksin ini dapat segera diproduksi dan dibagikan ke masyarakat pada Januari 2021.

"Kita harapkan nanti Insyaallah di bulan Januari kita sudah bisa memproduksi dan sekaligus juga kalau produksinya sudah siap langsung diberikan vaksinasinya kepada seluruh masyarakat di Tanah Air," kata Jokowi, Selasa (11/8/2020).

Meski Jokowi menargetkan vaksin COVID-19 sudah bisa diproduksi pada Januari 2021, Koordinator Tim Uji Klinik Vaksin COVID-19 Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Kusnandi Rusmil mengatakan, vaksin kemungkinan baru bisa diproduksi pada Februari 2021. 

"Mungkin Januari belum bisa diproduksi, Februari lah," ujar Kusnandi ketika dihubungi Liputan6.com, Senin (10/8/2020).

Hal itu karena ada serangkaian proses yang harus dipenuhi usai uji klinis fase tiga rampung dilaksanakan, seperti membuat laporan kepada perusahaan pembuat vaksin serta badan penelitian dan pengembangan kesehatan.

"Setelah uji klinis fase tiga, saya bikin laporan. Setelah itu, saya bikin laporan ke Bio Farma. Lalu, Bio Farma harus melaporkan ke Litbangkes. Nah, nanti Litbangkes yang menentukan, ini bisa beredar apa enggak," Kusnandi menjelaskan.

Di dalam negeri, vaksin COVID-19 harus mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk bisa dijual. Sementara, untuk bisa menjual vaksin ke negara lain, Kusnandi mengatakan, Bio Farma harus mendapat izin dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Vaksin ini tetap melalui fase pertama, kedua, dan ketiga. Jadi tidak dipercepat. Setelah lolos fase tiga, mesti masuk multicenter. Kalau multicenter bagus, ya dengan izin Badan POM dan WHO, vaksinnya bisa dijual," kata Kusnandi.

Pada uji klinis tahap ketiga, akan dilihat keamaan dan imunogenisitas atau respons imun tubuh individu terhadap vaksin yang diberikan. Selain itu, juga dilihat efikasi atau manfaat bagi individu yang diimunisasi.

Kusnandi mengatakan, jika dilihat dari uji klinis vaksin COVID-19 Sinovac fase pertama dan kedua yang dilakukan di Wuhan, kadar zat anti COVID-19 sudah menunjukkan hasil yang bagus, yakni mencapai 97 dan 96 persen. 

Kusnandi menjelaskan, uji klinis fase ketiga memerlukan relawan yang besar, lebih besar dari fase pertama dan kedua guna melihat keamanan dan imunogenisitas kandidat vaksin.

Karenanya, untuk uji klinis fase ketiga ini, tidak hanya melibatkan Indonesia, melainkan beberapa negara lain seperti Brasil, Banglades, dan UEA untuk melihat dampaknya secara lebih luas. Nantinya, hasil penelitian dari uji klinik fase tiga dari berbagai negara yang berpartisipasi tersebut akan digabungkan.

"Menurut saya, efikasi itu dilihat dari imunogenisitas. Dilihat kadar zat anti. Kalau saya lihat, kadar zat anti yang ada, yang kemarin di Wuhan itu, uji klinis fase pertama dan dua, itu bagus, sudah 97 persen dan 96 persen. Bagus hasilnya. Makanya kita mau coba dengan yang lebih luas lagi, akan tetap segitu enggak. Kalau segitu, ya bagus datanya," terang dia.

Hingga saat ini, Kusnandi belum melihat adanya kendala dalam pengembangan vaksin COVID-19 Sinovac di Indonesia. Menurutnya, pengembangan vaksin harus didukung mengingat sampai sekarang belum ditemukan obat untuk mengatasi infeksi COVID-19. Dengan tersedianya vaksin, masyarakat bisa kebal terhadap infeksi virus SARS-CoV-2.

"Kalau misalnya sudah 70 persen dari populasi yang divaksin, itu sudah timbul herd immunity. Jadi, kalau (terbentuk) herd immunity, 30 persen orang yang tidak divaksin juga ikut terlindungi," ujarnya.

Dalam fase uji klinis tahap tiga ini, individu yang divaksin belum banyak, karenanya Kusnandi mengingatkan agar masyarakat tetap melaksanakan protokol kesehatan seperti menjaga jarak sosial, mencuci tangan, dan menggunakan masker.

 


Persyaratan Relawan

Uji klinis vaksin Sinovac tahap ketiga yang berlangsung di Bandung ini hanya melibatkan relawan di Kota Kembang saja. Hal itu agar memudahkan tim riset untuk memantau kondisi kesehatan para relawan. Para relawan akan selalu dipantau kondisinya secara berkala.

"Harus orang Bandung (tinggal di Bandung) supaya pemantauannya mudah," kata Ketua Tim Peneliti Uji Klinis Vaksin Covid-19 dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Padjadjaran (Unpad), Kusnandi Rusmil dalam konferensi pers di RSP Unpad, Bandung, Rabu 22 Juli 2020 lalu

FK Unpad telah menyiapkan tim yang akan selalu mengecek kesehatan para relawan. Mulai dari efek samping yang dirasakan, hingga akan didampingi bila perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter.

"Terus kami pantau ketat. Dalam tiga hari, lima hari, 14 hari, dan seterusnya. Kalau dia sakit, apakah gejala dari vaksin itu atau bukan. Nanti akan diperiksa ke dokter. Saya yang akan tanya lebih dalam lagi ke dokter itu secara langsung," ujar Kusnandi.

Relawan yang akan direkrut dalam uji coba ini ditargetkan mencapai 1.620 orang. Namun hingga 10 Agustus, tercatat ada 1.020 calon relawan yang mendaftarkan diri untuk mengikuti uji vaksin dari Tiongkok itu.

Sedangkan, manajer Lapangan Tim Riset Uji Klinis Vaksin COVID-19 Sinovac, dr Eddy Fadliyana mengatakan, pelaksanaan uji vaksin dilakukan pada Selasa 11 Agustus 2020. Pada hari pertama itu, sejumlah relawan menjalani proses penyuntikan di enam lokasi. Yakni di RSP Unpad, Balai Kesehatan Unpad Dipatiukur, Puskesmas Dago, Puskesmas Sukapakir, Puskesmas Garuda, dan Puskesmas Ciumbuleuit.

"Sebetulnya sama saja, hanya pemeriksaan di RSP itu, tes usapnya (swab test) didahulukan. Sama saja sih prosedurnya, tidak ada yang berbeda, besok RSP imunisasi, kalau di tempat lain baru tahap awal," kata Eddy di Bandung, Senin (10/8/2020).

Menurut Eddy, semua tempat yang ditunjuk menjadi lokasi uji vaksin Covid-19 ini dipastikan sudah siap. Mulai dari sarana prasarananya sudah sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku.

Dari seluruh calon relawan yang sudah mendaftar, menurutnya tak menutup kemungkinan sudah ada ASN yang ikut. Karena tes ini terbuka untuk umum. Bahkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga ikut mendaftar sebagai relawan.

"Betul (sudah mendaftar). Sama dengan masyarakat biasa," ucap Eddy saat dikonfirmasi wartawan, Sabtu 8 Agustus 2020.

Meski begitu, Eddy mengaku belum mendapatkan detail informasi terkait kapan dan di mana Emil mendaftarkan diri menjadi relawan uji klinis vaksin Covid-19.

"(Datanya) lagi dimasukin ke dalam sistem. Nanti baru ketahuan di mana tempatnya. Hanya yang saya lihat namanya memang ada," ujar Eddy.

Meski terbuka untuk umum, menurutnya ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi. Yaitu calon relawan berusia dalam rentang 18 hingga 59 tahun dan dalam keadaan sehat tanpa penyakit bawaan.

Selain itu, relawan juga bukan wanita yang hamil, menyusui atau berencana hamil selama periode penelitian. Relawan tidak memiliki riwayat terinfeksi Covid-19 (akan dilakukan tes terhadap apus tenggorokan dan rapid test untuk mengetahui apakah Anda sedang atau pernah terinfeksi Covid-19).

Relawan juga tidak mengalami penyakit ringan, sedang atau berat, kelainan atau penyakit kronis, kelainan darah, terutama penyakit infeksi dan demam (suhu 37,5 derajat celcius).

Relawan tidak memiliki riwayat penyakit asma, alergi terhadap vaksin. Relawan juga tidak memiliki riwayat penyakit pembekuan darah yang tidak terkontrol atau kelainan darah. Tidak memiliki kelainan atau penyakit kronis (penyakit gangguan jantung yang berat tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol, diabetes, penyakit ginjal dan hati, tumor, penyakit epilepsi atau ayan atau penyakit gangguan saraf, dan lainnya).

Relawan juga sebaiknya tidak memiliki riwayat penyakit gangguan sistem imun dan pada 4 minggu terakhir tidak menerima terapi yang dapat mengganggu respons imun, misalnya imunoglobulin intravena, produk yang berasal dari darah, atau terapi kortikosteroid jangka panjang (kurang dari 2 minggu).

Relawan yang dibutuhkan tidak mendapat imunisasi apapun dalam waktu 1 bulan ke belakang atau akan menerima vaksin lain dalam waktu 1 bulan ke depan. Dalam 14 hari sebelum dimulainya penelitian, tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien terinfeksi virus corona.

Serta calon relawan juga tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien yang menunjukkan demam atau gejala sakit saluran pernapasan yang berdomisili di daerah atau komunitas yang terdampak Covid-19.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya