72 Persen UMKM di Jabodetabek Masih Belum Melek Teknologi

Meski tinggal di kota besar, omzet UMKM di Jabodetabek masih di bawah Rp 500 juta setahun

oleh Tira Santia diperbarui 11 Agu 2020, 15:00 WIB
Pengunjung melihat produk dalam pameran Karya Kreatif Indonesia (KKI) di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (12/7/2019). Pameran ini menampilkan produk-produk UMKM RI mulai dari kain, pakaian, tas, hingga berbagai kuliner seperti kopi buatan anak negeri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Survey Katadata Insight Center (KIC) mengatakan sebanyak 72 persen Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Jabodetabek per Juni 2020 mencatat omzet di bawah Rp 500 juta per tahun.

Direktur Riset Katadata Insight Center (KIC) Dr. Mulya Amri mengatakan 43 persen diantaranya omzet usaha mikro bahkan di bawah Rp 100 juta.

“Dari jenis produk usahanya 50 persen lebih adalah eceran, seperti sembako, pulsa, makanan dan minuman,” kata Mulya dalam seminar virtual Jaga UMKM Indonesia, Selasa (11/8/2020).

Sementara dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) yang mereka pekerjakan, hampir 90 persen itu karyawannya dibawah 10 orang, 14 persen tidak punya karyawan sama sekali, dan 73 persen diantaranya hanya mempekerjakan 1-10 karyawan saja.

Lalu untuk jangkauan pasar sebanyak 81 persen hanya berjualan di lingkungan sekitar. Namun mereka juga ada yang ke skala besar kebanyakan 67 persen di dalam kota dan skalanya lokal, seperti usaha rumahan, pinggir jalan, dan pasar.

Kemudian target dan cara meraih konsumennya, mereka kebanyakan masyarakat langsung. Ada juga yang menjual produknya ke UMKM lain bahkan ke industri atau pabrik perusahaan besar.

“Dari sini kita melihat ada cukup banyak kesempatan memperluas pembeli dari produk UMKM,” ujarnya.

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Banyak Jualan Offline

Pedagang kerajinan menunggu pembeli saat pameran UMKM Export BRILian Preneur 2019 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (20/12/2019). UMKM Export BRILian Preneur 2019 berlangsung hingga 22 Desember. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kebanyakan dari UMKM tersebut masih belum melek teknologi atau menjual produknya secara offline melalui toko sendiri, yakni sebesar 66,5 persen. Sementara UMKM yang menggunakan media sosial untuk menjajakan produknya baru 62,1 persen, dan 26,2 persen lainnya menjual di marketplace.

“Kita melihat ada gape yang tinggi yang memasarkan di e-commerce dan medsos,” ujarnya.

Lanjutnya, jika dilihat kondisi UMKM sebelum pandemi, 93 persen menyatakan usahanya dalam kondisi baik. Namun setelah pandemi, hanya 14 persen yang menyatakan hal serupa. Dikarenakan 56,8 persen menyatakan kondisinya buruk setelah pandemi.

Hal tersebut ditunjukkan dengan omzet pelaku UMKM yang hampir semua menyatakan omsetnya menurun lebih dari 90 persen, 31 persen bilang omzetnya turun 30 persen, dan 64 persen bilang lebih dari 30 persen omzetnya turun.

“Walaupun kita lihat ada juga yang meningkat, tapi kebanyakan yang menurun.Sebagaimana yang kita lihat kondisi usahanya banyak yang negatif karena  covid-19 ini, 93 persen menyatakan mereka terdampak negatif, dan 59 persen  menyebut dampaknya positif tergantung jenis usahanya,”ujarna.

Ternyata strategi yang digunakan oleh UMKM yang masih bertahan adalah efisiensi dalam hal produksi, dengan mengurangi produksinya baik produk barang dan jasanya.

 “SDM baik jumlah karyawan dan jam kerja sebanyak  50 persen mereka sudah mengurangi jumlah pekerjanya dan jam kerja. Ini tentunya menjadi perhatian kita banyak dari rekan kita yang penghasilannya berat,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya