Koordinator Uji Klinis Vaksin COVID-19 Sinovac: Mungkin Baru Bisa Diproduksi Februari 2021

Di dalam negeri, vaksin COVID-19 harus mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk bisa dijual.

oleh Windi WicaksonoDyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 11 Agu 2020, 19:58 WIB
Sampel vaksin COVID-19 nonaktif di Sinovac Biotech Ltd. Beijing, China. (Xinhua/Zhang Yuwei)

Liputan6.com, Jakarta Uji klinis tahap tiga vaksin COVID-19 Sinovac di Bandung mulai dilaksanakan hari ini, Selasa, 11 Agustus 2020. Sejumlah relawan menjalani proses penyuntikan perdana vaksin COVID-19 di enam lokasi yakni di Gedung Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran, Balai Kesehatan Unpad, dan empat Puskesmas di Bandung.

Proses penyuntikan vaksin sebagai bagian dari uji klinis tahap tiga itu disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri BUMN Erick Thohir, Kepala BPOM Penny K Lukito, serta pihak terkait lainnya.

Jokowi menargetkan uji klinis fase tiga atas kandidat vaksin COVID-19 atas kerja sama PT Bio Farma dengan perusahaan vaksin asal Cina, Sinovac itu bisa selesai dalam waktu enam bulan. Bila kandidat vaksin ini lolos uji klinis tanpa efek samping, diharapkan bisa segera diproduksi massal oleh Bio Farma.

"Kita harapkan nanti di bulan, Insyaallah, di bulan Januari kita sudah bisa memproduksi dan sekaligus juga kalau produksinya sudah siap langsung diberikan vaksinasinya kepada seluruh masyarakat di Tanah Air," jelas Jokowi.

Meski Jokowi menargetkan vaksin COVID-19 sudah bisa diproduksi pada Januari 2021, Koordinator Tim Uji Klinik Vaksin COVID-19 Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Kusnandi Rusmil mengatakan, vaksin kemungkinan baru bisa diproduksi pada Februari 2021. 

"Mungkin Januari belum bisa diproduksi, Februari lah," ujar Kusnandi ketika dihubungi Liputan6.com, Senin (10/8/2020).

Hal itu karena ada serangkaian proses yang harus dipenuhi usai uji klinis fase tiga rampung dilaksanakan, seperti membuat laporan kepada perusahaan pembuat vaksin serta badan penelitian dan pengembangan kesehatan.

"Setelah uji klinis fase tiga, saya bikin laporan. Setelah itu, saya bikin laporan ke Bio Farma. Lalu, Bio Farma harus melaporkan ke Litbangkes. Nah, nanti Litbangkes yang menentukan, ini bisa beredar apa enggak," Kusnandi menjelaskan.

Di dalam negeri, vaksin COVID-19 harus mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk bisa dijual. Sementara, untuk bisa menjual vaksin ke negara lain, Kusnandi mengatakan, Bio Farma harus mendapat izin dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Vaksin ini tetap melalui fase pertama, kedua, dan ketiga. Jadi tidak dipercepat. Setelah lolos fase tiga, mesti masuk multicenter. Kalau multicenter bagus, ya dengan izin Badan POM dan WHO, vaksinnya bisa dijual," kata Kusnandi.

 

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:


Hasil Uji Klinik Tahap 1 dan 2 Menunjukkan Hasil Baik

Jokowi melihat langsung uji klinis Vaksin COVID-19 atau Vaksin Corona Sinovac hari pertama di Bandung. Tampak, Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto dan Menteri BUMN Erick Tohir mendampingi Presiden Jokowi. (Foto: Sekretariat Presiden)

Pada uji klinis tahap ketiga, akan dilihat keamaan dan imunogenisitas atau respons imun tubuh individu terhadap vaksin yang diberikan. Selain itu, juga dilihat efikasi atau manfaat bagi individu yang diimunisasi.

Kusnandi mengatakan, jika dilihat dari uji klinis vaksin COVID-19 Sinovac fase pertama dan kedua yang dilakukan di Wuhan, kadar zat anti COVID-19 sudah menunjukkan hasil yang bagus, yakni mencapai 97 dan 96 persen. 

Kusnandi menjelaskan, uji klinis fase ketiga memerlukan relawan yang besar, lebih besar dari fase pertama dan kedua guna melihat keamanan dan imunogenisitas kandidat vaksin.

Karenanya, untuk uji klinis fase ketiga ini, tidak hanya melibatkan Indonesia, melainkan beberapa negara lain seperti Brasil, Banglades, dan UEA untuk melihat dampaknya secara lebih luas. Nantinya, hasil penelitian dari uji klinik fase tiga dari berbagai negara yang berpartisipasi tersebut akan digabungkan.

"Menurut saya, efikasi itu dilihat dari imunogenisitas. Dilihat kadar zat anti. Kalau saya lihat, kadar zat anti yang ada, yang kemarin di Wuhan itu, uji klinis fase pertama dan dua, itu bagus, sudah 97 persen dan 96 persen. Bagus hasilnya. Makanya kita mau coba dengan yang lebih luas lagi, akan tetap segitu enggak. Kalau segitu, ya bagus datanya."


Tidak Ada Kendala Berarti

Hingga saat ini, Kusnandi belum melihat adanya kendala dalam pengembangan vaksin COVID-19 Sinovac di Indonesia. Menurutnya, pengembangan vaksin harus didukung mengingat sampai sekarang belum ditemukan obat untuk mengatasi infeksi COVID-19. Dengan tersedianya vaksin, masyarakat bisa kebal terhadap infeksi virus SARS-CoV-2.

"Kalau misalnya sudah 70 persen dari populasi yang divaksin, itu sudah timbul herd immunity. Jadi, kalau (terbentuk) herd immunity, 30 persen orang yang tidak divaksin juga ikut terlindungi," ujarnya.

Dalam fase uji klinis tahap tiga ini, individu yang divaksin belum banyak, karenanya Kusnandi mengingatkan agar masyarakat tetap melaksanakan protokol kesehatan seperti menjaga jarak sosial, mencuci tangan, dan menggunakan masker.

Infografis Menguji Calon Vaksin Covid-19 Sinovac. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya