Liputan6.com, Washington, D.C. - Senator Kamala Harris dari California terpilih menjadi cawapres bagi Joe Biden. Mereka berdua akan melawan calon petahana Presiden Donald Trump dan Wapres Mike Pence pada pilpres AS di November mendatang.
Pemilihan Kamala Harris sesuai dengan janji Joe Biden untuk memilih cawapres perempuan dan berlatar belakang minoritas. Kamala Harris merupakan keturunan India dari sisi ibu dan Jamaika dari sisi ayah.
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan profil di situs resminya, Kamala Harris lahir di Oakland, California, pada 20 Oktober 1964. Ia meniti karier di bidang hukum dan pernah bekerja di kantor kejaksaan California.
Pada 2017, Kamala Harris terpilih menjadi senator California. Ia menyebut prestasinya yakni melindungi pemilik rumah dari penyitaan, membela pernikahan LGBT, mendukung layanan kesehatan terjangkau, serta pro-lingkungan hidup.
Ibu dari Kamala Harris adalah Shyamala Goppalan Harris yang merupakan seorang aktivis dan peneliti kanker. Shyamala lahir di Tamil Nandu, kemudian ia menuntut ilmu di University California di Berkeley (UC Berkeley).
Shyamala menikahi Donald Harris, seorang imigran kulit hitam dari Jamaika. Keduanya bercerai saat usia Kamala Harris masih belia.
Kamala Harris merupakan cawapres keturunan kulit hitam pertama di AS. Ia pun mendapat dukungan dari mantan Presiden Barack Obama.
"Saya telah mengenal Senator Kamala Harris sejak lama. Ia lebih dari siap untuk pekerjaan ini. Ia telah menghabiskan kariernya melindungi Konstitusi kita dan berjuang untuk orang-orang yang butuh keadilan," ujar Barack Obama via Twitter.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Intelijen AS: Hacker China Ingin Donald Trump Kalah Pilpres AS 2020
Intelijen Amerika Serikat mewaspadai serangan hacker China. Negara komunis itu dinilai tidak ingin Donald Trump kembali berkuasa pada Pilpres AS 2020.
Dilansir VOA Indonesia, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Robert O'Brien mengatakan bahwa China telah menarget infrastruktur pemilu AS menjelang pemilihan presiden 2020.
Komentar O'Brien itu tampaknya lebih kuat dari pernyataan yang dirilis Jumat lalu oleh Kantor Direktur Intelijen Nasional yang menyebut China "telah memperluas upaya berpengaruhnya," dan Rusia telah berupaya melecehkan kandidat Demokrat Joe Biden.
"Mereka ingin Presiden kalah," kata O'Brien kepada CBS dalam acara Face the Nation. "China - seperti Rusia dan Iran - terlibat dalam serangan dunia maya atas infrastruktur pemilu kita, dan sejumlah situs website."
China secara konsisten membantah klaim pemerintah AS sehubungan dengan upaya meretas sejumlah perusahaan, politisi, atau lembaga-lembaga pemerintah AS.
O'Brien menambahkan, Amerika menganggap peretas itu berusaha menyusup ke situs-situs daring milik menteri luar negeri di seluruh negara bagian, yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemilihan di tingkat lokal, dan pengumpulan data warga Amerika.
"Ini menjadi keprihatinan yang serius dan bukan hanya Rusia yan melakukannya," kata O’Brien lebih lanjut.
Dewan Keamanan Nasional tidak segera menanggapi permintaan untuk berkomentar.
Dewan itu sebelumnya menyatakan "musuh-musuh" itu berusaha untuk meretas komunikasi pribadi sejumlah kandidat politik Amerika dan
menembus sistem pemilu AS menjelang pemilihan November mendatang. China, katanya, lebih suka Presiden Donald Trump tidak memenangkan pemilihan kembali.
Advertisement