Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengeluarkan aturan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tanggal 6 Agustus 2020 terkait urusan pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana oleh instansi lain harus mendapatkan izin dari Jaksa Agung.
Tidak lama aturan tersebut muncul ke publik, kritik pun datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah menilai Kejagung mengeluarkan produk mencurigakan lantaran dibuat di tengah bergulirnya kasus Djoko Tjandra dan pemerikasaan oknum Jaksa yang terlibat dalam perkara itu.
Advertisement
Tidak sampai di situ, pencabutan pun mendadak diumumkan. Belum lagi, ada oknum internal Kejagung yang kini dikejar lantaran diduga membocorkan informasi tentang aturan itu lewat sosial media.
Berikut ini lima fakta terkait penerbitan aturan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 oleh Kejagung yang dirangkum oleh Liputan6.com, Rabu (12/8/2020).
1. Sudah Lama Dikaji
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono menyampaikan, aturan itu langsung ditandatangani oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin.
"Ini hanya pedoman saja. Tidak ada terkait dengan apa pun," tutur Hari saat dikonfirmasi, Selasa, (11/8/2020).
Menurut Hari, pedoman itu telah dikaji Kejagung cukup lama. Ada sekitar tiga bab dalam enam halaman.
Isinya menyatakan bahwa, pedoman tersebut bertujuan untuk memberikan pelindungan kepada jaksa untuk dapat menjalankan profesinya tanpa mendapatkan intimidasi, gangguan, godaaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji kebenarannya baik terhadap pertanggungjawaban perdata, pidana, mau pun pertanggungjawaban lainnya.
Kemudian, dasar hukum yang digunakan ada lima. Yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dasar hukum lainnya yaitu Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dan Peraturan Jaksa Agung Nomor:PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
Advertisement
2. Institusi Luar Wajib Lengkapi Berkas
Untuk cara memperoleh izin Jaksa Agung, instansi pemohon wajib mengajukan permohonan izin pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan jaksa yang disangka.
Permohonan itu harus dilengkapi dengan sejumlah dokumen persyaratan. Paling sedikit adalah surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, laporan atau pengaduan, resume penyidikan atau laporan perkembangan penyidikan, dan berita acara pemeriksaan saksi.
Setelahnya, berkas dokumen itu akan diperiksa oleh Asisten Umum Jaksa Agung, Asisten Khusus Jaksa Agung, atau pejabat lainnya yang sudah ditunjuk.
Pengecekan meliputi benar tidaknya ada dugaan tindak pidana yang dituduhkan kepada jaksa tersebut, atau hanya sebagai bentuk intimidasi dalam menjalankan profesinya. Hasil pemeriksaan akan dikoordinasikan dengan Jaksa Agung Muda.
Kejagung juga akan melakukan ekspose dengan melibatkan satuan kerja terkait. Dari situ, baru akan diputuskan izin untuk instansti pemohon paling lama dua hari kerja sejak persetujuan izin Jaksa Agung diterbitkan.
3. KPK Sebut Kejagung Picu Kecurigaan Publik
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menilai aturan baru yang dikeluarkan Jaksa Agung ST Burhanudin tentang tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan Terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana dapat menimbulkan sinisme dan kecurigaan publik.
Menurut Nawawi, aturan tersebut dinilai mencurigakan karena dibuat di tengah bergulirnya kasus Djoko Tjandra dan pemerikasaan oknum Jaksa yang terlibat dalam kasus tersebut.
"Mengeluarkan produk seperti ini di saat-saat pandemi kasus Djoko Tjandra dan pemeriksaan Jaksa Pinangki, sudah pasti akan menimbulkan sinisme dan kecurigaan publik," ujar Nawawi, Selasa (11/8/2020).
Burhanuddin diketahui mengeluarkan Pedoman Jaksa Agung Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan Terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana. Pedoman tersebut ditandatangani Jaksa Agung Burhanuddin pada 6 Agustus 2020.
Nawawi menyebut, aturan itu terlihat seperti menggerus upaya pemberantasan korupsi.
"Ya, itu tanggapan saya. Selintas jadi seperti menggerus semangat upaya pemberantasan korupsi," kata Nawawi.
Maka dari itu, menurut Nawawi menjadi wajar jika pedoman yang dikeluarkan Jaksa Agung ST Burhanuddin itu menimbulkan sinsme dan kecurigaan dari masyarakat.
"Saya hanya ingin menyatakan, wajar jika muncul kecurigaan dan sinisme publik terhadap produk-produk semacam itu ditengah ramainya kasus Djoko Tjandra yang ikut menyeret nama oknum jaksa," kata dia.
Advertisement
4. Terbit 6 Agustus 2020, Dicabut 11 Agustus 2020
Kejaksaan Agung (Kejagung) menarik kembali aturan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang pemberian izin Jaksa Agung atas pemanggilan, pemeriksaan, lenggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono menyampaikan, pihaknya mempertimbangkan terjadinya disharmoni antar bidang tugas, sehingga pemberlakuan pedoman saat ini dipandang belum tepat.
"Dinyatakan dicabut berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 163 Tahun 2020 tanggal 11 Agustus 2020 tentang Pencabutan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020," tutur Hari dalam keterangannya, Selasa (11/8/2020).
Diketahui, polemik Djoko Tjandra menyeret nama Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Jaksa Pinangki disebut beberapa kali bertemu dengan Djoko Tjandra saat masih berstatus buron.
Berdasarkan aturan Pedoman Jaksa Agung Nomor 7 Tahun 2020, ada sekitar 14 tata cara untuk memperoleh izin dari Jaksa Agung, jika institusi penegak hukum ingin memeriksa seorang jaksa yang diduga terlibat tindak pidana.
Dalam pedoman tersebut tertulis bahwa tujuan aturan itu dibuat untuk memberikan perlindungan kepada jaksa untuk dapat menjalankan profesinya tanpa mendapatkan intimidasi, gangguan, godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji kebenarannya baik terhadap pertanggungjawaban perdana, pidana maupun lainnya.
5. Kejagung Kejar Oknum Internal Penyebar Pedoman Nomor 7 Tahun 2020
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono, Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tersebut belum secara resmi dikeluarkan atau diedarkan oleh Biro Hukum Kejagung.
Sehingga beredarnya pedoman tersebut melalui media sosial diduga dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
"Oleh karena itu akan dilakukan penelusuran terhadap siapa yang menyebarkannya," jelas dia.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi, "Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Jaksa diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung", dalam pelaksanaannya menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.
"Sehingga perlu ditindaklanjuti dengan pedoman pelaksanaannya. Dan hal tersebut telah dilakukan kajian yang cukup lama, namun hingga saat ini masih diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi lebih lanjut dengan Kementerian Hukum dan HAM serta instansi terkait," Hari menandaskan.
Advertisement