Waspada, Kredit Bermasalah Gelombang Dua

Industri pembiayaan (multifinance) tak luput dari dampak pandemi virus corona (Covid-19)

oleh Tira Santia diperbarui 12 Agu 2020, 15:02 WIB
foto motor_jgn dipake

Liputan6.com, Jakarta - Industri pembiayaan (multifinance) tak luput dari dampak pandemi virus corona (Covid-19). Di era Pandemi ini, multifinance harus rela melakukan restrukturisasi besar-besaran terhadap para nasabahnya yang terkena dampak langsung Covid-19, mulai dari penundaan pembayaran cicilan, hingga perpanjangan tenor pembiayaan.

Berdasarkan hasil monitoring Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 11 Agustus 2020, progress penerapan program restrukturisasi terhadap debitur yang terdampak Covid-19 mencakup 4.823.271 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp150,43 triliun dan bunga sebesar Rp38,03 triliun.

Bambang W. Budiawan, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK menyebut, kontrak yang permohonannya masih dalam proses sebanyak 350.140 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp16,34 triliun dan bunga sebesar Rp3,90 triliun.

“Kontrak yang disetujui oleh perusahaan pembiayaan untuk dilakukan restrukturisasi sebanyak 4.187.726 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp124,34 triliun dan bunga sebesar Rp31,73 triliun,” tuturnya dalam Webinar Infobanktalknews bertema Menakar Kekuatan Multifinance di Era New Normal: “Menahan Goncangan Lewat Stimulus Kebijakan OJK”, Rabu (12/8/2020).

Sementara itu, lanjutnya, kontrak yang permohonannya tidak sesuai dengan kriteria sebanyak 285.405 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp9,75 triliun dan bunga sebesar Rp2,40 triliun.

Langkah restrukturisasi tersebut harus dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi lonjakan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) secara masif.

Namun, restrukturisasi ini sejatinya bukanlah solusi terakhir, karena setelahnya, ada permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang mengintai Multifinance.

Di tengah pengetatan likuiditas yang dialami bank sebagai source of funding terbesar mutifinance, tentu, multifinance harus mencari alternatif pendanaan lainnya.

“Lalu selain dari adanya restrukturisasi juga dari sisi cashflow akan susah bertumbuh kalau cashflow-nya masih kering akan sulit bagi bisnis mereka. apalagi perusahaan pembiayaan ini 89 persen pendanaan dari pinjaman,” sambung Bambang.

OJK mencatat ada 144 perusahaan pembiayaan dari total 182 perusahaan pembiayaan yang memiliki pendanaan dari kreditur, di mana 26 di antaranya telah mengajukan restrukturisasi ke para krediturnya. Untuk mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kinerja industri perusahaan pembiayaan terap positif, OJK berniat untuk memperpanjang program restrukturisasi.

“Kebijakan restrukturisasi mungkin akan kita perpanjang baik untuk perbankan dan pembiayaan, karena pemulihan ekonomi kita ini akan sangat bergantung pada pemulihan kesehatan masyarakat,” tukas Bambang.

 

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Jaga Kredibilitas

Produk mobil yang diikutsertakan pada pameran kendaraan di salah satu pusat perbelanjaan di Bandung, Sabtu (27/6/2015). Bank Indonesia (BI) menerbitkan aturan pelonggaran uang muka/DP untuk kredit kepemilikan kendaraan bermotor (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menekankan agar pelaku industri pembiayaan menjaga kredibilitas dalam menjalankan bisnisnya. Karena masalah trust atau kepercayaan merupakan kunci di industri keuangan.

Akibat yang terjadi atas krisis kepercayaan yang dimulai sejak tahun 2015 sampai 2018 ini, seperti kasus Kembang 88 Finance, Arjuna Finance sampai Sun Prima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance), Suwandi menyebut beberapa perusahaan pembiayaan mengalami kesulitan pendanaan.

“Ini yang perlu kita diskusikan bersama bahwa semoga perbankan dapat memberikan angin segar lagi kepada perusahaan pembiayaan yang memiliki tata kelola yang baik,” tuturnya.

Masih dihantui krisis kepercayaan yang belum sepenuhnya pulih, industri pembiayaan kembali harus menghadapi tantangan Pandemi Covid-19 yang mengerek turun kinerja keuangan. APPI mencatat berdasarkan data OJK per Mei 2020, aset industri mengalami penurunan 1,42 persen secara setahunan (yoy) menjadi Rp507 triliun. Piutang pembiayaan pun selaras mengalami penurunan 6,4 persen (yoy) menjadi Rp420 triliun. Sedangkan NPF melonjak ke level 4,1 persen.

Suwandi juga menyorot bahwa industri otomotif juga mengalami pukulan dan sudah banyak perusahaan yang melakukan langkah menghentikan produksi. Hal ini tentunya turut memberikan dampak signifikan terhadap industri pembiayaan.

Namun demikian, APPI bersama anggotanya telah menyiapkan strategi untuk tetap bertahan menghadapi gejolak perekonomian yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Suwandi mengatakan, industri pembiayaan harus melakukan efisiensi biaya, selektif memilih debitur dan mencari sumber pendanaan baik dari perbankan, nonbank, obligasi, pasar modal, dll.

“Hal yang terpenting adalah seleksi debitur ke depan akan menjadi suatu perubahan pola tidak hanya saat new normal, tapi juga di industri keuangan ke depan. Sumber dana juga sesuatu yang sangat penting bagi perusahaan pembiayaan karena ini adalah darah dari perputaran bagaimana kita bisa bertumbuh. Kita bisa bertumbuh menjadi industri yang sangat besar tentu tidak terlepas dari dukungan perbankan,” tandasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya