Liputan6.com, Jakarta - Perilisan vaksin COVID-19 dengan nama dagang Sputnik V milik Rusia menuai kontra lantaran tak adanya laporan atau kajian ilmiah yang jelas.
Salah satu pihak yang kontra adalah Russia's Association of Clinical Trials Organizations. Mereka, mengatakan, persetujuan jalur cepat tidak akan menjadikan Rusia pemimpin dalam perlombaan.
"Itu hanya akan membuat konsumen vaksin terpapar bahaya yang tidak perlu," kata Association of Clinical Trials Organizations terkait vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh Gamaleya Institute di Moskow dikutip dari situs Live Science pada Rabu, 12 Agustus 2020.
Baca Juga
Advertisement
Hal yang kurang lebih sama diungkap Profesor Mikrobiologi di Universitas Indonesia, Pratiwi Pujilestari Sudarmono. Saat Rusia mengumumkan hal tersebut, Pratiwi coba mencari publikasi ilmiah, sama halnya sewaktu China memerkenalkan vaksin COVID-19 Sinovac.
"Vaksin itu kan ada beberapa. Ada virus yang dilemahkan, ada juga virus rekombinan. Nah, vaksin ini pakai yang mana? Kita biasanya bisa membaca hasil publikasinya. Bahkan, Sinovac kemarin bisa kita baca, yang ini tidak," kata Pratiwi saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Rabu sore, 12 Agustus 2020
Publikasi ilmiah, kata Pratiwi, adalah hal yang sangat penting. Jika tidak ada, seluruh dunia bisa meragukannya, "Kalau mau pakai sendiri, dipakai oleh rakyat mereka sendiri, silakan saja. Kalau mereka berkenan dan memang mereka menganggap itu beres."
Berhubung tidak ada niatan membeli vaksin COVID-19 yang dirilis Selasa, 11 Agustus 2020, waktu setempat, Indonesia tak usah risau. "Kita cuma bisa melihat dan mungkin menunggu publikasinya," kata dia.
Publikasi klinis dari vaksin harus jelas, harus mencakup pra-klinik (bahan dasar yang digunakan dalam membuat vaksin), tahap uji klinik, bahkan setelah vaksin itu dipakai harus ada publikasi mengenai dampak dan efektivitas vaksin COVID-19 tersebut.
"Itu semua harus ada," kata Pratiwi.
"Uji klinik sendiri ada fase I, II, III, IV. Kalau itu enggak ada, masyarakat dunia akan sama kayak kita saat melihat kasus Hadi Pranoto. Klaim ya klaim saja," katanya.
Simak Video Berikut Ini
Bila Rusia Ingin Menjual Vaksin COVID-19 ke Dunia
Namun, jika Rusia ingin 'menjual' vaksin COVID-19 kepada dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan lembaga standar lainnya akan lebih dulu meminta hasil kajian ilmiah yang mereka buat.
"WHO pasti akan mengatakan mana konstruksinya? Vaksin ini dibuat dari apa? Pra-uji kliniknya mana? Dan, hasilnya bagaimana?," ujar Pratiwi.
Pratiwi mengibaratkan, kondisi ini sama halnya jika ada satu pihak yang menawarkan kepadanya untuk membeli dan mencoba minyak kayu putih yang disebut dapat membunuh virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, padahal baru sebatas riset in vitro.
"Kalau ada yang nawarin 'Kamu mau beli enggak?', ya tunggu dulu. Saya uji dulu," katanya.
Andai kata vaksin COVID-19 dari Rusia benar-benar baik, Pratiwi yakin pasti akan ada publikasinya. "Takutnya kan kita heboh, tak tahunya 'Orang saya pakai buat rakyat saya sendiri, kok kamu ribut?'. Kalau seperti itu, silakan saja," Pratiwi menekankan.
Kemudian, taruhlah penduduk di Rusia berjumlah 200 juta. Pemerintah setempat harus memastikan dulu bahwa seluruh penduduknya dapat, dan semuanya baik-baik saja sebelum 'jualan'.
"Seluruh dunia pasti akan bertanya, itu apa? Isinya apa? Uji kliniknya sudah ada belum?" katanya.
Menurut Pratiwi, tidak seluruh dunia mampu membuat vaksin sendiri. Saat mereka mengharapkan atau membeli vaksin dari negara lain, hal-hal tersebut tak boleh luput dari perhatian.
"Saat mau beli, ya tanya, itu vaksin apa? Bagaimana kinerjanya? Kan enggak mungkin kayak membeli kucing dalam karung begitu saja," katanya.
Advertisement