Liputan6.com, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menghitung nilai potensi investasi dari berbagai megaproyek mangkrak di Tanah Air. Total penerimaan negara yang hampir menguap mencapai Rp708 triliun.
Beruntung, sebesar 58 persen atau Rp 409 dari nilai potensi itu telah difasilitasi BKPM. Rinciannya, Rofnet (Rp211, 9 triliun), Lotte Chemical (Rp61,2 triliun) Vale (Rp2,1 triliun), Tanjung Jati Power (Rp38 triliun), Kobexindo (Rp14 triliun), Hyundai (Rp21,7 triliun).
Advertisement
Lalu, Nindya (Rp9,5 triliun), PT Tenaga Listrik Bengkulu (Rp5,2 triliun), PT Galempa Sejahtera Bersama (Rp2 triliun), Masdar (Rp1,8 triliun) PT Sumber Mutiara Indah Perdana (Rp1,8 triliun), dan investasi lainnya (Rp1, 4 triliun).
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, penyebab banyaknya investasi bernilai fantastis yang mangkrak tersebut diakibatkan oleh ulah 'hantu'. Khususnya hantu tanah dan hantu perizinan yang kerap menghambat pengembangan investasi di Indonesia.
"Banyak proyek mangkrak itu akibat ulah hantu. Hantunya itu hantu tanah, hantu izin dan hantu-hantu lainnya yang tidak bisa dilawan dengan Undang-Undang (UU)," jelas dia dalam webinar di Jakarta, Rabu (12/8).
Namun, diakuinya kini ia telah menemukan solusi jitu untuk menangkal ulah hantu tersebut. Antara lain dengan melakukan pendekatan khusus dalam mengawal proyek investasi." Yakni, kita belajar dari hantu itu caranya, sehingga tidak dikerjain," jelasnya.
Oleh karena itu, pihaknya akan lebih aktif dalam melindungi para investor yang berniat menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. Terlebih di tengah pandemi Covid-19 ini.
Pun, Bos BKPM tersebut juga mengimbau para investor untuk tak ragu melapor jika merasa dipermainkan dalam mengurus perizinan usaha atau menemui kendala urusan lainnya. Sehingga pihaknya lebih mudah untuk membantu proses perizinan usaha dan kegiatan lainnya terkait kelancaran dari proyek investasi.
"BKPM tidak hanya akan membidik potensi investasi besar, tetapi juga investasi menengah dan kecil. Mereka juga turut andil dalam penciptaan lapangan kerja," jelasnya.
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Investasi Indonesia Keok dari Vietnam, 4 Faktor Ini Biang Keroknya
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ( BKPM) Bahllil Lahadalia angkat suara penyebab sektor investasi Indonesia yang kalah dibandikan dengan Vietnam. Menurut dia, setidaknya ada empat faktor yang menjadi penghambat bagi pengembangan sektor investasi di Indonesia.
Pertama, regulasi yang tumpang tindih mengakibatkan proses perizinan berusaha menjadi berbelit-belit. Sehingga diperlukan waktu yang panjang bagi investor untuk menyelesaikan proses perizinan berusaha.
"Birokrasi di kita minta ampun. Aturan regulasi kita tumpang tindih, antara pemerintah pusat dan daerah berbeda aturannya," jelas dia dalam webinar di Jakarta, Rabu (12/8).
Beruntung, Lanjut Bahlil, pihak telah mampu untuk mengatasi 'hantu berdasi' yang kerap menyulitkan para investor dalam mengurus perizinan berusaha."Di kita ada hantu berdasi yang kerap memainkan regulasi, tapi sudah bisa kita atasi," paparnya.
Kedua, kuatnya ego sektoral antar kementerian/lembaga terkait. Hal itu dianggap mengakibatkan lahirnya kebijakan yang tidak seragam yang tentu akan menyulitkan investor dalam mengurus perizinan.
"Seharusnya kita cukup satu pintu. Agar proses perizinan menjadi lebih mudah dna menghindari ego sektoral," imbuh dia.
Ketiga, harga tanah kawasan industri di Indonesia termasuk tinggi dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. BKPM mencatat rata-rata harga tanah di Indonesia dibanderol USD 225 atau Rp 3,17 juta per meter persegi.
Sementara di Thailand tanah kawasan industri di hargai sebesar Rp 3,03 juta per meter persegi. Bahkan, Vietnam harga tanahnya dijual Rp 1,27 juta per meter persegi.
"Maka, kawasan kita bukan kawasan industri. Akan tetapi, kawasan industri tanah. Karena mereka bukan menyiapkan fasilitas tapi udah ambil untung dari tanah," tegasnya.
Terakhir, upah buruh di Indonesia terlampau mahal. Hal itu mengakibatkan investor lebih memilih negara Asia Tenggara lainnya sebagai tempat berusaha. Data BKPM mencatat upah buruh di Indonesia rata-rata mencapai Rp 3,93 juta per bulan. Sementara rata-rata upah buruh di Malaysia sebesar Rp 3,89 juta. Sedangkan Vietnam, hanya membanderol upah buruhnya Rp 2,64 juta.
"Upah kita paling tinggi. Jadi, ini kondisi tidak terlalu baik bagi kita dalam melakukan persaingan untuk mengembangkan investasi," tutupnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Advertisement