Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, melihat urgensi Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Selain menjerat pidana dengan aturan yang kokoh, RUU PKS juga mengatur pemulihan korban kekerasan seksual.
Advertisement
"RUU PKS menyatakan bahwa setiap korban terlepas dari adanya kasus pidana atau pun tidak, bisa memulihkan kondisinya yang sudah menjadi korban, jadi tidak hanya dalam konteks peradilan," jelas Maidina saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (12/8/2020).
Selain pemulihan, lanjut Meidina, RUU PKS dapat mengarusutamakan cara pandang penegak hukum tentang belum seragamnya aparat melihat perspektif korban.
"Kalau saat ini kan tercerai, misal terjadi di lingkungan kerja menggunakan aturan ketenagakerjaan untuk mengusutnya, jika terjadi di lingkup pendidikan lalu ada aturannya sendiri, maka RUU PKS ini baik bisa membuat do's and dont's saat kekerasan seksual terjadi di ruang-ruang privat seperti itu," terang dia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Penyebab Kasus Kekerasan Seksual Sulit Diungkap
Maidina mengamini, kekerasan seksual menjadi satu bentuk pidana yang memang sulit diungkap.
Selain menyebabkan sisi trauma berulang bagi korban saat harus menceritakan kembali kejadian pahit dialaminya, korban juga butuh keberanian yang kuat bila pengakuannya disanggah validasinya.
"Pembuktian kasus kekerasan seksual memang sulit. Hal ini dikarenakan, situasinya yang terjadi di ruang privat dan dan malah menggunakan kacamata masyarakat umum," kata Maidina.
"Jadi aparat penegak hukum harusnya lihat lewar Perma 3 2017, bahwa aparat tidak boleh menyalahkan korban dan justru harus membantu. Itu sebagai catatan krn mereka belum memahami secara menyeluruh," sambungnya.
Advertisement