Jerit Korban Kekerasan Seksual Menanti Keadilan di Tengah Trauma

Sudah menjadi korban kekerasan seksual dan menyimpan trauma berkepanjangan, AF kembali menjadi korban untuk kesekian kalinya.

oleh Ady AnugrahadiMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 13 Agu 2020, 15:17 WIB
Ilustrasi kekerasan pada anak. Sumber: Istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Hari ini setahun lalu menjadi hari yang tidak pernah terbayangkan oleh AF. Tragedi berbuah trauma menimpa perempuan asal Bintaro, Tangerang Selatan, tersebut.

Peristiwa itu masih jelas membekas dan tidak pernah terlupa sepanjang hidupnya. Kendati demikian, AF mulai melihat sedikit titik terang kasus kekerasan seksual yang dia alami 13 Agustus 2019 lalu.

Polisi menangkap RI yang diduga memperkosa AF di kediamannya di kawasan Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan, setelah kisah tersebut dituturkan korban melalui media sosial.

Setahun, bagi AF adalah waktu yang panjang untuk mencari kepastian penegakan hukum atas apa yang dialaminya. Sebagai korban, dia menunggu kabar baik pelaku ditangkap dan dihadapkan ke meja hijau. Jalur formil hukum dia tempuh dengan melaporkan peristiwa tersebut ke kepolisian.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah menjadi korban kekerasan seksual dan menyimpan trauma berkepanjangan, AF kembali menjadi korban untuk kesekian kalinya. Selama setahun menunggu pelaku ditangkap, AF mengalami teror yang dikirim pelaku kepada dirinya di media sosial. Ketakutan pun menghinggapinya.

AF membagikan tangkapan pesan pelaku di media sosial yang meminta maaf kepadanya. Saat itu, pelaku meminta maaf soal kepala korban yang terluka dan mengaku tidak bermaksud melakukan itu. Namun, lama-kelamaan berubah menjadi teror. 

"Pada hari bersamaan, dia (pelaku) memutuskan untuk mengirimiku pesan, pertama meminta maaf, tetapi kemudian mengancamku lagi karena menurutnya 'dia membiarkanku hidup'. Dia menggunakan VPN untuk meneror IG lamaku," kata AF, seperti dilihat pada unggahan media sosial miliknya.

Kabar baik dia terima, akhirnya polisi merespons kisah AF dan menangkap RI beberapa hari setelah kisah itu viral dan menjadi buah bibir di masyarakat. Ketika kepastian soal pemerkosanya ditangkap, AF terpikir media sosial menjadi jalan lain yang dia tempuh untuk mencari keadilan tersebut. 

Langkah kepolisian tersebut direspons sebagian masyarakat. Pertanyaan kemudian muncul: mengapa setelah kisah AF viral di media sosial langkah cepat baru dilakukan kepolisian? Di sisi lain AF harus menunggu kepastian di tengah trauma dan teror pelaku yang dia alami.


Alasan Polisi Perlu Setahun Tangani Kasus AF

Polisi melalui Kepala Satuan Reserse Polres Tangerang Selatan, Ajun Komisaris Muharram Wibosono, membeberkan alasan mengapa pihaknya butuh waktu setahun untuk mengungkap kasus AF. Perwira pertama kepolisian itu tidak menyinggung bahwa viralnya kisah AF di media sosial memantik respons cepat polisi untuk mengungkap kasus tersebut.

"Proses penyidikan karena baik korban maupun saksi yang diperiska tidak megenal identitas pelaku, butuh proses identifikasi pelaku ini," kata Muharram.

Meski memiliki rekaman CCTV, kata dia, peyidik tetap harus mendalami dan memastikan orang yang diduga pelaku tersebut. "Kami harus memastikan kembali apakah orang di CCTV tersebut orang yang kita duga selama ini?" kata Muharram.

Kasus serupa dimana korban kekerasan seksual menanti keadilan di tengah trauma yang dialami juga menimpa seorang perempuan asal Bojong Gede, Kabupaten Bogor.

Berbeda dengan AF yang mengambil langkah mengisahkan tragedinya di media sosial sebagai langkah akhir. NH (19) memilih untuk diam dan menunggu kepastian hukum yang menjerat pimpinan pondok pesantren di Bojong Gede, Kabupaten Bogor.

Dia menilai Polres Metro Depok lamban menyelesaikan perkaranya tersebut. NH sendiri membuat laporan polisi pada November 2019.

"Saya merasa kasus ini lama sekali diprosesnya. Masa sudah hampir sepuluh bulan belum juga clear," kata NH saat dihubungi, Rabu (12/8/2020).

Dia tentunya selalu meminta penjelasan kepada penyidik terkait perkembangan kasus yang dilaporkannya tersebut. Salah satu penyidik yang disebut adalah R. NH saat itu mempertanyakan keberadaan pelaku.

Terakhir kali pada 1 Mei 2020. Tapi, sampai sekarang tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan hati. Bahkan, yang menurutnya mengerikan, pelaku berinisial ANM ini masih berkeliaran di lingkungan pondok pesantren yang juga tidak jauh dari tempat tinggalnya.

NH mengaku tak memiliki bukti terkait tuduhanya itu, hanya saja isu ini sudah ramai diperbincangkan di lingkungannya. Kendati demikian, NH tapi memiliki bukti pelaku masih bebas berkeliaran. Meski, sudah menyandang status tersangka pada 17 Februari 2020 lalu.

Beberapa teman NH mengabadikan dengan kamera ponsel aktivitas pelaku. Salah satunya pada 11 Juli 2020. Saat itu, pelaku ANM menghadiri sebuah acara di pondok pesantren yang dipimpinnya. Foto itu pun ditunjukkan kepada Liputan6.com.

“Bulan Juli saya dapat foto dari teman saya. Udah di situ saya semakin sakit hati. Pelaku berani memunculkan diri. Padahal kasus saya belum jelas perkembangannya gitu-gitu aja,” ucap dia.

Kasubag Humas Polres Metro Depok AKP Elly Padiansari mengatakan drinya harus menanyakan rinci kepada penyidik yang menangani kasus tersebut.

"Nanti saya tanya penyidiknya," kata dia saat dihubungi, Rabu (12/8/2020).

Elly malah balik bertanya maksudnya mencecar kasus tersebut. “Ini dari keluarga korban atau dari mana, wartawan kok iniin kasus sih,” cetus Elly.

 


Kasus Bojong Gede Masih Diteliti Jaksa

Terpisah Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor, Munaji mengkonfirmasi pihaknya menerima berkas perkara tahap satu kasus dugaan kekerasan seksual sekira seminggu yang lalu. Saat ini, masih dalam penelitian oleh jaksa.

“Sudah ada aturannya. Penelitian berkas 7 hari. Apakah berkas lengkap atau belum. Kalau belum lengkap ya dibuat p.18. Baru 7 hari kemudian disusul p.19. Kalau lengkap ya p.21,” ujar dia.

Munaji enggan menjawab ketika disinggung apakah proses penanganan kasus ini terkesan lambat. Dia mengatakan, pada umumnya penyerahan berkas perkara tergantung penyidiknya.

“Ada yang cepat dan ada juga yang lama, tergantung penyidiknya. Coba tanyakan ke penyidiknya yang lebih tahu,” ucap dia.

Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan, fenomena kasus AF yang mencari keadilan kasus kekerasan seksual saat ini. Menurut dia, kondisi ini merupakan kelemahan sistem hukum untuk menjerat pelaku.

"Fenomena ini merupakan cambuk bagi kita," kata Maidina saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (12/8/2020).

Menurut dia, bersuara di ruang publik diyakininya menjadi langkah akhir. Sebab, hanya dengan begitu harapan korban mendapat keadilan setidaknya dapat tercapai.

"Akhirnya kita punya ruang, korban memiliki keberanian. Satu sisi kita juga mempertanyakan mengapa akhirnya ruang publik dan bisa berdampak positif untuk korban," jelas Maidina.

Dia mengingatkan kepada korban kekerasan seksual yang mencari keadilan di media sosial diharap bisa yakin dan kuat sebelum membagikan pengalamannya. Sebab media sosial bisa saja memberi pandangan sebaliknya.

"Artinya kalau di medos kan publik jadi tahu stigma diberikan dari publik juga beragam. Maka yang harus dipikirkan adalah bagaimana kita bisa melihat dari kaca mata korban," dia menandasi.

Maidina menyatakan, korban kekerasan seksual idealnya melapor kepada penegak hukum agar mendapat kekerasan seksual. Namun dia tak menafikan, jika hal tersebut masih sulit, lambat, dan tak melihat dari kacamata korban.

"Idealnya kalau korban sampai ke sosmed, harusnya ada proses lain yang sudah ditempuh hingga menemukan kebuntuan," ujarnya.

Maidina memandang urgensi membahas dan menyelesaikan Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sudah di depan mata. Selain menjerat pidana dengan aturan yang kokoh, RUU PKS juga mengatur pemulihan korban kekerasan seksual.

Selain menjerat pidana dengan aturan yang kokoh, RUU PKS juga mengatur pemulihan korban kekerasan seksual.

"RUU PKS menyatakan bahwa setiap korban terlepas dari adanya kasus pidana atau pun tidak, bisa memulihkan kondisinya yang sudah menjadi korban, jadi tidak hanya dalam konteks peradilan," beber Maidina.

 


Mengarusutamakan Gender di Ruang Penyidikan

Selain pemulihan, lanjut Meidina, RUU PKS dapat mengarusutamakan cara pandang penegak hukum tentang belum seragamnya aparat melihat perspektif korban.

"Kalau saat ini kan tercerai, misal terjadi di lingkungan kerja menggunakan aturan ketenagakerjaan untuk mengusutnya, jika terjadi di lingkup pendidikan lalu ada aturannya sendiri, maka RUU PKS ini baik bisa membuat do's and dont's saat kekerasan seksual terjadi di ruang-ruang privat seperti itu," terang dia.

Maidina mengamini, kekerasan seksual menjadi satu bentuk pidana yang memang sulit diungkap.

Selain menyebabkan sisi trauma berulang bagi korban saat harus menceritakan kembali kejadian pahit dialaminya, korban juga butuh keberanian yang kuat bila pengakuannya disanggah validasinya.

"Pembuktian kasus kekerasan seksual memang sulit. Hal ini dikarenakan, situasinya yang terjadi di ruang privat dan dan malah menggunakan kacamata masyarakat umum," kata Maidina.

"Jadi aparat penegak hukum harusnya lihat lewar Perma 3 2017, bahwa aparat tidak boleh menyalahkan korban dan justru harus membantu. Itu sebagai catatan krn mereka belum memahami secara menyeluruh," dia menandaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya