Penjelasan LAPAN soal Pembangkit Cuaca Ekstrem di Musim Kemarau

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyebutkan, cuaca ekstrem berupa hujan deras dalam waktu singkat kerap terjadi di wilayah Indonesia.

oleh Arie Nugraha diperbarui 14 Agu 2020, 09:00 WIB
Awan menyerupai smong alias gelombang tsunami muncul di langit Meulaboh Aceh Barat, Senin (10/8/2020). (@masawep)

Liputan6.com, Banadung - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyebutkan, cuaca ekstrem berupa hujan deras disertai hail (es) dan angin kencang dalam durasi singkat, terjadi pada beberapa hari terakhir di sejumlah wilayah di Jawa Barat. Maraknya cuaca ekstrem yang terjadi pada bulan Agustus, padahal seharusnya masih merupakan musim kemarau, ini terjadi karena beberapa faktor.

Menurut Peneliti Sains Atmosfer LAPAN Erma Yulihastin, salah satu faktor yang memicu hal tersebut pertama adalah faktor regional berupa penghangatan suhu permukaan laut di selatan Samudra Hindia dan di perairan Maluku. Erma mengatakan, penghangatan suhu permukaan laut sebenarnya saat ini terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. 

"Meskipun demikian konsentrasi domain (area) pemanasan suhu tertinggi terjadi di perairan Maluku dan sekitarnya, serta perairan selatan Samudra Hindia,” ujar Erma, Kamis (13/8/2020).  

Erma menuturkan, kedua wilayah tersebut memang telah dibuktikan melalui penelitian Xu dan kawan-kawan pada 2020, merupakan wilayah sensitif terhadap kemarau basah di Indonesia.

Erma menjelaskan dalam penelitiannya pada tahun yang sama kemarau basah yang dibangkitkan oleh faktor regional diteliti memiliki dampak yang lebih homogen, merata, dan lebih sering memicu pembentukan cuaca ekstrem dibandingkan kemarau basah yang disebabkan oleh faktor global, seperti La Nina dan atau negatif IODM (Yulihastin, 2020 under review pada jurnal internasional SOLA).

Faktor yang kedua lanjut Erma, pembentukan front atau pertemuan massa udara lembab dan kering yang saat ini terjadi di berbagai wilayah, dan terkonsentrasi di kawasan Jabar-Sumatra dan Maluku-Sulawesi. Front massa udara dingin yang berasal dari Australia, karena pengaruh monsun musim dingin Australia bertemu dengan udara lembab di perairan lokal Indonesia, sehingga memicu aktivitas konvektif dan hujan skala lokal (< 5 km) yang marak terjadi di kawasan pesisir. Hal itu dapat menimbulkan penampakan awan-awan konvektif yang dapat diketahui dengan mudah melalui pengamatan visual seperti awan tsunami yang beberapa hari lalu terjadi di pesisir barat Aceh.

"Kedua faktor tersebut merupakan pembangkit cuaca ekstrem yang diprediksi lebih sering terjadi menjelang akhir Agustus. Selain itu, pada bulan September, wilayah Indonesia diprediksi akan lebih basah dan lebih sering mengalami hujan sehingga potensi terjadinya hujan dengan intensitas yang lebih tinggi dan persisten pun akan meningkat," kata Erma.

Dengan kata lain ucap Erma, cuaca ekstrem pada bulan-bulan mendatang tidak hanya bersifat lokal (<5 km) tetapi meluas dalam skala meso, yang mencakup puluhan hingga ratusan kilometer. 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya