Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, dan Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohamed bin Zayed telah sepakat untuk melakukan normalisasi hubungan antara Uni Emirat Arab dan Israel. Kesepakatan ini penuh nuansa bisnis.
Berdasarkan pernyataan bersama tiga pemimpin itu, kerja sama akan melingkupi bidang investasi, turisme, penerangan langsung, keamanan, telekomunikasi, teknologi, energi, pelayanan kesehatan, budaya, lingkungan, serta pendirian kedutaan besar.
Baca Juga
Advertisement
Publik Indonesia selama ini cenderung menolak hubungan diplomatik Israel sebagai bentuk dukungan pada Palestina. Lantas, bagaimana seharusnya Indonesia merespons melihat normalisasi hubungan UEA dan Israel?
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menyebut Indonesia tetap harus menghormati keputusan dalam negeri Uni Emirat Arab. Namun, ia menyayangkan jika kepentingan Palestina malah terlupakan.
"Indonesia tetap menghargai normalisasi yang dilakukan oleh Uni Emirat dan Israel sebagai persoalan internal, tetapi tentu menyayangkan jika itu mengabaikan komitmen negara-negara Arab terhadap Palestina," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (14/8/2020).
Menurut Yon Machmudi, Indonesia perlu proaktif dalam mendukung kepentingan Palestina, terutama di rencana perdamaian milik Presiden Donald Trump. Rencana Trump memang penuh benefit investasi, tetapi dinilai berat sebelah.
"Indonesia harus lebih proaktif lagi untuk menawarkan kaitannya dengan roadmap perdamaian Israel-Palestina, karena Amerika sendiri sebagai mediator telah berpihak dan tidak netral lagi," ia menjelaskan.
Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi juga berkata untuk menghormati keputusan internal UEA. Ia hanya mengingatkan agar Indonesia terus membantu Palestina sesuai amanat konstitusi untuk menjaga perdamaian dunia.
"Indonesia komitmen membela Palestina. Itu yang paling penting yang pertama. Yang kedua mendorong perdamaian sesuai konstitusi," jelas Zuhairi yang akrab disapa Gus Mis.
"Kita hormati sajalah kesepakatan Uni Emirat Arab, tapi kita tetap komitmen pada Palestina. Tidak pernah luntur," pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Setelah UEA, Israel Ingin Buka Kedutaan Besar di Negara Muslim Lain?
Amerika Serikat telah menjembatani diplomasi antara Uni Emirat Arab dan Israel. Kedua negara yang menjalin hubungan diplomatik itu sepakat memperkuat hubungan di berbagai sektor.
Normalisasi hubungan antara Uni Emirat Arab dan Israel adalah yang pertama bagi dunia Arab sejak tahun 1990-an. Sebelumnya, Mesir dan Yordania sudah berdiplomasi dengan Israel.
Penasihat senior presiden AS, Jared Kushner, optimistis ke depannya akan ada negara Arab lain yang ikut membuka hubungan diplomasi dengan Israel.
"Ini adalah negara Arab pertama yang menormalisasi hubungan dengan Israel sejak waktu yang lama, 26 tahun sejak Yordania. Kami berharap melihat ada lebih banyak negara yang melakukan hal sama," ujar Jared Kushner pada konferensi pers di Gedung Putih seperti dikutip Jumat (14/8/2020).
Jared Kushner turut berkata bahwa Uni Emirat Arab dan Israel sudah termotivasi untuk segera berinteraksi dalam isu diplomatik. Hubungan antar masyarakat juga dinilai baik.
"Tidak ada warga Israel yang pernah membunuh warga Emirat, dan tidak ada kebencian di antara masyarakat," kata Kushner yang juga menantu Presiden Donald Trump.
"Saya percaya kita akan segera melihat interaksi secepatnya, dan kedua negara sangat termotivasi dari sudut pandang ekonomi, turisme, kesehatan, teknologi, untuk segera berjalan maju," ujar Kushner.
Pada pernyataan bersama antara AS, UEA, dan Israel, ada dorongan agar Israel memperluas hubungan diplomatik dengan negara-negara lain di Dunia Muslim ketimbang melakukan aneksasi Tepi Barat. Rencana aneksasi dianggap tak sesuai dengan Visi Perdamaian versi Presiden Donald Trump.
"Israel akan menangguhkan deklarasi kedaulatan pada area-area yang dipaparkan di Visi Perdamaian milik Presiden, dan fokus untuk menambah hubungan dengan negara-negara lain di Arab dan Dunia Muslim," tulis pernyataan bersama antara Trump, Netanyahu, dan Sheikh Mohammed.
Advertisement