Liputan6.com, Jakarta Rencana subholding PT Pertamina (Persero) melantai di bursa (initial public offering/IPO) dinilai bukanlah bentuk privatisasi BUMN. Itu karena perusahaan yang masuk bursa merupakan anak usaha dan bukan saham BUMN Pertamina.
Ini diungkapkan Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip. "Tidak bisa disebut sebagai privatisasi BUMN dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ujar Sunarsip seperti melansir Antara di Jakarta, Sabtu (15/8/2020).
Advertisement
Dia menjelaskan jika secara konseptual yang disebut privatisasi adalah berkurangnya saham pemerintah di induk perusahaan. Sedangkan dalam rencana IPO anak usaha atau subolding Pertamina ini, saham pemerintah di BUMN tersebut sama sekali tidak berkurang.
Rencana IPO subholding Pertamina, sama seperti yang dilakukan beberapa BUMN di bidang konstruksi, ketika melepas saham anak perusahaan mereka di bursa saham. Dalam hal ini, saham pemerintah di BUMN tersebut juga sama sekali tidak berkurang.
Dia pun menilai tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena laporan keuangan anak perusahaan yang masuk lantai bursa tersebut, nantinya tetap akan dikonsolidasikan 100 persen ke dalam laporan keuangan Pertamina.
Termasuk, di dalamnya, adalah laporan kinerja, besarnya aset, utang, ekuitas, pendapatan, belanja, dan laba subholding tersebut.
"Dengan demikian, Pertamina masih memegang kendali terhadap subholding yang direncanakan masuk bursa saham tadi. Apalagi, berdasarkan informasi, saham anak perusahaan yang akan dilepas ke bursa sangat kecil, sekitar 20-30 persen saja," katanya.
Di sisi lain Sunarsip mengatakan, rencana IPO anak usaha tersebut, merupakan aksi korporasi biasa terkait upaya fund raising Pertamina.
Rencana IPO subholding mengemuka, karena Pertamina harus banyak melakukan investasi, sedangkan di sisi lain ekuitas BUMN tersebut terbatas.
Jadi, lanjut dia, nantinya uang hasil IPO akan dipakai untuk kegiatan investasi, mengembangkan investasi bisnis, dan untuk memperbesar pundi-pundi pendapatan atau revenue Pertamina sebagai holding.
"Ujung-ujungnya, kalau revenue besar, maka dividen juga besar. Dan ini akan memperbesar posisi dividen yang diberikan Pertamina kepada Pemerintah. Dengan catatan, uang hasil kegiatan IPO memang menghasilkan investasi yang profitable," jelas Sunarsip.
Menurut Sunarsip, rencana IPO subholding juga muncul karena Pertamina membutuhkan kenaikan aset, revenue, dan laba. Jika tidak melakukan aksi korporasi seperti itu, akan sulit buat BUMN energi tersebut untuk mengejar posisi-posisi perusahaan sejenis di luar negeri.
"Ini memang strategi perusahaan untuk mengejar pertumbuhan anorganik," kata dia.
Aksi tersebut sangat penting, tambahnya, karena dengan ekuitas yang terbatas, Pertamina tidak mungkin meminta pemerintah untuk menyuntikkan modal lagi, untuk itu perusahaan harus kreatif mencari sumber pendanaan di luar penyertaan modal dari pemerintah.
Saksikan video di bawah ini:
Ketimbang Berutang, Dirut Pertamina Sebut IPO Anak Usaha Lebih Menguntungkan
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan pentingnya anak usaha perusahaan melantai di bursa saham atau Initial Public Offering (IPO).
Hal itu sesuai dengan arahan dan target Menteri BUMN Erick Thohir kepada Pertamina untuk melepas saham 2 anak usaha ke publik.
Nicke bilang, IPO merupakan salah satu cara perusahaan mendapatkan pendanaan untuk mendukung upaya restrukturisasi dan pengembangan bisnis.
Adapun belanja modal (capital expenditure/capex) Pertamina untuk 6 tahun ke depan ditaksir sebesar USD 133 miliar atau sekitar Rp 1.942 triliun (asumsi kurs Rp 14.602).
"Kami sudah memetakan kemampuan kita itu 47 persen (dari total capex), 15 persen itu equity financing, 10 persen project financing, 28 persen ini external fund. External fund ini bisa dari berbagai cara bisa bonds, bisa pinjam ke perbankan dan bisa IPO," jelas Nicke dalam webinar, Minggu (26/7/2020).
Di antara 3 opsi tadi, IPO menjadi pilihan paling menguntungkan karena memiliki akses jumlah pendanaan yang luas, tidak dibatasi tenor dan pengembaliannya (deviden) lebih fleksibel. Berbeda dengan surat utang (bonds) dan pinjaman ke perbankan.
Selain dibatasi tenor, pendanaan dari surat utang dan perbankan juga dibatasi oleh debt to equity ratio (perbandingan jumlah utang dengan ekuitas perusahaan).
Semakin besar utang perusahaan, semakin besar pula debt to equity ratio-nya, dan tentu akan berpengaruh ke kondisi keuangan perusahaan.
"Kenapa kita nggak bonds saja, ya, tapi nanti debt to equity rationya ke-hit (terpukul), dan (dana) juga harus dikembalikan. Kalau IPO lebih fleksibel karena nggak terdampak debt to equity ratio dan tidak usah mengembalikan pokok-pokok pinjaman. Sebenarnya, ada plus minusnya," ujar Nicke.
Dia juga membeberkan, perusahaan minyak dan gas besar di dunia seperti Petronas, BP Energy, PTT hingga Exxon melakukan IPO anak usaha untuk mengembangkan bisnis mereka.
"Kita lihat seperti Petronas, dari 5 subholdingnya 4-nya di IPO. Sama saja dengan BP, PTT, Exxon ini jadi salah satu opsi perusahaan-perusahaan untuk tumbuh dan mengembangkan usahanya," jelas dia.
Advertisement