Liputan6.com, Purwakarta - Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, memiliki banyak kuliner khas yang tersohor hingga luar daerah selain Sate Maranggi. Sebut saja salah satunya, Simping.
Panganan ringan berbentuk pipih bulat yang terbuat dari tepung tapioka ini, sampai saat ini masih menjadi primadona.
Namun sayang, imbas wabah Covid-19 membuat para perajin panganan ini terseok-seok. Bahkan, ada sebagian pengusaha sempat berhenti produksi dan terpaksa merumahkan pegawainya untuk menghindari kerugian.
Baca Juga
Advertisement
Salah satu pelaku usaha simping khas Purwakarta, Andri Sumirat (46) mengaku, sejak tiga bulan terakhir dagangannya lesu. Penjualan pun menurun.
Bahkan, tak jarang dalam sehari, dari pagi hingga siang tak ada satupun pembeli datang ke tokonya. Menurutnya, kelesuan usaha simping ini terjadi sejak merebaknya wabah corona.
“Tiga bulan ini menjadi masa-masa sulit bagi kami. Di tambah lagi dengan kebijakan pembatasan sosial. Akibatnya, pembeli jarang datang ke toko kami,” ujar Andri dengan wajah lesu.
Meski demikian, kondisi tersebut tak membuatnya patah semangat. Andri, terus mencoba menawarkan daganganya ke setiap orang yang lewat.
Selain menawarkan ke orang lewat, Andri juga mencoba cara lain untuk mempromosikan simping. Salah satunya, dengan memanfaatkan media sosial agar menjangkau calon pembeli di luar Purwakarta. Akan tetapi, tetap saja tidak ada pembeli yang tertarik jajan simping.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
New Normal, Harapan Baru Perajin Simping
Padahal, sebelum mewabahnya corona, dalam sepekan dirinya bisa menjual 410 bungkus simping kemasan 250 gram. Namun, saat ini untuk menjual 410 bungkus itu diperlukan waktu antara tiga pekan sampai sebulan lamanya.
“Bukannya untung, modal saya juga ikut tersedot. Repot usaha di saat masa pandemi ini,” dia menuturkan.
Menghindari kerugian lebih besar, Andri sempat berhenti produksi dan terpaksa merumahkan para pegawainya. Tetapi, toko tetap buka. Bila stok simping menipis, dia memanggil lagi para pekerjanya. Dia tak ingin usahanya itu tutup total.
Andri mengaku, masa-masa sulit itu telah berlangsung sekitar tiga bulan. Kondisi seperti ini belum pernah dialami Andri sebelumnya. Apalagi ketika libur lebaran Idul Fitri, setiap perajin simping pasti kebanjiran pesanan. Sampai harus menambah pegawai untuk produksi.
“Tapi, lebaran Idul Fitri kemarin, semuanya suram. Simping sepi pembeli. Pelanggan juga tidak ada," ujarnya.
Namun, masa-masa sulit itu berhasil Andri lewati. Terutama, saat pemerintah memberlakukan adaptasi kebiasaan baru (AKB) atau new normal.
Pemberlakuan kebijakan baru itu menjadi sebuah angin segar bagi pedagang kecil sepertinya. Alhasil, usaha warisan orangtua yang ia teruskan sejak 1997 itu berangsur membaik. Para pelanggan dari berbagai daerah menambah permintaan panganan simping.
“Saat ini, sudah berangsur membaik. Dalam sehari, bisa menjual 120 bungkus. Semoga, kondisi ini akan segera normal,” ujarnya sambil tersenyum.
Penulis: Asmul
Advertisement