HEADLINE: Normalisasi Hubungan Diplomatik Israel dan UEA, Pengkhianatan untuk Palestina?

UEA menjadi negara Arab ketiga yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel, setelah Mesir dan Yordania

oleh Tanti YulianingsihNatasha Khairunisa AmaniTeddy Tri Setio BertyTommy K. Rony diperbarui 28 Agu 2020, 14:58 WIB
Bendera Israel dan Uni Emirat Arab berjejer di jalan di kota pesisir Israel, Netanya, pada 16 Agustus 2020. (AFP/Jack Guez)

Liputan6.com, Jakarta - Menuai kecaman. Bahkan disebut pengkhianat. Uni Emirat Arab (UEA) bergeming melanjutkan kemesraan dengan Israel.

Sejarah baru itu tercipta pada Kamis 13 Agustus. Israel dan UEA membuat kesepakatan damai.  

Kesepakatan tersebut diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dalam pernyataan bersama Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed Al Nahyan, menyebut kesepakatan ini "diharapkan akan memajukan upaya mewujudkan perdamaian di Timur Tengah."

Trump juga men-tweet pernyataan bersama tiga negara yang menyebut perjanjian itu untuk "normalisasi penuh hubungan" antara Israel dan Uni Emirat Arab sebagai "terobosan diplomatik bersejarah."

Israel dan UEA bahkan berencana untuk bertukar kedutaan dan duta besar. Dengan kesepakatan ini, UEA menjadi negara Arab ketiga yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel, setelah Mesir dan Yordania, masing-masing pada 1979 dan 1994.

"Itu akan dikenal sebagai Abraham Accord," kata Trump tentang perjanjian tersebut, yang menurut Duta Besar AS untuk Israel David Friedman, dinamai dari Abraham atau Ibrahim, "bapak tiga ajaran agama besar" yaitu Kristen, Muslim, dan Yahudi.

Trump juga mengungkap, kesepakatan ini membuat Israel menangguhkan sementara rencana untuk mencaplok Tepi Barat Palestina.

Setelah sepakat menjalin hubungan diplomatik dengan Uni Emirat Arab, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut momentum ini sebagai "era baru hubungan Israel dengan negara Arab" dan mengatakan kesepakatan lain dengan negara-negara di kawasan itu akan dilakukan.

Dia juga menegaskan akan terus berusaha memperluas kedaulatan Israel ke bagian-bagian tanah Tepi Barat, dalam koordinasi dengan AS, tetapi mengakui bahwa rencananya untuk aneksasi sepihak sedang ditangguhkan sementara dan bukan menghentikannya. "Itu tidak dihapus dari meja, saya katakan itu," ujar Netanyahu dikutip dari CNN.

Menurut Netanyahu, kesepatan dengan UEA ini akan dilanjutkan dengan adanya pembukaan kedutaan, pengiriman duta besar, pertukaran ekonomi, penerbangan langsung, dan akan berbagi pengetahuan teknologi canggih mereka untuk keuntungan bersama. "Ini sangat penting untuk ekonomi kita, ekonomi regional dan masa depan kita." 

UEA akan melakukan investasi yang akan meningkatkan ekonomi Israel, dan kedua negara akan bekerja sama dalam vaksin untuk Corona COVID-19. Dia memuji UEA sebagai kekuatan dunia yang sedang bangkit, seperti Israel membuat gedung pencakar langit, pulau buatan, program luar angkasa, dan budaya inovasi.

"Di masa lalu, Israel dianggap sebagai musuh dan sumber ketidakstabilan tetapi saat ini banyak negara melihat Israel sebagai sekutu strategis untuk stabilitas, untuk keamanan, untuk kemajuan dan juga untuk perdamaian," ungkap Netanyahu.

"Akan ada negara Arab dan Muslim lainnya yang akan bergabung dalam lingkaran perdamaian dengan kami."

Duta besar UEA di Washington, Yousef Al Otaiba, mengatakan bahwa kesepakatan UEA dan Israel, "adalah kemenangan bagi diplomasi dan bagi kawasan." Ia menambahkan, "Ini kemajuan penting dalam hubungan Israel dengan negara-negara Arab, yang akan mengurangi ketegangan dan menciptakan energi baru bagi perubahan positif."

Menteri Hubungan Luar Negeri UEA, Anwar Gargash, menyatakan bahwa pengakuan UEA atas Israel adalah "langkah yang sangat berani" untuk menghentikan "bom waktu yang berdetik" terkait aneksasi Israel terhadap Tepi Barat. Menurutnya, UEA memandang hal itu sebagai "penghentian aneksasi, bukan penundaan."

Namun, pihak Palestina ternyata tidak terima dengan kesepakatan itu. "Pimpinan Palestina menolak apa yang telah dilakukan oleh Uni Emirat Arab karena itu adalah pengkhianatan terhadap Yerusalem, Al-Aqsa dan perjuangan Palestina, dan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel," tulis pernyataan resmi yang dirilis Kedutaan Besar Palestina di Indonesia, kepada Liputan6.com.

Isi perjanjian itu sebetulnya turut menyebut Uni Emirat Arab dan Israel akan terus membahas resolusi perdamaian Palestina, namun pihak Palestina tetap tak terima.

"Pimpinan Palestina menganggap langkah ini menghancurkan inisiatif perdamaian Arab dan resolusi KTT Arab dan Islam, dan legitimasi internasional, dan sebagai agresi terhadap rakyat Palestina, dan pengabaian hak dan kesucian Palestina, terutama Yerusalem dan kemerdekaan Negara Palestina di perbatasan 4 Juni 1967." 

"UEA tidak berhak berbicara atas nama rakyat Palestina," imbuh pernyataan pemerintah Palestina.

Palestina lantas menuntut Uni Emirat Arab untuk segera menarik diri dari kesepakatan yang mereka sebut tercela. Argumen melakukan normalisasi hubungan dengan dalih mencegah aneksasi Tepi Barat juga dianggap hanya kedok saja.

Selain itu, Palestina pun memanggil duta besarnya dari Uni Emirat Arab sebagai bentuk protes. Keputusan itu diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Palestina Riad Malki.

Hamas juga menolak hubungan bilateral antara Israel dan UEA karena dianggap bisa menambah agresi Israel terhadap Palestina.

Infografis Perdamaian Uni Emirat Arab dan Israel. (Liputan6.com/Trieyasni)

Pengamat Timur Tengah ternyata tidak kaget dengan normalisasi hubungan Uni Emirat Arab dan Israel. Pasalnya, dua negara itu diam-diam sudah lama bekerja sama. 

"Sudah lama sebenarnya. Ini hanya mengkonfirmasi bahwa Israel sama Uni Emirat Arab telah resmi membuka hubungan diplomatik yang selama ini di bawah tangan secara tersembunyi," ujar cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi kepada Liputan6.com

Pria yang akrab disapa Gus Mis itu juga menyebut normalisasi antara UEA dan Israel sebagai lelucon. Ia pun menilai ini hanya manuver presiden AS untuk mencari simpati pemilih Muslim di Pilpres AS 2020.

Ia juga memprediksi Arab Saudi bakal ikut berdamai dengan Israel. "Habis ini akan menyusul Arab Saudi akan berdamai dengan Israel," ujar Gus Mis lewat Twitter. Ketika ditanya negara mana lagi yang ikut damai, ia menyebut calon terkuat memang Arab Saudi dan UEA.

"Arab Saudi, beberapa negara Teluk, yang paling pasti dua negara ini karena mereka menjadi proksinya Amerika di Timur Tengah," jelasnya. 

Sementara itu, normalisasi hubungan diplomatik UEA dengan Israel bakal membuat posisi Palestina dikhawatirkan kian terjepit. Sebab, negara-negara Arab lain berpotensi mengikuti jejak normalisasi diplomatik yang dilakukan UEA. 

Bila hubungan diplomatik dengan Israel semakin luas, maka urusan Palestina bisa dipandang sebagai urusan internal negara yang bersangkutan saja. Normalisasi diplomatik dinilai sebagai bentuk kemenangan Israel.

"Ini menjadi kemenangan Israel atas Palestina karena mereka mampu melakukan normalisasi hubungan dengan negara-negara tetangga di tengah-tengah terdesaknya, terjepitnya nasib Palestina," ujar pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi kepada Liputan6.com, Selasa (18/8/2020).

"Jadi kalau kemudian hubungan itu menjadi semakin baik, timbal balik di antara mereka, ke depannya boleh jadi persoalan Palestina-Israel dapat dipahami sebagai urusan internal," lanjutnya.

Konsep "menghormati negara tetangga" disebut Yon Machmudi sedang meluas di wilayah Timur Tengah. Dampaknya adalah Palestina dapat semakin jauh dari kepedulian negara-negara sekitarnya.

Itu pun sudah tercermin dari lemahnya respons negara-negara Arab terhadap aneksasi yang ingin dilakukan Israel terhadap Tepi Barat. 

"Respons negara-negara Arab tentang rencana aneksasi tidak sekuat negara-negara sebelumnya. Artinya, walau memberikan kecaman tapi dianggap hanya sebatas itu," jelas Yon Machmudi.

Amerika Serikat sedang berusaha agar negara-negara Arab ikut menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Penasihat senior presiden AS, Jared Kushner, mendorong agar hal itu terealisasi.

Bahrain dan Oman bahkan sudah menyambut positif normalisasi UEA-Israel. 

Dalam pernyataan bersama, hubungan diplomatik antara Uni Emirat Arab dan Israel, kedua belah pihak sepakat akan mendukung perdamaian Palestina. Namun, penolakan keras justru diberikan rakyat Palestina.  

Pada akhir pekan kemarin, Hamas dan Israel dilaporkan saling menyerang. Yon Machmudi menilai hal itu sebagai ketidakpuasan Palestina atas normalisasi UEA-Israel. 

"Kalau kemudian normalisasi itu untuk kepentingan Palestina, pasti ada respons positif dari Palestina, bahwa itu memang dalam rangka perdamaian di Palestina. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Eskalasi konflik menjadi meningkat dengan peristiwa normalisasi itu," jelas Yon Machmudi.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Sikap Indonesia

Seorang pria membaca salinan surat kabar The National dengan tajuk utama tentang perjanjian UEA-Israel di dekat Burj Khalifa, Dubai. (AFP/Giuseppe Cacace)

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi melakukan pembicaraan telepon dengan Menlu UEA Sheikh Abdullah bin Zayed. Dalam pembicaraan itu, Retno kembali mengingatkan posisi Indonesia terhadap konflik Israel dan Palestina.

Salah satunya merujuk kepada Resolusi PBB nomor 2334 yang diadopsi dalam sidang di Dewan Keamanan PBB pada 23 Desember 2016 lalu. Resolusi DK itu menyatakan pembangunan pemukiman ilegal di wilayah Palestina yang dijajah Israel sejak 1967, tidak memiliki legalitas hukum dan merupakan pelanggaran hukum internasional yang serius. Pencaplokan wilayah Palestina juga disebut bisa menggagalkan solusi dua negara. 

Juru Bicara Kemenlu RI Teuku Faizasyah memastikan, keputusan UEA melakukan normalisasi dengan Israel tidak akan berpengaruh terhadap hubungan bilateral dengan Indonesia. Hubungan antar pemerintah UEA dan Indonesia sudah kuat. 

"Dengan Mesir dan Yordania yang juga sudah lebih dulu memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, kan hubungan bilateral kita juga baik," kata Faiza. 

Publik Indonesia selama ini cenderung menolak hubungan diplomatik Israel sebagai bentuk dukungan pada Palestina. Namun, pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menyebut Indonesia tetap harus menghormati keputusan dalam negeri Uni Emirat Arab

"Indonesia tetap menghargai normalisasi yang dilakukan oleh Uni Emirat dan Israel sebagai persoalan internal, tetapi tentu menyayangkan jika itu mengabaikan komitmen negara-negara Arab terhadap Palestina," ujarnya kepada Liputan6.com.

Menurut Yon, Indonesia perlu proaktif dalam mendukung kepentingan Palestina, terutama di rencana perdamaian milik Presiden Donald Trump. Rencana Trump memang penuh benefit investasi, tetapi dinilai berat sebelah.

"Indonesia harus lebih proaktif lagi untuk menawarkan kaitannya dengan roadmap perdamaian Israel-Palestina, karena Amerika sendiri sebagai mediator telah berpihak dan tidak netral lagi," ia menjelaskan.

Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi juga berkata untuk menghormati keputusan internal UEA. Ia hanya mengingatkan agar Indonesia terus membantu Palestina sesuai amanat konstitusi untuk menjaga perdamaian dunia.

"Indonesia komitmen membela Palestina. Itu yang paling penting yang pertama. Yang kedua mendorong perdamaian sesuai konstitusi," jelas Zuhairi yang akrab disapa Gus Mis.

"Kita hormati sajalah kesepakatan Uni Emirat Arab, tapi kita tetap komitmen pada Palestina. Tidak pernah luntur," pungkasnya.

 


Kecaman Negara Kawasan Timur Tengah

Bendera Uni Emirat Arab dan Israel dikibarkan di Jembatan Perdamaian di Netanya, Israel. (Ariel Schalit/AP)

1. Iran

Presiden Iran Hassan Rouhani mengecam langkah Uni Emirat Arab (UEA) yang membangun hubungan diplomatik dengan Israel. Keputusan UEA bahkan disebut sebagai, "Pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa Palestina."

"Langkah ini tidak tepat, salah, dan sungguh tercela, dan ini merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa Palestina, perjuangan umat Muslim, dan perjuangan Yerusalem," kata Rouhani dalam sebuah rapat kabinet.

Para pemimpin UEA keliru jika berpikir bahwa dengan "mendekatkan diri kepada Amerika Serikat (AS) dan rezim Zionis," mereka akan menjamin keamanan dan pertumbuhan ekonomi mereka sendiri, ujar sang presiden.

Sementara itu, Korps Garda Revolusi Islam (Islamic Revolution Guards Corps/IRGC) Iran juga mengecam langkah diplomatik UEA ini sebagai "pengkhianatan yang nyata terhadap tujuan bersama komunitas Islam."

Normalisasi hubungan telah "direncanakan dan dipimpin oleh rezim teroris dan tidak manusiawi Amerika Serikat," kata IRGC dalam pernyataan resminya seperti dilansir Tasnim.

Pembentukan hubungan diplomatik UEA-Israel ini bertujuan untuk "melegitimasi rezim Zionis, melemahkan front perlawanan Palestina, serta mengesampingkan persoalan Yerusalem dan Palestina," imbuh pernyataan IRGC tersebut.

Perjanjian Israel-UEA untuk menjalin hubungan diplomatik penuh diumumkan pada Kamis (13/8) dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan AS, Israel, dan UEA.

Pengumuman tersebut menjadikan UEA sebagai negara Teluk Arab pertama, serta negara Arab ketiga setelah Mesir dan Yordania, yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. 

Uni Emirat Arab tidak terima dengan kecaman Iran tersebut. Pada Minggu 16 Agustus, UEA memanggil perwakilan Iran di Abu Dhabi untuk memprotes kecaman yang terkandung dalam pidato Presiden Iran Hassan Rouhani, menurut laporan kantor berita UEA, WAM.

Kementerian Luar Negeri UEA "memanggil kuasa hukum Iran (dan) memberinya catatan protes yang kuat terhadap kecaman yang terkandung dalam pidato Presiden Iran Hassan Rouhani mengenai keputusan kedaulatan UEA," tulis laporan itu.

2. Turki

Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan membuka wacana untuk memulangkan duta besar negaranya dari Uni Emirat Arab (UEA). Hal itu akibat adanya normalisasi hubungan diplomatik UEA dan Israel.

Pengumuman tersebut disampaikan Presiden Erdoğan usai salat Jumat di Istanbul.

"Kita mungkin mengambil langkah untuk mensuspens hubungan diplomatik dengan UEA atau menarik duta besar kita," ujar Erdogan seperti dilaporkan Anadolu, Jumat (14/8/2020).

Turki menjadi salah satu negara yang mengecam keputusan normalisasi antara Uni Emirat Arab dan Israel. Negara lain yang turut mengecam adalah Iran.

Di lain pihak, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut normalisasi UEA dan Israel didukung oleh Mesir dan dua negara teluk: Oman dan Bahrain.

"Saya berterima kasih Presiden Mesir al-Sisi, dan pemerintah Oman dan Bahrain, atas dukungan mereka kepada perjanjian damai bersejarah antara Israel dan Uni Emirat Arab, yang mengekspansi lingakran perdamaian dan akan baik untuk seluruh daerah," ujar PM Netanyahu via Twitter. 

Normalisasi hubungan diplomatik antara Uni Emirat Arab dan Israel dipenuhi nuansa bisnis. Sektor-sektor yang akan dikembangkan beberapa di antaranya, yakni investasi, telekomunikasi, energi, dan keamanan. 

Perjanjian itu diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Ia mengatakan perjanjian ini sebagai sebuah terobosan besar. 

3. Palestina

Pemerintah Palestina resmi mengecam keputusan Uni Emirat Arab yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Kedua negara melakukan normalisasi hubungan untuk memperat kerja sama di berbagai bidang, seperti investasi. 

Berkat perjanjian itu, Israel menangguhkan aneksasi Tepi Barat. Meski demikian, Palestina tetap tidak terima.  

"Pimpinan Palestina menganggap langkah ini menghancurkan inisiatif perdamaian Arab dan resolusi KTT Arab dan Islam, dan legitimasi internasional, dan sebagai agresi terhadap rakyat Palestina, dan pengabaian hak dan kesucian Palestina, terutama Yerusalem dan kemerdekaan Negara Palestina di perbatasan 4 Juni 1967," tulis pernyataan resmi yang dirilis Kedutaan Besar Palestina di Indonesia, Jumat (14/8/2020).

Lebih lanjut, Pimpinan Palestina menganggap Uni Emirat Arab melakukan pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina, serta mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

"Pimpinan Palestina menolak apa yang telah dilakukan oleh Uni Emirat Arab karena itu adalah pengkhianatan terhadap Yerusalem, Al-Aqsa dan perjuangan Palestina, dan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel," ujar pihak Palestina.

Palestina lantas menuntut Uni Emirat Arab untuk segera menarik diri dari kesepakatan yang mereka sebut tercela. Argumen melakukan normalisasi hubungan dengan dalih mencegah aneksasi Tepi Barat juga dianggap hanya kedok saja.

Pihak Amerika Serikat mendorong supaya Israel meneruskan upaya diplomasi dengan negara-negara Arab lain. Palestina pun meminta sebaliknya kepada negara-negara sekutunya.

"Pimpinan Palestina memperingatkan saudara-saudara untuk tidak tunduk pada tekanan Amerika, mengikuti jejak UEA, dan normalisasi bebas dengan negara penjajah Israel yang dengan itu mengorbankan hak-hak Palestina," ujar pihak Palestina.

4. Kuwait, Yaman, dan Maroko

Kelompok politik di Kuwait, Yaman serta Maroko mengutuk kesepakatan pemulihan hubungan antara Uni Emirat Arab dan Israel baru-baru ini.

Tujuh gerakan politik di Kuwait, termasuk Islamic Constitutional Movement, cabang dari Ikhwanul Muslimin, mengeluarkan pernyataan bersama menanggapi kesepakatan tersebut.

Pernyataan itu menyatakan bahwa normalisasi dengan Israel bukanlah sebuah perspektif melainkan "pengkhianatan", dan bahwa pengakuan pada Tel Aviv secara tegas merupakan kejahatan terhadap Palestina dan rakyat Palestina, serta masyarakat Muslim dan Arab.

Partai Al-Islah Yaman melalui pernyataan menyebutkan bahwa kesepakatan itu merupakan "kejahatan bersejarah," Anadolu Ajansi mewartakan, dikutip dari Antara, Minggu (15/8/2020).

Sementara itu, Moroccan National Working Group for Palestine menyerukan "sikap diplomatik darurat" terhadap kesepakatan tersebut.

Sambil menyebut kesepakatan itu sebagai "pengkhianatan resmi oleh pemimpin UAE", kelompok tersebut mendesak pemerintah Maroko agar segera mengeluarkan respons diplomatik dan politik yang diperlukan.

Israel dan UAE sepakat menormalisasi hubungan, kata Presiden AS Donald Trump pada Kamis (13/8), dalam sebuah langkah yang mencegah rencana kontroversial Israel untuk mencaplok petak-petak wilayah Tepi Barat yang diduduki.

Dengan kesepakatan itu, UAE menjadi negara ketiga Arab yang menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Israel, dan UAE kini menjadi negara Teluk Arab pertama yang melakukan itu. Mesir dan Yordania juga mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel.


6 Hal yang Terjadi di Balik Mesranya Israel - UEA

Balai Kota Tel Aviv, Israel, diterangi dengan bendera Uni Emirat Arab saat UEA dan Israel mengumumkan mereka menjalin hubungan diplomatik penuh. (AP)

Seperti dikutip dari berbagai sumber, berikut ini 6 fakta hubungan Israel dan UEA yang semakin mesra:

1. Kembangkan Alat Tes COVID-19

Hubungan kedua negara mesra setelah sejumlah perusahaan dari (UEA) menandatangani perjanjian dengan Negeri Yahudi untuk bersama-sama mengembangkan penelitian dan studi tentang Virus Corona COVID-19.

Kabar mengenai penandatangan perjanjian antara kedua negara dilaporkan kantor berita UEA, WAM.

Kesepakatan itu diluncurkan beberapa hari setelah kedua negara telah mengumumkan perjanjian damai yang dimediasi oleh AS, yaitu dengan menormalisasi hubungan diplomatik, seperti dikutip dari AFP.

Dalam laporannya, WAM mengatakan, investasi Nasional APEX asal UEA, dan dan Tera Group dari Israel telah menandatangani "perjanjian komersial strategis" pada Sabtu malam waktu setempat di Abu Dhabi.

2. Pembukaan Kedubes di Tiap Negara

Pembentukan hubungan diplomatik penuh; pertukaran kedutaan; dan hubungan perdagangan normal antara Israel dan UEA merupakan langkah maju diplomatik yang signifikan.

Saat kesepakatan kerja sama dan pembukaan hubungan diplomatik dimulai, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan segera melakukan rencana pembukaan kedutaan besar di negara masing-masing, demikian dikutip dari laman BBC.

Gedung Putih pertama kali mengumumkan kesepakatan itu. Donald Trump menyebut bahwa ini adalah kesepakatan yang berpotensi menawarkan lebih banyak kesempatan di masa depan.

3. Kedua Negara Buka Jalur Penerbangan

Selain kerja sama dalam menangani penyebaran Corona COVID-19, kedua negara memiliki rencana untuk membuka jalur penerbangan satu sama lain.

Mengenai penerbangan, pengusaha Emirat Khalaf Ahmad Al Habtoor mengatakan kepada media Israel bahwa dia sedang dalam pembicaraan dengan Israir Airlines untuk menetapkan penerbangan langsung antara Israel dan UEA, demikian dikutip dari laman almonitor.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa penerbangan tersebut akan melewati Arab Saudi.

4. Presiden Israel Undang Pemimpin UEA ke Yerusalem

Presiden Israel pada hari Senin mengundang pemimpin de facto Uni Emirat Arab untuk mengunjungi Yerusalem, memuji perannya dalam mencapai kesepakatan yang "mulia dan berani" untuk menormalkan hubungan antara Israel dan UEA.

"Di hari-hari yang menentukan ini, kepemimpinan diukur dengan keberanian dan kemampuannya untuk menjadi terobosan dan berpandangan jauh ke depan," tulis Presiden Israel Reuven Rivlin dalam sebuah surat kepada Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan, putra mahkota Abu Dhabi.

Atas nama orang Israel dan (saya) secara pribadi, saya menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan undangan kepada Yang Mulia untuk mengunjungi Israel dan Yerusalem dan menjadi tamu kehormatan kami," kata Rivlin dalam surat tersebut, yang disiarkan oleh juru bicaranya kepada publik.

5. Pembukaan Website yang Sebelumnya Diblokir

Dampak dari hubungan diplomatik antara Israel dan UEA yaitu dibukanya saluran telepon di kedua negara. Warga di kedua negara yang sebelumnya tidak bisa terhubung, kini bisa berkomunikasi.

Selain itu, Situs web Israel yang sebelumnya diblokir juga sekarang dapat diakses dari dalam UEA. Begitu pula dengan sebaliknya.

6. Pertemuan Terselubung

Ternyata, komunikasi kedua negara bukan baru-baru ini terjadi. Pada Oktober 2018, Menteri Kebudayaan dan Olahraga Israel Miri Regev menjadi orang Israel pertama yang mengunjungi Abu Dhabi dalam kunjungan kenegaraan resmi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dia menyaksikan untuk pertama kalinya lagu kebangsaan Israel dimainkan di turnamen judo dan kemudian mengunjungi Masjid Agung Sheikh Zayed, di mana dia menulis "Saya berharap kehidupan yang baik dan perdamaian untuk semua" dalam bahasa Ibrani di buku pengunjung, demikian dikutip dari Al Jazeera.

Regev, mantan kepala juru bicara militer Israel, dikenal oleh warga Palestina dan kritikus atas pernyataannya yang lebih mengerikan, seperti menggambarkan migran Afrika di Israel sebagai "kanker", dan menyerukan pemerintahnya tahun lalu untuk menghidupkan kembali kebijakan dalam membunuh para pemimpin Palestina.

Kunjungannya ke Uni Emirat Arab (UEA) adalah tanda yang jelas dari UEA yang berupaya mendorong hubungan terselubungnya dengan Israel di tempat terbuka.

Sejak kunjungan Regev, Menteri Komunikasi Israel, Ayoub Kara, serta Menteri Luar Negeri Yisrael Katz juga telah melakukan perjalanan ke Abu Dhabi dan Dubai.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya