Retorika Keras di Laut China Selatan Dipengaruhi Pilpres AS 2020

Pakar hubungan internasional menilai retorika keras antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan dipengaruhi pilpres AS 2020.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 19 Agu 2020, 17:22 WIB
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sebelum melakukan pertemuan di resor Mar a Lago, Florida, Kamis (6/4). Isu perdagangan dan Korea Utara diperkirakan menjadi isu utama pembahasan kedua pemimpin negara tersebut. (AP Photo/Alex Brandon)

Liputan6.com, Jakarta - Isu Laut China Selatan terkena dampak negatif dari hubungan Amerika Serikat dan China. Retorika keras dari kedua negara diperkirakan terus muncul setidaknya hingga Pilpres AS 2020. 

Pada saat yang sama, para pemimpin di China diprediksi akan melakukan pertemuan tahunan mereka. Pertemuan itu bersifat rahasia dan biasanya digelar di musim panas. 

"Oleh karena kita mendekati masa pencoblosan di AS dan ada diskusi di Beijing terkait isu kepemimpinan dalam beberapa bulan mendatang, jadi saya pikir dua faktor itu adalah aspek-aspek penting pada naiknya ketegangan di masalah Laut China Selatan," ujar Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, dalam acara Calming Troubled Waters in the South China Sea yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (PFCI), Rabu (19/8/2020). 

Dubes Arif melihat kompetisi antara kedua negara itu semakin meruncing di bidang militer, teknologi, dan ekonomi. Dua negara itu lantas makin jauh dari hubungan kemitraan. 

Retorika negatif di dalam negeri AS dan China terkait satu sama lain juga dinilai Arif menyumbang ketegangan di Laut China Selatan.  

Sementara, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Evan Laksamana berkata tidak ada kepastian situasi akan langsung tenang usai pilpres. Ia menjelaskan ada isu-isu selain Laut China Selatan yang mengganjal relasi AS-China.

"Perspesi di Washington D.C. (pemerintah AS) dan retorika di bawah pemerintah Trump semakin keras. Saya pikir di Washington ada konsensus kuat bahwa AS harus mengkonfrontasi China di bermacam aspek," ujar Evan. 

"Bila kita memiliki administrasi baru pada November, kita masih harus menghadapi beberapa hal struktural pada kompetisi antara AS dan China, apakah itu tentang transisi kekuasaan di wilayah Indo-Pasifik atau tantangan-tantangan pemerintahan global yang lebih luas antara AS dan China," kata Evan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Joe Biden Raih Tiket Partai Demokrat untuk Lawan Donald Trump

Calon Wakil Presiden Partai Demokrat, Kamala Harris mendengarkan Joe Biden selama acara kampanye di Alexis Dupont High School di Wilmington, Delaware, Rabu (12/8/2020). Acara itu menjadi penampilan perdana keduanya di depan publik sebagai pasangan capres-cawapres. (AP Photo/Carolyn Kaster)

Partai Demokrat telah resmi mengusung Joe Biden sebagai calon presiden AS pada Pilpres 2020. Hal itu juga menandai Joe Biden secara resmi menjadi pesaing Donald Trump dalam Pilpres AS November 2020.

Dalam pemungutan suara yang digelar secara online karena pandemi Virus Corona COVID-19, penghitungan suara diumumkan oleh semua 50 negara bagian dan tujuh wilayah di AS, yang memperkuat peran Joe Biden sebagai pembawa bendera partai. 

Dalam video siaran langsung saat merayakan pencalonannya, Biden menyampaikan, "Terima kasih banyak, dari lubuk hati saya," seperti dikutip dari AFP.

Biden menambahkan, "Itu sangat berarti bagi saya dan keluarga saya." Ia juga mengingatkan penonton bahwa dia akan menyampaikan pidato penerimaan resmi pada 20 Agustus di akhir jambore empat hari.

Karena telah memenangkan mayoritas lebih dari 3.900 delegasi pada bulan Juni, pencalonan untuk Biden tersebut dikatakan merupakan formalitas.

Hal itu dilakukan pada hari kedua Konvensi Nasional Demokrat yang sebagian besar bertujuan untuk merayakan kandidat partai dan menyambut kaum independen dan Partai Republik yang frustrasi ke dalam gerakan politik mereka untuk menggulingkan Trump dari Gedung Putih.

Dalam proses itu, termasuk serangkaian presentasi oleh para pemimpin partai di masa lalu dan masa depan yang mengeluarkan argumen mereka sendiri terhadap petahana Gedung Putih. 

Selain itu, mereka juga mendesak para pemilih untuk berkumpul di sekitar Biden.

Presiden Jimmy Carter ada dalam barisan tersebut yang menjabat satu masa jabatan sejak 1977, dan panglima tertinggi tahun 1990-an Bill Clinton.

"Pada saat seperti ini, Oval Office seharusnya menjadi pusat komando. Sebaliknya, ini adalah pusat badai. Yang ada hanya kekacauan," ujar Clinton.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya